Senin, 20 Oktober 2025

Update

Saya menulis catatan ini dalam kondisi setengah sehat dan setengah sakit, karena baru keluar dari rumah sakit. Yang saya rasakan, sakitnya [masih] lebih banyak dari sehatnya.

Beberapa waktu yang lalu saya harus masuk rumah sakit karena kondisi kesehatan tertentu, dan sekarang saya baru beberapa hari meninggalkan rumah sakit. [Saya menulis catatan ini bukan karena memaksakan diri, saya menulis catatan ini sebagai semacam latihan untuk mengembalikan kemampuan saya menulis seperti biasa. Setelah keluar dari rumah sakit, saya merasa pikiran saya kurang mampu bekerja maksimal, jadi secepatnya saya harus melakukan “antisipasi”.]

Saat ini, meski telah keluar dari rumah sakit, saya belum bisa mengatakan kalau saya “sudah sembuh” karena sepertinya masih butuh waktu cukup lama untuk benar-benar memulihkan kesehatan saya seperti semula. Kesehatan fisik, maupun kesehatan pikiran. Bantu doakan saya melewati semua ini. 

Setelah keluar dari rumah sakit, saya tinggal di rumah orang tua, karena bagaimana pun saya butuh orang lain untuk membantu-bantu kebutuhan saya sehari-hari, dan di rumah orang tua ada adik yang begitu baik membantu-bantu kebutuhan saya sehari-hari. Tapi sekarang saya sudah kembali ke rumah saya sendiri, karena merasa tubuh sudah lumayan kuat untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri, dan karena saya juga tidak enak terus menerus merepotkan adik serta ibu saya. Bagaimana pun, saya sudah memilih untuk hidup sendiri, dan saya harus menghadapi konsekuensinya.

Selama tinggal di rumah orang tua—dan itu cukup lama—banyak sekali orang yang datang menjenguk, khususnya para tetangga di kampung. Saya sangat terharu dan berterima kasih atas kepedulian serta dukungan mereka, sekaligus tidak menyangka kalau saya akan mendapat kunjungan serta dukungan sebanyak itu dari para tetangga. Kehadiran mereka membuat saya merasa lebih sehat. 

Selain kunjungan para tetangga, saya juga tidak menyangka akan mendapat kunjungan dari teman-teman lama yang saat ini rata-rata sudah jadi orang tua. Dari teman-teman lama yang datang, ada satu orang yang membuat saya menangis saat bertemu dengannya.

Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih kanak-kanak, saya berteman dengan seseorang bernama Ruli. Dia teman sekolah, juga teman sekampung, jadi keluarga saya kenal keluarga Ruli, sebagaimana keluarga Ruli kenal keluarga saya. Pertemanan kami terus berlangsung sampai kami sama-sama besar, sampai kemudian mulai jarang ketemu setelah kami sama-sama mulai bekerja, layaknya anak-anak muda yang lain.

Sampai suatu waktu Ruli menikah, lalu pindah ke tempat lain, dan praktis kami tidak pernah ketemu lagi. Pada waktu itu saya juga sudah tidak tinggal di kampung halaman, jadi kemungkinan ketemunya memang hampir mustahil. Tapi Ruli adalah teman saya, dan dia tetap teman saya... meski kami tidak pernah lagi ketemu.

Bertahun-tahun kemudian, ketika saya baru keluar dari rumah sakit kemarin, Ibu Ruli mendengar keberadaan saya di rumah orang tua (orang tua Ruli masih tinggal di kampung yang sama, begitu pula orang tua saya). Ibu Ruli memberi tahu Ruli soal kabar saya, dan suatu malam Ruli datang ke rumah orang tua saya bersama ibunya.

Saya langsung mengenali Ruli, sabahat dari masa kecil, dan kami merasa seperti reuni. Kami bercakap-cakap dengan hangat, bersama ibu saya dan ibu Ruli, saling bertukar kabar. Bagaimana pun kami telah terpisah selama bertahun-tahun, dan baru saat itu bisa kembali bertemu, meski dalam kondisi yang tidak ideal karena saya dalam kondisi sakit.

