Rasanya kok aneh kalau kami ada di Indonesia,
dan masing-masing bisa berbahasa Indonesia, tapi
berkomunikasi memakai bahasa Inggris.
—@noffret
dan masing-masing bisa berbahasa Indonesia, tapi
berkomunikasi memakai bahasa Inggris.
—@noffret
Sebulan sekali, saya datang ke tempat kulakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Sebenarnya, karena hidup sendiri, barang-barang yang saya butuhkan tidak macam-macam—khas kebutuhan orang yang hidup sendiri. Paling-paling berkisar seputar rokok, gula, teh, dan kopi. Tapi karena malas sering keluar rumah hanya untuk beli rokok dan tetek bengek kebutuhan lain, saya pun membeli sekaligus untuk kebutuhan sebulan.
Di tempat kulakan, kadang ada seorang perempuan Tionghoa yang usianya mungkin sebaya dengan saya. Saya tidak tahu namanya, dan dia kadang ada di sana, juga kadang tidak. Mungkin, perempuan itu anggota keluarga si pemilik tempat kulakan—saya tidak tahu pasti. Yang jelas, kalau pas ada di sana, perempuan itu ikut melayani pembeli. Beberapa kali dia juga melayani saya saat datang ke sana.
Suatu hari, saya melihat perempuan Tionghoa tadi melayani ibu-ibu yang berbelanja cukup banyak—mungkin untuk kulakan di warung. Mereka bercakap-cakap, dan tanpa sadar saya memperhatikan mereka. Pasalnya, mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa halus. Ibu-ibu yang berbelanja, maupun perempuan Tionghoa yang melayani, sama-sama menggunakan bahasa Jawa halus.
Saya terpesona.
Bagi yang mungkin belum tahu, ada semacam kasta atau tingkatan dalam bahasa Jawa. Dua di antaranya adalah bahasa Jawa biasa (disebut ngoko), dan bahasa Jawa halus (disebut kromo). Rata-rata orang Jawa bisa berbahasa Jawa, tapi umumnya ngoko (bahasa Jawa biasa). Tidak semua orang Jawa—khususnya yang masih muda atau tinggal di perkotaan—bisa berbahasa Jawa halus. Saya termasuk di antaranya.
Meski tinggal di lingkungan Jawa dan biasa menggunakan bahasa Jawa, saya tidak/belum mampu berbahasa Jawa halus. Ada banyak sekali istilah Jawa halus yang tidak saya tahu, sehingga sering kesulitan jika diminta berbicara menggunakan bahasa Jawa halus. Untuk hal-hal umum mungkin saya tahu, tapi jauh lebih banyak yang tidak/belum saya tahu.
Agar uraian ini tidak membingungkan (khususnya bagi yang tidak berbahasa Jawa), mari gunakan contoh.
“Nasi”, misalnya, dalam bahasa Jawa disebut “sego”. Memang benar, sego adalah bahasa Jawa untuk nasi. Tapi itu bahasa Jawa ngoko. Sementara bahasa Jawa halus untuk nasi adalah “sekul”.
“Makan”, dalam bahasa Jawa disebut “mangan”. Lagi-lagi, itu bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa halus menyebut “makan” dengan istilah “dahar”.
Karenanya, kalimat “saya makan di rumah” bisa diterjemahkan ke dua bahasa yang sama-sama Jawa. Jika diterjemahkan ke bahasa Jawa ngoko, “aku mangan nang omah.” Sedangkan jika diterjemahkan ke bahasa Jawa halus, “kulo dahar ten griyo.”
Seperti yang disebut tadi, saya kerap kesulitan saat harus berbahasa Jawa halus, karena kurang menguasai. Padahal, dalam adab di masyarakat Jawa, kita harus berbicara menggunakan bahasa Jawa halus kepada orang yang lebih tua, atau kepada orang yang kita hormati. Dalam hal itu, saya terkendala keterbatasan kosakata Jawa halus yang saya kuasai.
Karenanya, saya terpesona melihat perempuan Tionghoa bisa bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa halus, saat melayani ibu-ibu yang berbelanja di tempat kulakan. Perempuan Tionghoa itu berbicara menggunakan bahasa Jawa halus dengan kefasihan sekaligus keluwesan seperti perempuan Jawa sejati.
