***
Nah, perkembangan teknik penulisan semacam itu tidak hanya perlu diketahui penulis, tapi juga editor. Penulis perlu meng-update pengetahuannya mengenai hal itu, agar teknik menulisnya terus berkembang, sementara editor juga perlu mengembangkan wawasan agar dapat menangani naskah dengan lebih baik. Karena naskah sebagus apa pun akan menjadi buku yang buruk jika ditangani editor yang buruk, sebagaimana naskah yang buruk pun bisa menjadi buku yang bagus jika ditangani editor yang bagus.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Oh, saya tidak sedang berlebihan. Ketika editor ketinggalan zaman menangani naskah modern, hasilnya adalah malapetaka. Untuk hal ini, ada kisah yang bisa saya ceritakan.
Febriana (bukan nama sebenarnya) menulis novel dengan teknik penulisan modern. Novelnya dibangun dengan bab-bab singkat, dan menggunakan multi-plot, sehingga adegan per adegan di masing-masing bab tidak menggunakan tanda ***. Sebagai gantinya, Febriana memberi ruang kosong dobel spasi untuk memisahkan adegan per adegan yang berganti. Sebenarnya, itu hal lazim pada novel modern. Tapi rupanya editor yang menangani naskah novel Febriana sudah ketinggalan zaman.
Editor yang menangani naskah Febriana rupanya tidak memahami maksud ruang kosong dobel spasi, yang sengaja diletakkan Febriana pada setiap pergantian adegan. Rupanya, editor itu masih menganggap bahwa pemisahan per adegan ditandai ***. Ketika dia tidak mendapati tanda *** pada naskah Febriana, dia “menumpuk” semua adegan dalam novel itu dengan menghilangkan ruang-ruang kosong dobel spasi. Bisa dibayangkan akibatnya?
Ketika naskah itu dikerjakan oleh editor, Febriana tidak diberi kesempatan untuk melihat atau memeriksa. Waktu itu, Febriana juga berpikir editornya pasti paham teknik penulisan novel modern. Tetapi, ketika novel itu telah terbit dan beredar luas, Febriana shock mendapati novelnya kacau tak karuan. Ruang-ruang kosong dobel spasi yang sengaja ia letakkan pada masing-masing adegan telah dihapus atau dihilangkan oleh editor, sementara semua adegan yang ada ditumpuk tanpa jeda. Hasilnya, cerita dalam novel itu sangat kacau, membingungkan, bahkan sulit dipahami.
“Jangankan orang lain,” ujar Febriana dengan jengkel, “bahkan aku yang menulisnya pun tidak paham ketika membacanya!”
Bayangkan sehancur apa perasaan Febriana ketika novelnya terbit dan beredar luas, dengan isi acak-acakan. Dia menulis novelnya berbulan-bulan, memikirkan jalan cerita, membangun adegan demi adegan, mengembangkan alur yang masuk akal dengan plot yang menarik, dengan harapan novelnya disukai pembaca hingga bisa terjual banyak. Tetapi editor dengan seenaknya sendiri “mengacak-acak” novel itu akibat kurang update wawasan.
Ketika novel itu sampai di tangan pembaca, dan mereka tidak memahami isi novel itu akibat kisah di dalamnya kacau tak karuan, siapakah yang kira-kira mendapat banyak kritik pembaca? Siapakah yang paling menanggung malu? Tentu saja Febriana, si penulis yang namanya ada di sampul buku. Meski isi novel itu kacau akibat ulah editor, tapi pembaca tidak berpikir sejauh itu. Pada akhirnya, ketika novel itu jeblok di pasar karena tidak laku, yang paling berat menanggung beban adalah Febriana, si penulis.
Dari kisah itu kita melihat bahwa editor yang buruk bisa “menghancurkan” seorang penulis. Di pihak editor, jebloknya buku Febriana mungkin tidak terlalu memberi banyak pengaruh, toh dia masih bisa bekerja menangani naskah lain di pernerbitnya. Bahkan, dia bisa selamat dari serangan kritik akibat buruknya novel itu. Tapi bagaimana dengan Febriana? Selain menghadapi novelnya yang jeblok dan mendapat banyak kritik pembaca, novel yang buruk itu juga akan menjadi beban moral baginya selaku penulis.
Karenanya, sekali lagi, yang wajib memperbarui diri dan mengembangkan wawasan bukan hanya penulis, tetapi juga editor. Editor tidak bisa bersembunyi di balik kemapanan tempatnya bekerja dan menganggap telah tahu segalanya. Meski setiap hari editor terus bergelut dengan naskah yang menumpuk, bukan berarti dia tidak perlu lagi belajar. Karena, sebagaimana editor buruk bisa merusak naskah yang bagus, editor yang bagus juga bisa mengubah naskah yang aslinya buruk menjadi bagus.