Yang membuat saya sangat terharu adalah saat Ruli dan ibunya akan berpamitan, Ruli tiba-tiba memeluk saya, dan, dengan mata membasah, dia berkata, “Aku sangat merindukan pertemanan kita dulu.”

Saya merasakan pelukannya yang erat, dan, dengan mata yang sama membasah, saya berkata, “Setelah sembuh nanti, aku akan dolan ke rumahmu, seperti dulu.” Lalu air mata saya runtuh tak terbendung.

Itu menjadi moment yang sangat emosional bagi kami, sekaligus moment istimewa bagi saya karena bisa kembali ketemu teman dari masa kanak-kanak dulu; teman yang tetap menjadi teman meski tahun-tahun panjang telah berlalu. 

Amal Alamuddin adalah Mbakyu

Dulu, sebelum (akhirnya) menikah dengan Amal, George Clooney pernah bersumpah tidak akan pernah menikah lagi. Banyak yang paham, Clooney bersedia menikah dengan Amal bukan sekadar karena cinta, tapi juga karena kesamaan visi—sesuatu yang tidak dimiliki rata-rata wanita lain.

Selama ini, George Clooney menghabiskan uangnya untuk membiayai satelit mata-mata, yang ia tempatkan di titik-titik tertentu yang ia inginkan. Salah satunya adalah Sudan—yang belakangan membuat Omar al-Bashir, diktator Sudan, ngamuk-ngamuk tak karuan begitu tahu dimata-matai.

Apa motivasi George Clooney memata-matai Sudan? Mungkin sekadar bersenang-senang, atau bisa pula karena dendam pribadi. Omar al-Bashir telah divonis sebagai penjahat perang di Hague, dan George Clooney, sebagaimana yang diakuinya, “membencinya setengah mati.”

Kebencian Clooney sebenarnya beralasan. Omar al-Bashir membantai rakyat Sudan seenaknya, dan satelit mata-mata yang ditempatkan Clooney sebagai semacam pengingat bagi sang diktator agar dia berhenti berbuat gila. Dan dunia mengarahkan pandangan ke Sudan, karena Clooney.

“Hobi” yang dilakukan Clooney bisa jadi sulit diterima rata-rata wanita yang tentu lebih ingin uangnya digunakan untuk pelesir atau membeli barang-barang mahal. Karena itulah Clooney pernah bersumpah tidak akan menikah, sampai akhirnya bertemu Amal yang bisa memahami visinya.

Sekadar pengingat, Amal Alamuddin bukan hanya wanita mempesona, tapi juga seorang pengacara Inggris-Lebanon, yang mengkhususkan diri dalam hukum internasional dan hak asasi manusia. Dia jelas bisa memahami visi George Clooney. Dengan kata lain, Amal Alamuddin adalah mbakyu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2019.

Demokrasi

Mengapa Amerika selalu memaksa orang-orang di seluruh dunia, di bawah todongan senjata, untuk memakai sistem pemerintahannya? Kalau sistem ini benar-benar baik, kita tidak perlu memaksa; mereka akan mencurinya. —Dick Gregory, komedian Amerika

Apakah demokrasi memang sistem yang baik? Ya, setidaknya, demokrasi memungkinkan semua orang menempati posisi setara—satu kepala, satu suara. Tetapi jika ditanya, kenapa sistem demokrasi dipaksakan di dunia, jawabannya agak pahit. Yakni karena sistem ini memungkinkan manipulasi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2019.

Ruang Privat Orang Lain

Yang kusukai dari Twitter; makin banyak orang sadar kalau menikah dan punya anak adalah pilihan pribadi orang per orang. Kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk menikah atau tidak, seperti kita tidak bisa memaksa siapa pun untuk punya anak atau tidak. Itu hak, pilihan individu.

Saat ini, kita bahkan bisa tahu mana orang "berpendidikan/beradab" dan mana yang tidak, dari urusan menikah dan punya anak. Jika seseorang suka menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah, atau nyinyir "kapan kawin", atau tanya-tanya kapan punya anak, sudah jelas dia tidak beradab.