Menyaksikan kenyataan itu, saya merasa ironis sekaligus malu pada diri sendiri. Kita—atau setidaknya saya—giat belajar bahasa asing, dari bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Jepang, sampai bahasa Swahili. Tetapi, seiring dengan itu, kita—khususnya saya—lupa untuk juga belajar bahasa daerah sendiri. Ngomong Inggris fasih, tapi ngomong bahasa daerah sendiri malah gagu.
Nah, ketika perempuan Tionghoa tadi selesai melayani, dan ibu-ibu yang dilayani juga sudah pergi, saya mendekatinya, dan memberanikan diri bertanya (dalam bahasa Indonesia), “Ci, kalau boleh tahu, di mana belajar bahasa Jawa halus?”
Dia tersenyum, dan menjawab, “Saya lahir di sini, dan lingkungan saya juga orang Jawa. Karena tiap hari berinteraksi dengan mereka, lama-lama ngerti, lah.”
Saya manggut-manggut, tapi sebenarnya masih bingung. Wong saya juga tinggal di lingkungan Jawa, tapi tetap tidak ngerti bahasa Jawa halus. Ketika saya utarakan hal itu, dia menjelaskan, “Kuncinya sih sering-sering mendengarkan, saat mereka bercakap-cakap. Nanti lama-lama kita paham sendiri.”
Saya pun mengingat sarannya. Sejak itu, setiap kali berada di tempat mana pun, dan terdapat orang-orang sedang bercakap—mempercakapkan hal-hal keseharian—misal di warung nasi, di toko, atau di mana pun, dan mereka menggunakan bahasa Jawa halus, saya diam-diam mendengarkan, dengan maksud memahami apa yang mereka percakapkan, hingga saya bisa mengerti maknanya.
Ternyata, saran itu memang manjur. Perlahan namun pasti, kosakata Jawa halus yang saya tahu makin banyak, meski kadang masih bingung saat harus menggunakan dalam ucapan. Itu seperti saat kita belajar bahasa Inggris, atau bahasa asing lain. Mula-mula, kita tahu makna suatu kata, tapi masih bingung saat harus menyusun kalimat menggunakan kata tersebut. Istilah kerennya, kita ngerti vocabulary, tapi belum bisa conversation. Bah!
Dengan kesabaran seorang bocah, saya terus belajar dengan cara rajin mendengarkan saat kebetulan mendapati orang bercakap-cakap menggunakan bahasa Jawa halus. Setelah itu, saya mencoba mempraktikkan yang saya mampu. Mula-mula memang kaku, dan kemampuan saya juga masih terbatas. Tetapi, lama-lama, seperti proses pembelajaran lain, kemampuan saya makin baik. “Rekor” saya untuk hal ini terjadi saat jajan batagor. Saya mampu bercakap-cakap dengan penjual batagor menggunakan bahasa Jawa halus, sampai sekitar 3 menit!
Meski mungkin terdengar konyol, tapi saya senang. Karena, sebelumnya, saya benar-benar tidak mampu. Keberhasilan ngomong Jawa halus selama 3 menit itu pun makin memotivasi saya untuk terus belajar.
Mungkin akan lebih mudah kalau saja ada tempat kursus bahasa Jawa halus, sehingga saya bisa mendaftar ke sana, dan—sim salabim—tiga bulan kemudian saya bisa cas-cis-cus dengan bahasa Jawa halus. Tapi sepertinya tidak ada tempat kursus semacam itu, meski tempat kursus bahasa Inggris dan bahasa asing lain bisa ditemukan di mana pun. Akibatnya, satu-satunya cara bagi saya untuk menguasai bahasa Jawa halus hanya melalui otodidak; mendengarkan orang bercakap-cakap dengan bahasa itu, dan berusaha menyerap maknanya.
Ada manfaat lain yang saya dapatkan dari kebiasaan baru itu—kesenangan mendengarkan orang bercakap-cakap dalam bahasa daerah. Meski semula saya hanya bermaksud belajar bahasa Jawa halus, lama-lama saya juga senang saat mendengarkan orang bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah lain. Tanpa saya sadari, ada semacam cinta yang tumbuh perlahan-lahan di hati saya terhadap bahasa daerah.