Ketika naskah masuk ke penerbit, salah satu poin penting yang dipertimbangkan penerbit adalah daya jual. Kadang-kadang, ada naskah yang memiliki daya jual tinggi, tapi penulisannya kacau—karena mungkin ditulis pemula. Ketika menghadapi naskah semacam itu, editor yang hebat bisa “mempermak” naskah itu hingga sangat bagus. Hasilnya, ketika terbit menjadi buku, naskah itu tidak hanya memiliki daya jual tinggi, tetapi juga berkualitas.
Jadi, dalam hubungan antara penulis dan editor, kira-kira seperti inilah rumusnya:
Penulis baik + Editor baik = Buku bagus.
Penulis buruk + Editor baik = Buku bagus.
Penulis baik + Editor buruk = Buku buruk.
Penulis buruk + Editor buruk = Buku buruk.
Penulis membuat naskah, dan editor mempermak. Naskah buruk di tangan editor bagus bisa berubah menjadi karya bagus. Tapi naskah bagus di tangan editor buruk bisa menjadi karya yang buruk. Idealnya, tentu saja, penulis baik bertemu editor baik, sehingga karya (buku) yang dihasilkan benar-benar baik. Ketika naskah bagus ditangani editor yang juga bagus, hasilnya adalah karya yang benar-benar bagus. Intisari yang dapat kita ambil dari sini adalah kedua pihak harus terus belajar dan meng-upadate wawasannya, serta bisa saling menerima saran dan masukan.
Ketika John Grisham menulis naskah A Time to Kill, dia masih penulis pemula. Saat naskah itu diserahkan kepada editor, John Grisham diberitahu, “Naskahmu ini terlalu tebal, karena kisahmu bertele-tele.” Dia juga diberitahu bagian-bagian mana saja dalam naskah yang sebaiknya dihapus atau dihilangkan.
Grisham percaya pada editornya. Meski merasa sayang karena harus menghapus banyak bagian dalam naskah, dia rela memangkas hampir separuh isi naskah yang telah ditulisnya. Hasilnya, naskah itu pun jauh lebih baik. Ketika terbit, A Time to Kill masih tergolong tebal, tapi kisahnya enak dibaca dan tidak bertele-tele. Novel itu bahkan menjadi debut yang hebat bagi Grisham—terjual ratusan ribu eksemplar, sampai difilmkan. Setelah itu, Grisham pun memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai pengacara, dan beralih profesi menjadi penulis.
Editor yang hebat adalah pencetak penulis hebat. Sebagaimana editor yang buruk adalah mimpi buruk setiap penulis. Untuk hal ini, David Rosenthal menyatakan, “Tidak ada hal yang lebih baik daripada seorang editor yang baik mendampingi seorang penulis. Penulis yang baik pasti akan setuju dengan pendapat itu. Dan tidak ada yang lebih merusak daripada seorang editor yang buruk, atau yang tak berbakat, yang mendampingi seorang penulis.”
Kode etik editor
Selain meng-update wawasan agar pengetahuan tidak ketinggalan zaman, hal lain yang juga perlu diingat editor adalah mengetahui batasannya dalam menangani naskah. Dalam profesinya, editor memiliki kode etik, khususnya ketika menangani naskah seorang penulis. Di antara beberapa kode etik tersebut, berikut adalah tiga poin yang kadang dilupakan editor:
1) Editor bukan penulis naskah.
2) Editor harus mempertahankan gaya tulisan penulis, jika maksud si penulis sudah jelas dan teksnya tidak bertele-tele; walaupun terkadang gaya tersebut tidak sesuai dengan selera si editor.
3) Editor tidak dibenarkan mengubah karya seorang penulis hanya untuk menyesuaikannya dengan gaya kalimatnya sendiri.
Naskah adalah karya penulis, bukan karya editor. Karenanya, gaya tulisan yang digunakan dalam naskah (yang kemudian terbit menjadi buku) adalah gaya si penulis, bukan gaya editor. Berdasarkan kode etiknya, editor harus menghormati gaya si penulis—meski gaya itu mungkin tidak sesuai seleranya—dan tidak berhak seenaknya mengubah gaya tulisan si penulis. Karenanya, editor yang memasukkan apalagi memaksakan gayanya sendiri ke dalam naskah, sama artinya melanggar hak si penulis.
Dalam Buku Pintar Penyuntingan Naskah (terbitan Gramedia, 2005), halaman 90, Pamusuk Eneste menjelaskan hal tersebut secara jelas dan lugas. Dia menyatakan, “Dalam menyunting naskah perlu disadari bahwa penyunting naskah berfungsi membantu penulis naskah. Jadi, penyunting naskah bukanlah penulis naskah! Dengan kata lain, yang harus ditonjolkan adalah gaya penulis naskah dan bukan gaya penyunting naskah. Hal ini perlu disadari agar penyunting naskah tidak sembarangan menyunting naskah menurut seleranya. Jadi, yang pokok adalah gaya si penulis dan bukan gaya si penyunting.”