Ada bagian kehidupan orang lain yang bisa kita masuki, dan ada bagian yang tidak boleh kita masuki, dan hanya orang-orang beradab yang memahami etika ini. Keputusan menikah dan punya anak adalah bagian yang masuk ranah privat—hak/urusan pribadi—yang tidak boleh kita masuki.

Jika kelak aku menikah, menua, dan punya anak, aku akan selalu mengingatkan diriku sendiri agar menjaga mulut saat berinteraksi dengan orang-orang yang lebih muda, untuk tidak pernah bertanya "kapan kawin", atau semacamnya. Karena selain tidak beradab, itu sangat tidak berpendidikan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Agustus 2021.

Hidup Bisa Berantakan

Hidup bisa berantakan, dan upaya memperbaikinya bisa penuh kekacauan. Tapi bukan berarti kita harus hancur.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2019.

Modus

Orang yang mengatakan, “Aku ngomong begini untuk kebaikanmu.” Biasanya dia ngomong begitu untuk kepuasannya egonya sendiri. 

Kamu

Semua drama cinta panjang lebar dan bertele-tele di muka bumi ini sebenarnya bisa disingkat dalam satu kata, "Kamu."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2012.

Stiker Sialan

Stiker kertas tuh ngeselin. Kalau sudah nempel, sulit dilepaskan. Kalau pun bisa dilepas, pasti ada sisa-sisa tempelan yang sulit dihilangkan.

Ini aku lagi beres-beres rumah, dan kemarin butuh waktu seharian penuh cuma untuk membersihkan pintu kamar dari tempelan stiker.

Sekadar tip agar tidak mengalami kerepotan seperti yang kualami:

Kalau ingin menempel stiker, sebaiknya pastikan stiker terbuat dari plastik, hingga lebih mudah dilepas sewaktu-waktu, dan lebih bersih.

Tapi lebih baik lagi tidak usah nempel stiker! Rumah jadi tampak lebih rapi.

Kelak, kalau aku punya pacar, dan berencana menikahinya, aku akan bertanya, "Apakah kamu suka nempel-nempel stiker di rumah?"

Jika jawabanya "ya", aku akan minta putus!

Hidup ini sudah penuh masalah dan kerepotan, dan tempelan stiker sialan di rumah akan menambah masalah!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Maret 2019.

Mood

Kalau mood udah rusak, mau apa-apa rasanya males semua.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 April 2019.

Nama-nama Generasi

Dari dulu aku gelisah mikir ini: Kenapa penamaan atau penyebutan generasi dimulai dari X? Tiba-tiba kita mengenal Generasi X, Generasi Y, dan Generasi Z. Lalu Generasi A sampai Generasi W ke mana? Kenapa tidak dimulai dari A? Dan siapa sebenarnya yang bikin penyebutan absurd ini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Maret 2019.

Makhluk Paling Beruntung

Makhluk paling beruntung di dunia mungkin kucing yang disayangi pemiliknya.

Dan Kegalauan

Dan kegalauan membunuh perlahan-lahan...


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2012.

Santai

Kapan terakhir kali aku bisa santai? Rasanya sudah lama sekali, sebegitu lamanya sampai aku lupa bagaimana caranya bersantai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Jare

Urip kok isine jare.

Rabu, 01 Oktober 2025

Sandwich Generation dan Pola Pikir Masa Lalu

HSBC Bank pernah melakukan survei pada pekerja formal di Indonesia terkait perencanaan setelah pensiun. Hasilnya, 30% responden sudah menyiapkan diri dalam bentuk investasi, sementara sisanya yang 70% mengandalkan bantuan keuangan anak-anaknya kelak. 

Ada banyak orang tua mengandalkan anak-anaknya, dan anak-anak itu lalu harus menghidupi keluarganya sendiri juga menghidupi orang tuanya. Fenomena itulah yang lalu populer disebut “sandwich generation”—generasi yang terjepit dari atas dan bawah. Dari atas, orang tua menuntut bantuan. Dari bawah, ada kebutuhan si anak sendiri [apalagi kalau sudah punya keluarga sendiri.]

Sandwich generation sebenarnya tidak masalah, kalau si anak memang hidup berkelimpahan, atau setidaknya berkecukupan, sehingga bisa mengulurkan bantuan keuangan untuk orang tua yang sudah pensiun atau sudah sepuh dan tidak lagi bekerja. Tapi bagaimana jika si anak justru hidup pas-pasan?

