Orang kepo sih biasa. Tapi ada orang yang keponya
membuat orang yang dia kepoin sampai ingin
bunuh diri karena sangat terganggu. Ada.
—@noffret
membuat orang yang dia kepoin sampai ingin
bunuh diri karena sangat terganggu. Ada.
—@noffret
“Kepo” berasal dari kata “kaypoh”, bahasa Hokkien yang banyak dipakai di Singapura dan sekitarnya. Di Indonesia, istilah itu juga sering digunakan, dan secara umum diartikan “keinginan mau tahu”, “mencampuri urusan orang lain”, atau “tidak bisa diam”. Meski arti sebenarnya netral, namun istilah ini—khususnya di Indonesia—memiliki konotasi yang cukup negatif. Artinya, orang yang disebut kepo dianggap tidak/kurang baik.
Saya sendiri mengartikan kepo sebagai hal yang netral, selama orang yang kepo tersebut tidak sampai mengganggu orang yang dia kepoin. Para penggemar artis, misalnya, kebanyakan juga kepo. Mereka selalu mencari tahu segala macam berita, kabar, gosip, atau apa pun, yang berhubungan dengan artis pujaannya. Tentu saja tidak masalah, selama mereka tidak sampai mengganggu artis yang mereka puja.
Saya sendiri pun begitu. Saya sering mencari tahu kabar orang-orang yang saya kagumi—di internet, di majalah, atau media lainnya. Saya ingin tahu bagaimana kabar mereka, saya ingin tahu apa kegiatan mereka sekarang, saya ingin tahu karya terbaru mereka, dan lain-lain. Tapi saya tidak pernah mengganggu orang-orang itu sedikit pun. Artinya, orang-orang yang saya kepoin tidak sampai terganggu atau tidak nyaman dengan segala aktivitas kekepoan saya.
Memang, kadang saya menyapa mereka di Twitter, kalau pas ketemu di timeline, tapi hanya sebatas itu. Saya pun menyapanya dengan wajar dan secukupnya (tidak over), menjaga agar mereka tetap nyaman dan tidak merasa terganggu. Lebih dari itu, dalam interaksi dengan orang lain—khususnya dengan orang-orang yang saya hormati—saya menyapa mereka dengan hormat, dengan cara menghormati diri sendiri.
Itu mungkin pelajaran penting bagi siapa pun yang suka kepo pada orang-orang tertentu. Ber-kepo-lah, tapi lakukan dengan cara yang terhormat. Hormati orang yang kita kepoin, dengan cara menghormati diri sendiri. Artinya, silakan saja kita meng-kepo seseorang atau siapa pun, tapi jangan sampai orang yang kita kepo terganggu atau merasa tidak nyaman.
Sebagaimana kita butuh privasi, orang yang kita kepoin juga begitu. Sebagaimana kita mungkin tidak nyaman dengan perbuatan tertentu orang lain, orang lain pun begitu. Kekaguman pada seseorang tidak seharusnya membuat kita melupakan rasa hormat pada diri sendiri. Dengan cara menghormati diri sendiri, kita pun akan bisa memperlakukan orang yang kita kagumi dengan hormat pula. Tidak ada kehormatan bagi orang lain, selama kita belum bisa menghormati diri sendiri.
Nah, untuk orang yang kepo dengan keterlaluan, sampai kehilangan rasa hormat pada diri sendiri, saya menyebutnya keponista. Keponista adalah orang kepo sekepo-keponya, sampai membuat orang yang dikepoin merasa terganggu dan tidak nyaman. Jika si keponista ini mengagumi atau memuja seorang artis, misalnya, maka si keponista akan muncul di mana pun si artis muncul—di dunia nyata maupun di dunia maya.
Di dunia nyata, keponista kadang sampai membuntuti kemana pun si artis pergi, berusaha mencari nomor teleponnya, lalu tanpa risih menelepon serta mengirim SMS berkali-kali. Di dunia maya, keponista tidak boleh melihat G-talk artis pujaannya menyala. Begitu ada tanda si artis sedang online, keponista akan langsung menyambar, tak peduli apakah si artis sedang sibuk atau sedang pusing, atau sedang bercakap-cakap serius dengan sahabatnya.
Tahu tidak, ada banyak orang yang khawatir campur prihatin setiap kali mau menyalakan G-talk atau aplikasi semacamnya, akibat gangguan keponista yang keterlaluan.
Kadang-kadang, gara-gara gangguan yang keterlaluan itu, si artis menulis sindiran di timeline, berharap si keponista (yang tentu menjadi follower-nya di Twitter) menyadari kekeliruannya, agar berhenti mengganggu. Tapi karena tak memiliki rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain, keponista biasanya tidak sadar, dan tidak paham bahwa itu sindiran yang ditujukan untuknya. Alih-alih sadar diri, dia justru makin tak tahu diri.
Lalu si artis memproteksi akun Twitter-nya, dan memblokir akun si keponista agar tidak lagi mengganggunya. Lagi-lagi, tanpa sadar diri, si keponista bikin akun Twitter palsu demi bisa kembali mem-follow si artis, dan kembali mengganggu serta bikin tidak nyaman. Keponista adalah orang yang kehilangan rasa hormat—pada diri sendiri, dan pada orang lain.
Dalam film Expendable 2, Jean Vilain—yang diperankan Van Damme—menyatakan, “Respect is everything. Without respect, we’re just people. Common, shitty people.”
