Percakapan selalu diawali sesuatu, bisa peristiwa, berita terbaru, karena seseorang mencetuskan pikirannya, bisa pula karena kabar terkait salah satu tetangga. Apa pun bisa jadi percakapan. Yang membedakan adalah cara orang per orang menjadikan hal-hal itu sebagai percakapan.
Biasanya, orang-orang pintar membicarakan hal-hal esensial, yang penting, dan malas membicarakan hal-hal remeh yang tidak penting.
Sebaliknya, orang-orang bodoh senang membicarakan hal-hal remeh yang tidak penting, karena mereka tidak mampu membicarakan hal-hal penting.
Contoh. Ada orang suka menyalakan lampu depan rumahnya pada sore hari, bukan setelah malam. Alasannya sepele, karena ia sering lupa menyalakan lampu depan rumah kalau malam. Jadi ia sengaja menyalakannya sore hari, bersamaan saat menyalakan lampu ruang tamu, agar tidak kelupaan.
Itu hal sepele, dan orang-orang pintar biasanya malas membicarakan hal-hal remeh seperti itu.
Bagi orang pintar, kamu mau menyalakan lampu depan rumahmu pada sore hari atau malam hari, bodo amat! Wong itu lampu rumahmu sendiri, dan kamu sendiri pula yang bayar listriknya!
Tapi orang bodoh tertarik membicarakan hal remeh temeh seperti itu. Dengan kadar otaknya yang minim, mereka bisa saja membuat “teori” kenapa orang menyalakan lampu depan rumahnya sore hari. Lalu menyimpulkan, misalnya, “Ooh, mungkin karena dia ingin dianggap tidak di rumah.”
Apakah itu terdengar konyol? Jelas! Tapi orang bodoh tidak sadar kalau itu konyol. Sebaliknya, mereka merasa dirinya pintar, karena bisa menemukan “teori konyol” itu.
Contoh lain. Ada orang yang seharian tidak keluar rumah, karena sangat sibuk, dan baru keluar saat larut malam.
Dia baru keluar rumah saat larut malam, karena mencari makan, setelah seharian mengurusi kesibukannya, hingga tidak ingat makan.
Itu hal remeh, kan?
Tapi orang bodoh senang mengurusi hal remeh. Karena melihat tetangganya baru keluar larut malam, dia pun menyusun “teori-teori”.
Menurut “teori” si orang bodoh, tetangganya seharian tidak keluar rumah, dan baru keluar setelah larut malam, karena ingin dikira sedang pergi.
“Mungkin dia takut didatangi orang yang akan menagih utang,” pikirnya. Dia merasa hebat dengan teori itu, padahal salah, juga konyol!
Contoh lain lagi. Ada orang yang setiap hari sampai malam biasa membuka jendela kamarnya, dan jendela yang terbuka itu bisa terlihat dari depan rumah.
Suatu waktu, orang itu menutup jendela kamarnya, karena nyamuk sangat banyak, atau karena cuaca dingin. Itu hal remeh, kan?
Tetapi, sekali lagi, orang bodoh suka memikirkan dan membicarakan hal-hal remeh. Hanya karena melihat jendela tertutup—padahal biasanya terbuka—dia pun menyusun “teori-teori”. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, “teori”-nya juga salah total, tapi dia merasa dirinya pintar!
Orang bodoh yang sadar dirinya bodoh itu baik, karena dari kesadaran itu dia bisa belajar, dan memperbaiki diri.
Yang bermasalah adalah orang bodoh yang merasa dirinya pintar, hingga tidak mau belajar, bahkan koar-koar bangga tentang “teori-teori” bikinannya ke orang-orang lain.
Sering kali, masalah sosial diawali hal-hal semacam ini, ketika ada orang bodoh merasa dirinya pintar, lalu menyusun “teori goblok” yang ia anggap hebat, lalu “mendiskusikan teori goblok” bikinannya ke orang-orang lain.
Inilah awal mula sesuatu yang disebut ghibah.
Selalu ingat hal penting ini:
Orang pintar membicarakan ide, wawasan, atau perspektif mereka.
Orang biasa membicarakan berita atau peristiwa.
Sementara orang bodoh suka ber-ghibah, membicarakan orang lain, dengan tujuan menjelek-jelekkan.
*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 16 Desember 2022.