Saya menulis catatan ini dalam kondisi setengah sehat dan setengah sakit, karena baru keluar dari rumah sakit. Yang saya rasakan, sakitnya [masih] lebih banyak dari sehatnya.
Beberapa waktu yang lalu saya harus masuk rumah sakit karena kondisi kesehatan tertentu, dan sekarang saya baru beberapa hari meninggalkan rumah sakit. [Saya menulis catatan ini bukan karena memaksakan diri, saya menulis catatan ini sebagai semacam latihan untuk mengembalikan kemampuan saya menulis seperti biasa. Setelah keluar dari rumah sakit, saya merasa pikiran saya kurang mampu bekerja maksimal, jadi secepatnya saya harus melakukan “antisipasi”.]
Saat ini, meski telah keluar dari rumah sakit, saya belum bisa mengatakan kalau saya “sudah sembuh” karena sepertinya masih butuh waktu cukup lama untuk benar-benar memulihkan kesehatan saya seperti semula. Kesehatan fisik, maupun kesehatan pikiran. Bantu doakan saya melewati semua ini.
Setelah keluar dari rumah sakit, saya tinggal di rumah orang tua, karena bagaimana pun saya butuh orang lain untuk membantu-bantu kebutuhan saya sehari-hari, dan di rumah orang tua ada adik yang begitu baik membantu-bantu kebutuhan saya sehari-hari. Tapi sekarang saya sudah kembali ke rumah saya sendiri, karena merasa tubuh sudah lumayan kuat untuk memenuhi kebutuhan saya sendiri, dan karena saya juga tidak enak terus menerus merepotkan adik serta ibu saya. Bagaimana pun, saya sudah memilih untuk hidup sendiri, dan saya harus menghadapi konsekuensinya.
Selama tinggal di rumah orang tua—dan itu cukup lama—banyak sekali orang yang datang menjenguk, khususnya para tetangga di kampung. Saya sangat terharu dan berterima kasih kasih atas kepedulian serta dukungan mereka, sekaligus tidak menyangka kalau saya akan mendapat kunjungan serta dukungan sebanyak itu dari para tetangga. Kehadiran mereka membuat saya merasa lebih sehat.
Selain kunjungan para tetangga, saya juga tidak menyangka akan mendapat kunjungan dari teman-teman lama yang saat ini rata-rata sudah jadi orang tua. Dari teman-teman lama yang datang, ada satu orang yang membuat saya menangis saat bertemu dengannya.
Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih kanak-kanak, saya berteman dengan seseorang bernama Ruli. Dia teman sekolah, juga teman sekampung, jadi keluarga saya kenal keluarga Ruli, sebagaimana keluarga Ruli kenal keluarga saya. Pertemanan kami terus berlangsung sampai kami sama-sama besar, sampai kemudian mulai jarang ketemu setelah kami sama-sama mulai bekerja, layaknya anak-anak muda yang lain.
Sampai suatu waktu Ruli menikah, lalu pindah ke tempat lain, dan praktis kami tidak pernah ketemu lagi. Pada waktu itu saya juga sudah tidak tinggal di kampung halaman, jadi kemungkinan ketemunya memang hampir mustahil. Tapi Ruli adalah teman saya, dan dia tetap teman saya... meski kami tidak pernah lagi ketemu.
Bertahun-tahun kemudian, ketika saya baru keluar dari rumah sakit kemarin, Ibu Ruli mendengar keberadaan saya di rumah orang tua (orang tua Ruli masih tinggal di kampung yang sama, begitu pula orang tua saya). Ibu Ruli memberi tahu Ruli soal kabar saya, dan suatu malam Ruli datang ke rumah orang tua saya bersama ibunya.
Saya langsung mengenali Ruli, sabahat dari masa kecil, dan kami merasa seperti reuni. Kami bercakap-cakap dengan hangat, bersama ibu saya dan ibu Ruli, saling bertukar kabar. Bagaimana pun kami telah terpisah selama bertahun-tahun, dan baru saat itu bisa kembali bertemu, meski dalam kondisi yang tidak ideal karena saya dalam kondisi sakit.
Yang membuat saya sangat terharu adalah saat Ruli dan ibunya akan berpamitan, Ruli tiba-tiba memeluk saya, dan, dengan mata membasah, dia berkata, “Aku sangat merindukan pertemanan kita dulu.”
Saya merasakan pelukannya, dan, dengan mata yang sama membasah, saya berkata, “Setelah sembuh nanti, aku akan dolan ke rumahmu, seperti dulu.” Lalu air mata saya runtuh tak terbendung.
Itu menjadi moment yang sangat emosional bagi kami, sekaligus moment istimewa bagi saya karena bisa kembali ketemu teman dari masa kanak-kanak dulu; teman yang tetap menjadi teman meski tahun-tahun panjang telah berlalu.