Bagi banyak orang, hidup saja sudah susah. Menjalani kuliah sampai lulus, susah. Mencari kerja, susah. Memenuhi kebutuhan sehari-hari, susah. Menggapai cita-cita atau impian, susah. Jika generasi susah ini masih dituntut jadi “sandwich”, itu seperti menimpakan beban yang bertambah-tambah.

Sandwich generation, dalam perspektif saya, adalah hasil kekeliruan cara berpikir. Manusia senang “mengidealkan” masa depan—itulah inti masalahnya! Manusia senang membayangkan “hidup bahagia selama-lamanya”, lalu punya anak-anak yang mengurus mereka.

Yang jadi masalah, pola pikir semacam itu sebenarnya warisan masa lalu yang sudah tidak relevan. Seratus tahun lalu—apalagi seribu tahun lalu—jelas berbeda dengan zaman sekarang. Karena zaman sudah berubah, cara berpikir mestinya ikut berubah. Dan inilah masalahnya.

Kita didoktrin untuk percaya pada sesuatu yang sebenarnya hanya relevan di masa lalu. Akibatnya, banyak dari kita yang menjalani hidup di masa sekarang, tapi masih menggunakan pola pikir masa lalu. Sandwich generation hanyalah satu di antara banyak masalah lain yang kemudian lahir.

Di masa lalu belum ada globalisasi; anak masih hidup berdekatan dengan orang tua, meski sudah menikah dan punya keluarga sendiri. Kenyataan itu lalu melahirkan pola pikir “orang tua mengandalkan anak”. Relevan di masa lalu, tapi bisa menjadi masalah di masa kini.

Globalisasi—yang dapat memisahkan anak dan orang tua hingga hidup sangat berjauhan—hanyalah satu hal. Masih ada hal-hal lain yang menjadikan doktrin masa lalu, khususnya terkait sandwich generation, sulit diterapkan di masa sekarang, dan bisa berbuah kekecewaan.

Seperti yang saya sebut tadi, masalah ini berawal dari kekacauan pola pikir. Orang tua di masa lalu berpikir anak adalah investasi yang menguntungkan, dan itu sah. Karena kehidupan di masa lalu memang memungkinkan untuk “menanamkan investasi pada anak-anak”.

Tapi berpikir “anak adalah investasi” di masa sekarang bisa menimbulkan aneka masalah, karena—kalau menggunakan perspektif investasi—“investasimu belum tentu menguntungkan, tapi malah bisa rugi besar”. Masalah bagi orang tua, juga masalah bagi si anak.

Anak zaman dulu mungkin mudah percaya pada aneka doktrin yang dicekokkan ke kepala mereka. Tapi anak zaman sekarang sudah mulai menyadari bahwa “anak tidak minta dilahirkan”. Kesadaran itu, entah kita sadar atau tidak, membawa implikasi yang luar biasa besar.

Anak tidak minta dilahirkan. Kalau kamu punya anak, itu keputusanmu, bukan keputusan si anak. Karena itu keputusanmu, kamulah yang bertanggung jawab, bukan sebaliknya. Semakin ke sini, semakin banyak anak yang sadar soal ini.

Kita meributkan sistem dan isme-isme, tapi yang kita ributkan selalu yang ada di luar sana; kapitalisme, sosialisme, liberalisme, dan aneka isme lain. Seiring dengan itu, kita melupakan sistem yang kita bangun sendiri, isme yang ada di kepala dan keyakinan kita sendiri.

Kita membangun sistem yang angkuh berdasar doktrin yang seharusnya mulai dibongkar dan dipertanyakan, kita membangun isme yang kita yakini benar padahal sudah harus dikaji ulang. Karena sistem dan isme yang disandarkan pada masa lalu hanya relevan untuk masa lalu.

Bahagia Tidak Sesederhana Itu

Sampai sekarang aku lagi mikir. Tempo hari, ada foto yang viral di Twitter, memperlihatkan seorang pria yang duduk dan memangku anaknya di trotoar. Mereka saling berhadapan dan tampak tertawa.