Di warung sate Madura, misal, penjualnya kadang sepasang suami istri, dan mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Madura. Saya senang mendengarkan mereka bercakap-cakap, meski tidak tahu artinya blas. Entah mereka ngomong apa dan entah artinya apa, saya senang mendengarkan. Meski sama sekali tidak paham yang mereka omongkan.
Di warung Padang juga sama. Kadang penjualnya bercakap-cakap dengan anggota keluarganya, menggunakan bahasa Padang. Saya senang mendengarkan mereka berbicara, menikmati logat dan dialek mereka, meski sama sekali tidak paham mereka bicara apa. Sebenarnya, saya bahkan tidak tahu mereka bicara menggunakan bahasa Padang atau bahasa apa. Pokoknya bukan bahasa Jawa.
Begitu pula saat mendapati orang bercakap-cakap menggunakan bahasa Sunda, saya juga senang mendengarkan, meski kadang tidak tahu arti percakapan mereka. Tidak hanya dalam percakapan, saya bahkan senang membaca sesuatu dalam bahasa Sunda, meski kadang tidak tahu arti yang saya baca. Pokoknya senang. Entah kenapa.
Dalam proses semacam itu, saya seperti belajar bahasa daerah, atau—lebih tepat—belajar mencintai bahasa daerah. Itu sesuatu yang sebelumnya tidak saya kenali. Bahwa negeri ini memiliki begitu banyak bahasa yang berbeda, dengan logat serta dialek yang unik, dan masing-masing memiliki daya tarik sendiri. Bahkan sama-sama di Jawa saja, logat orang Semarang dengan orang Tegal jauh berbeda, meski mereka sama-sama ngomong Jawa.
Tak kenal maka tak sayang, kata pepatah. Mungkin memang benar. Terkait bahasa daerah, kita mungkin tidak (terlalu) mengenali, sehingga kurang bisa melihat daya tariknya. Seperti yang saya alami dulu. Seperti umumnya bocah (yang berusaha) gaul, saya giat belajar bahasa asing, bahkan bela-belain belajar bahasa Jepang, demi bisa memahami percakapan di film JAV. Tapi saya lupa untuk juga belajar bahasa daerah, hingga tidak bisa berbahasa daerah saya sendiri. Itu, kalau dipikir-pikir, seperti kacang lupa kulit. Saya tercerabut dari akar, hingga lupa asal.
Susahnya, mencari tempat kursus bahasa asing sangat mudah, tapi kursus bahasa daerah sepertinya tidak ada. Akibatnya, kita lebih mudah belajar bahasa asing, daripada belajar bahasa daerah. Karenanya pula, bisa jadi di antara kita ada yang fasih berbicara dalam selusin bahasa asing, tapi sama sekali tidak bisa berbahasa daerah sendiri. Jika hal semacam itu terus terjadi, tidak menutup kemungkinan satu per satu bahasa daerah akan punah.
Di Meksiko, misalnya, ada bahasa daerah bernama Ayapaneco. Saat ini, bahasa Ayapaneco dianggap bahasa paling langka di dunia, karena hanya dikuasai dua orang. Langka atau sedikitnya orang yang menguasai bahasa itu karena memang jarang yang menggunakan, khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, perlahan namun pasti, orang-orang yang menguasai bahasa Ayapaneco makin sedikit, hingga tinggal dua orang.
Dua orang yang menguasai bahasa Ayapaneco adalah Isidro Velazquez (69 tahun) dan Manuel Segovia (75 tahun). Dua pria itu bertetangga—jarak rumah mereka sekitar 500 meter. Tetapi, karena perselisihan pribadi, dua pria itu tidak saling berbicara. Akibatnya, bisa dibilang, saat ini sudah tidak ada satu orang pun yang berbicara menggunakan bahasa Ayapaneco.
Jika bahasa daerah di luar sana ada yang punah, selalu ada kemungkinan hal serupa terjadi di tempat kita.