Lanjut ke sini.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Oh, saya tidak sedang berlebihan. Ketika editor ketinggalan zaman menangani naskah modern, hasilnya adalah malapetaka. Untuk hal ini, ada kisah yang bisa saya ceritakan.
Febriana (bukan nama sebenarnya) menulis novel dengan teknik penulisan modern. Novelnya dibangun dengan bab-bab singkat, dan menggunakan multi-plot, sehingga adegan per adegan di masing-masing bab tidak menggunakan tanda ***. Sebagai gantinya, Febriana memberi ruang kosong dobel spasi untuk memisahkan adegan per adegan yang berganti. Sebenarnya, itu hal lazim pada novel modern. Tapi rupanya editor yang menangani naskah novel Febriana sudah ketinggalan zaman.
Editor yang menangani naskah Febriana rupanya tidak memahami maksud ruang kosong dobel spasi, yang sengaja diletakkan Febriana pada setiap pergantian adegan. Rupanya, editor itu masih menganggap bahwa pemisahan per adegan ditandai ***. Ketika dia tidak mendapati tanda *** pada naskah Febriana, dia “menumpuk” semua adegan dalam novel itu dengan menghilangkan ruang-ruang kosong dobel spasi. Bisa dibayangkan akibatnya?
Ketika naskah itu dikerjakan oleh editor, Febriana tidak diberi kesempatan untuk melihat atau memeriksa. Waktu itu, Febriana juga berpikir editornya pasti paham teknik penulisan novel modern. Tetapi, ketika novel itu telah terbit dan beredar luas, Febriana shock mendapati novelnya kacau tak karuan. Ruang-ruang kosong dobel spasi yang sengaja ia letakkan pada masing-masing adegan telah dihapus atau dihilangkan oleh editor, sementara semua adegan yang ada ditumpuk tanpa jeda. Hasilnya, cerita dalam novel itu sangat kacau, membingungkan, bahkan sulit dipahami.
“Jangankan orang lain,” ujar Febriana dengan jengkel, “bahkan aku yang menulisnya pun tidak paham ketika membacanya!”
Bayangkan sehancur apa perasaan Febriana ketika novelnya terbit dan beredar luas, dengan isi acak-acakan. Dia menulis novelnya berbulan-bulan, memikirkan jalan cerita, membangun adegan demi adegan, mengembangkan alur yang masuk akal dengan plot yang menarik, dengan harapan novelnya disukai pembaca hingga bisa terjual banyak. Tetapi editor dengan seenaknya sendiri “mengacak-acak” novel itu akibat kurang update wawasan.
Ketika novel itu sampai di tangan pembaca, dan mereka tidak memahami isi novel itu akibat kisah di dalamnya kacau tak karuan, siapakah yang kira-kira mendapat banyak kritik pembaca? Siapakah yang paling menanggung malu? Tentu saja Febriana, si penulis yang namanya ada di sampul buku. Meski isi novel itu kacau akibat ulah editor, tapi pembaca tidak berpikir sejauh itu. Pada akhirnya, ketika novel itu jeblok di pasar karena tidak laku, yang paling berat menanggung beban adalah Febriana, si penulis.
Dari kisah itu kita melihat bahwa editor yang buruk bisa “menghancurkan” seorang penulis. Di pihak editor, jebloknya buku Febriana mungkin tidak terlalu memberi banyak pengaruh, toh dia masih bisa bekerja menangani naskah lain di pernerbitnya. Bahkan, dia bisa selamat dari serangan kritik akibat buruknya novel itu. Tapi bagaimana dengan Febriana? Selain menghadapi novelnya yang jeblok dan mendapat banyak kritik pembaca, novel yang buruk itu juga akan menjadi beban moral baginya selaku penulis.
Karenanya, sekali lagi, yang wajib memperbarui diri dan mengembangkan wawasan bukan hanya penulis, tetapi juga editor. Editor tidak bisa bersembunyi di balik kemapanan tempatnya bekerja dan menganggap telah tahu segalanya. Meski setiap hari editor terus bergelut dengan naskah yang menumpuk, bukan berarti dia tidak perlu lagi belajar. Karena, sebagaimana editor buruk bisa merusak naskah yang bagus, editor yang bagus juga bisa mengubah naskah yang aslinya buruk menjadi bagus.
