Ocehan di Twitter ini memang kadang bisa bermasalah, karena kita ngoceh sewaktu-waktu berdasarkan yang kita rasakan atau pikirkan "waktu itu". Padahal "yang kita pikirkan/rasakan waktu itu" bisa saja kini telah berubah, karena diri dan hidup kita juga tentu telah berubah.
Sepertinya sih rata-rata orang begitu—termasuk aku, tentu saja. Bisa jadi, saat ini kita ngetwit secara bijak, kalem, dan santun, sementara dulu isi twit kita cuma sange, ngewe, sange, ngewe, dan begitu seterusnya. Menurutku sih wajar-wajar saja, karena orang selalu bisa berubah.
Bisa jadi yang dulunya memang nakal, kini telah insaf dan benar-benar berusaha menjadi pribadi yang (lebih) baik. Kehidupan manusia selalu bisa berubah, diri serta cara berpikir orang per orang juga selalu bisa berubah. Itu hal biasa, dan kita tidak perlu repot menyangkalnya.
Jangankan twit yang bersifat ocehan spontan, bahkan tulisan di blog pun kadang tidak lagi sesuai pikiran dan kehidupan penulisnya. Ada banyak tulisanku di blog tujuh tahun lalu, misalnya, yang saat ini sudah tidak relevan dengan cara berpikirku. Dan itu, sekali lagi, hal biasa.
Susahnya, tulisan di Twitter atau di blog selalu tetap (tidak berubah), padahal kehidupan dan cara berpikir kita terus berubah. Sesuatu yang kita anggap keren sekian tahun lalu bisa jadi kita anggap konyol sekarang. Pikiran kita berubah, tapi twit/tulisan kita dulu masih ada.
Secara pribadi, aku tidak merisaukan hal-hal semacam itu, bahkan twit/tulisanku yang dulu jadi semacam cermin bahwa aku yang sekarang memang (semoga) lebih baik dari aku yang dulu. Jadi kalau umpama ada yang mengorek-ngorek twit lamaku, paling-paling aku cuma tertawa.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2020.