Dalam film itu, Vilain adalah antagonis, seorang bajingan keji. Tetapi bahkan seorang bajingan keji pun menyadari bahwa, “Rasa hormat adalah segalanya. Tanpa rasa hormat, kita hanyalah orang. Umum, orang brengsek.”
Yang membedakan seseorang disebut baik atau brengsek adalah rasa hormat. Orang baik memiliki rasa hormat. Rasa hormat kepada dirinya, dan rasa hormat kepada orang lain. Orang brengsek sebaliknya. Orang brengsek tidak tahu cara menghormati diri sendiri. Dan karena dia tidak tahu cara menghormati diri sendiri, maka dia pun tidak tahu cara menghormati orang lain.
Pada tahun 2006, saya mengirim beberapa tulisan romantis ke suatu majalah yang dikonsumsi remaja dan anak muda. Tulisan itu dimuat, saya mendapat honor, juga mendapat majalah yang memuat tulisan tersebut. Itu sebenarnya hal biasa. Yang tidak biasa, majalah itu juga memuat alamat serta nomor ponsel saya—tepat di bawah tulisan yang saya kirim.
Efeknya sangat mengerikan!
Tidak lama setelah majalah itu terbit dan beredar, ponsel saya nyaris tak pernah berhenti berdering. Dari bangun tidur sampai saya mau tidur lagi, bahkan ketika saya sedang tidur, ponsel saya terus bernyanyi, menerima banyak panggilan dan SMS dari orang-orang yang menemukan nomor ponsel saya di majalah itu.
Tentu saja saya sangat terganggu. Ending-nya, saya terpaksa mengganti nomor ponsel, meski nomor itu telah saya gunakan selama enam tahun sejak tahun 2000. Saya menghubungi redaktur majalah itu, memprotes mengapa alamat serta nomor ponsel saya bisa termuat di majalahnya. Si redaktur menjelaskan bahwa itu “kecelakaan”, karena edisi itu kebetulan dikerjakan beberapa magang yang belum berpengalaman. Dia meminta maaf atas hal itu, dan saya tidak bisa apa-apa.
Tapi masalah yang saya hadapi tidak selesai sampai di situ.
Setelah saya mengganti nomor ponsel, orang-orang itu memang tidak bisa lagi menghubungi ponsel saya. Tapi mereka punya alamat saya yang tertera di majalah! Dan malapetaka pun terjadi.
Dalam banyak korespondensi, saya selalu menggunakan alamat orang tua saya. Alamat itu menjadi benteng yang sulit ditembus, untuk menjaga privasi saya. Ketika mengirim tulisan ke majalah tadi, saya pun menggunakan alamat orang tua. Akibatnya, tiap hari ada cewek-cewek berdatangan ke rumah orang tua saya. Nyokap saya panik!
Cewek-cewek itu tidak bisa menemui saya, karena orang di rumah tidak mau menyebutkan alamat saya tinggal. Biasanya, setelah dijelaskan bahwa saya tidak tinggal di sana, mereka pun pergi dengan baik-baik. Tetapi ada beberapa cewek yang terus memaksa orang di rumah agar menyebutkan alamat tinggal saya. Cewek-cewek itu tidak bisa diajak ngomong baik-baik, mereka datang setiap hari, terus memaksa meminta alamat saya—dengan berbagai alasan (yang pastinya ngarang).
Meski cewek-cewek itu tidak bisa menemui saya, tapi orang tua saya merasa terganggu, dan saya pun jadi tidak nyaman. Peristiwa itu berlangsung cukup lama, sampai-sampai saya merasa malu sendiri pada para tetangga di sana. Bahkan, selama waktu-waktu itu, saya tidak bisa bebas mengunjungi orang tua karena harus memastikan terlebih dulu para keponista tidak ada di sana.
Itu cerita masa lalu, setidaknya tujuh tahun yang lalu. Tapi para keponista tidak berarti sudah punah. Sekarang, ketika internet telah menjadi bagian keseharian kita, para keponista juga agresif di dunia maya. Sebegitu agresifnya, sampai-sampai tingkah laku mereka juga sama mengganggu seperti yang dulu pernah saya alami.
Oh, well, mengagumi seseorang tentu saja hak setiap kita—apa pun alasannya. Tetapi kekaguman—atau perasaan apa pun—tidak berarti kita bisa bebas mengganggu orang lain, atau membuat orang lain merasa tidak nyaman. Selalu ada batas untuk hal itu, dan batasnya adalah rasa hormat. Hormat pada orang lain, sebagaimana kita hormat pada diri sendiri. Kepo dan keponista adalah dua hal yang berbeda. Kepo dilakukan tanpa mengganggu, keponista sebaliknya.
Setiap orang tentu senang jika mengetahui orang lain mengaguminya. Bahkan, ungkapan kekaguman seseorang pada orang lainnya tak jauh beda dengan vitamin yang menyehatkan tubuh. Ungkapan kekaguman—yang dilakukan dengan hormat—menyehatkan pikiran dan batin penerimanya. Tetapi, jika ungkapan kekaguman dilakukan tanpa rasa hormat, maka hasilnya tak jauh beda dengan virus. Ia mengganggu, membuat tidak nyaman, setidaknya menimbulkan risih.
“Respect is everything,” kata Vilain. “Without respect, we’re just people. Common, shitty people.” Saya setuju dengannya—meski dia seorang bajingan. Kadang-kadang, bajingan yang tahu menghormati orang lain lebih layak mendapatkan hormat, daripada orang baik yang tak bisa menghormati dirinya sendiri.