Orang sering berpikir, “lupa” adalah kelemahan. Padahal “lupa” adalah kemampuan. Disebut kelemahan jika “pelupa” atau “mudah lupa”. Kalau sekadar “lupa”, itu kemampuan. Secara biologis, manusia memiliki kemampuan untuk lupa, agar bisa menjalani hidup normal.
Lupa adalah bagian dari sifat Homo sapiens. Sama seperti sifat-sifat lain, ada yang kadarnya rendah, sangat rendah, tinggi, hingga sangat tinggi. Kenyataan ini sering kita lupakan, hingga kita menilai atau mengharapkan orang-orang lain memiliki kadar lupa [atau kadar ingatan] yang sama seperti kita.
Ada orang yang mengalami kejadian hari ini, dan lusa atau beberapa hari ke depan sudah lupa. Tapi juga ada orang yang mengalami kejadian hari ini, dan bertahun-tahun kemudian tetap ingat—bukan hanya ingat, orang semacam itu bahkan biasanya bisa menyebutkan detail kejadian sesuai aslinya.
Dan mereka bisa mengingat kejadian bertahun lalu secara detail itu bukan karena berusaha mengingat—tapi semata-mata karena ingatan itu menempel begitu saja. Karenanya, seperti disebut tadi, manusia memiliki kemampuan untuk lupa, agar bisa menjalani hidup normal.
Mungkin kita mengenal orang-orang yang mudah melupakan sesuatu di masa lalu, hingga enteng saja mengatakan, “Sing wis yo wis (yang sudah ya sudah).”
Tapi tidak semua orang seperti itu, karena tidak semua orang bisa mudah melupakan sesuatu. Ada orang-orang yang “selalu ingat”.
Dan orang-orang yang “selalu ingat” itu akan terus membawa ingatannya sampai kapan pun. Kita melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu kepadanya, dan bertahun-tahun yang akan datang kita mungkin sudah lupa—tapi dia akan tetap ingat. Kita terus menua, tapi dia akan tetap ingat.
“Ingatan itu seperti pisau tajam, Hannibal,” kata Lady Murasaki pada Hannibal Lecter.
Dia benar, tentu saja. Tetapi, sayang, Hannibal Lecter tak pernah lupa.