Ketika naskah masuk ke penerbit, salah satu poin penting yang dipertimbangkan penerbit adalah daya jual. Kadang-kadang, ada naskah yang memiliki daya jual tinggi, tapi penulisannya kacau—karena mungkin ditulis pemula. Ketika menghadapi naskah semacam itu, editor yang hebat bisa “mempermak” naskah itu hingga sangat bagus. Hasilnya, ketika terbit menjadi buku, naskah itu tidak hanya memiliki daya jual tinggi, tetapi juga berkualitas.
Jadi, dalam hubungan antara penulis dan editor, kira-kira seperti inilah rumusnya:
Penulis baik + Editor baik = Buku bagus.
Penulis buruk + Editor baik = Buku bagus.
Penulis baik + Editor buruk = Buku buruk.
Penulis buruk + Editor buruk = Buku buruk.
Penulis membuat naskah, dan editor mempermak. Naskah buruk di tangan editor bagus bisa berubah menjadi karya bagus. Tapi naskah bagus di tangan editor buruk bisa menjadi karya yang buruk. Idealnya, tentu saja, penulis baik bertemu editor baik, sehingga karya (buku) yang dihasilkan benar-benar baik. Ketika naskah bagus ditangani editor yang juga bagus, hasilnya adalah karya yang benar-benar bagus. Intisari yang dapat kita ambil dari sini adalah kedua pihak harus terus belajar dan meng-upadate wawasannya, serta bisa saling menerima saran dan masukan.
Ketika John Grisham menulis naskah A Time to Kill, dia masih penulis pemula. Saat naskah itu diserahkan kepada editor, John Grisham diberitahu, “Naskahmu ini terlalu tebal, karena kisahmu bertele-tele.” Dia juga diberitahu bagian-bagian mana saja dalam naskah yang sebaiknya dihapus atau dihilangkan.
Grisham percaya pada editornya. Meski merasa sayang karena harus menghapus banyak bagian dalam naskah, dia rela memangkas hampir separuh isi naskah yang telah ditulisnya. Hasilnya, naskah itu pun jauh lebih baik. Ketika terbit, A Time to Kill masih tergolong tebal, tapi kisahnya enak dibaca dan tidak bertele-tele. Novel itu bahkan menjadi debut yang hebat bagi Grisham—terjual ratusan ribu eksemplar, sampai difilmkan. Setelah itu, Grisham pun memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai pengacara, dan beralih profesi menjadi penulis.
Editor yang hebat adalah pencetak penulis hebat. Sebagaimana editor yang buruk adalah mimpi buruk setiap penulis. Untuk hal ini, David Rosenthal menyatakan, “Tidak ada hal yang lebih baik daripada seorang editor yang baik mendampingi seorang penulis. Penulis yang baik pasti akan setuju dengan pendapat itu. Dan tidak ada yang lebih merusak daripada seorang editor yang buruk, atau yang tak berbakat, yang mendampingi seorang penulis.”
Kode etik editor
Selain meng-update wawasan agar pengetahuan tidak ketinggalan zaman, hal lain yang juga perlu diingat editor adalah mengetahui batasannya dalam menangani naskah. Dalam profesinya, editor memiliki kode etik, khususnya ketika menangani naskah seorang penulis. Di antara beberapa kode etik tersebut, berikut adalah tiga poin yang kadang dilupakan editor:
1) Editor bukan penulis naskah.
2) Editor harus mempertahankan gaya tulisan penulis, jika maksud si penulis sudah jelas dan teksnya tidak bertele-tele; walaupun terkadang gaya tersebut tidak sesuai dengan selera si editor.
3) Editor tidak dibenarkan mengubah karya seorang penulis hanya untuk menyesuaikannya dengan gaya kalimatnya sendiri.
Naskah adalah karya penulis, bukan karya editor. Karenanya, gaya tulisan yang digunakan dalam naskah (yang kemudian terbit menjadi buku) adalah gaya si penulis, bukan gaya editor. Berdasarkan kode etiknya, editor harus menghormati gaya si penulis—meski gaya itu mungkin tidak sesuai seleranya—dan tidak berhak seenaknya mengubah gaya tulisan si penulis. Karenanya, editor yang memasukkan apalagi memaksakan gayanya sendiri ke dalam naskah, sama artinya melanggar hak si penulis.
Dalam Buku Pintar Penyuntingan Naskah (terbitan Gramedia, 2005), halaman 90, Pamusuk Eneste menjelaskan hal tersebut secara jelas dan lugas. Dia menyatakan, “Dalam menyunting naskah perlu disadari bahwa penyunting naskah berfungsi membantu penulis naskah. Jadi, penyunting naskah bukanlah penulis naskah! Dengan kata lain, yang harus ditonjolkan adalah gaya penulis naskah dan bukan gaya penyunting naskah. Hal ini perlu disadari agar penyunting naskah tidak sembarangan menyunting naskah menurut seleranya. Jadi, yang pokok adalah gaya si penulis dan bukan gaya si penyunting.”
Lanjut ke sini.