Netizen menyebarkan foto itu, dan menambahkan kalimat, "Bahagia itu sederhana."

Yang kupikirkan... bagaimana kita tahu mereka benar-benar bahagia?

Apakah pria yang memangku anaknya di trotoar itu memang bahagia? Mungkin, ya. Tapi mungkin pula dia sedang stres memikirkan kehidupan mereka, dan satu-satunya cara menyenangkan anaknya adalah membuatnya tertawa.

Terkait kebahagiaan—atau perasaan lain—kita sepertinya punya kecenderungan untuk merasa lebih tahu dibanding orang yang merasakannya. Kita terlalu terbiasa untuk menilai seseorang dari penampakannya, padahal perasaan (termasuk kebahagiaan) adalah sesuatu yang tak terlihat.

Apakah kamu bahagia atau tidak, hanya kamu yang tahu, karena itu perasaanmu—sesuatu yang tak terlihat orang lain. Kamu bisa memasang wajah ceria dan menyuarakan tawa membahana, dan seiring dengan itu kamu menangis diam-diam tanpa seorang pun tahu. Orang lain tidak tahu perasaanmu.

Kita juga bisa melihat seseorang yang tampak gembira, menjadi pusat perhatian di mana-mana, dan kita menganggapnya bahagia, sambil mungkin diam-diam iri kepadanya. Tapi siapa yang tahu kalau ternyata dia kesepian... dan bersembunyi balik topeng popularitas serta keceriaannya?

"Aku lelah," kata Marilyn Monroe.

Dia mengatakan kata-kata itu saat berada di puncak popularitas, tangga tertinggi yang diimpikan jutaan perempuan lain, ketika dunia sedang memujanya. Satu hari kemudian, dia ditemukan tewas karena overdosis.

Kita tidak tahu perasaan orang lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Januari 2019.

Lihat Perempuan Cerdas Kok Takut

Di Twitter, khususnya di timeline-ku, banyak wanita cerdas dan berwawasan luas dengan pemikiran yang kritis—terkait diri mereka sendiri, maupun terkait kehidupan secara luas. Bagi sebagian orang, kenyataan ini bisa jadi “mengerikan” dan membuat mereka “khawatir”.

Karenanya tidak heran kalau tempo hari ada rekaman video viral berisi seorang ustaz yang mengatakan, “Kesalahan perempuan zaman now adalah menomorsatukan pendidikan, dan bukan menikah.”

Bahkan sebagai lelaki, aku terluka mendapati kalimat itu. Apalagi perempuan.

Meski pahit, kenyataannya ada banyak lelaki yang rendah diri, dan merasa inferior saat berhadapan dengan wanita hebat. Jadi, alih-alih berupaya memperbaiki diri, laki-laki inferior itu berusaha sekuat tenaga agar perempuan tetap bodoh dan terbelakang, agar bisa terus direndahkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Februari 2019.

Memiliki Diri Sendiri

Dalam kehidupan siapa pun, akan tiba suatu hari ketika yang kita inginkan hanyalah memiliki diri sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Yang Menjadikan Hidup Ini Berat

Yang menjadikan hidup ini berat bukan hidup itu sendiri, tapi keberadaan orang-orang yang merasa dirinya lebih benar atau lebih suci, lalu memaksa semua orang menjalani hidup seperti dirinya. Sejak zaman Neanderthal, orang-orang semacam itulah yang selalu menimbulkan masalah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2019.

Tidak Harus Sama

Kamu tidak harus sama dengan orang lain. Kalau kamu berbeda, tidak apa-apa.

Menemukan Keindahan

Kita hanya hidup untuk menemukan keindahan, hal yang lain hanyalah bentuk penantian.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Kesunyian Masing-masing

Seseorang berkata, "Nasib adalah kesunyian masing-masing." Dan sekarang aku mengerti, takdir bersenandung dalam hening.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Mei 2014.  

Nama Asli Kue Nastar

Baru tahu.

Ternyata, nama asli kue nastar adalah ananas taart. Sedangkan nama asli kastangel adalah kaas stengels.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Februari 2019.

Hari

Hari yang sangat tidak environmental.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Februari 2019.

 
;