Setiap tulisan selalu membuktikan mutunya sendiri
sebelum dia membuktikan kelemahan tulisan lain.
—Nirwan Dewanto
sebelum dia membuktikan kelemahan tulisan lain.
—Nirwan Dewanto
Sebenarnya agak tidak adil menyebut suatu tulisan sebagai “tulisan berat” atau “tulisan ringan”. Menulis adalah proses yang berat, karenanya—kalau mau adil—sebenarnya semua tulisan tergolong “berat”. Tak peduli “seringan” apa pun, suatu tulisan—kalau memang bagus—membutuhkan kerja keras dan proses berpikir yang berat.
Baca: Media Online Paling Memuakkan
Tulisan-tulisan lucu yang membuat pembacanya tertawa atau cekikikan biasanya disebut “tulisan ringan”. Padahal, tidak setiap orang (penulis) mampu menulis sesuatu yang dapat membuat pembacanya tertawa. Membuat tulisan lucu hingga pembacanya terpengaruh untuk tertawa adalah hal berat, butuh pemikiran serius, dan bukan pekerjaan main-main. Karenanya, membuat “tulisan ringan” bukan pekerjaan ringan. Buktinya, tidak semua orang mampu melakukannya.
Apakah Hilman Hariwijaya tidak berpikir ketika membuat serial Lupus hingga pembacanya cekikikan? Tentu saja dia berpikir—bahkan berpikir keras! Bukan pekerjaan mudah merangkai kisah yang masuk akal, natural, tapi mampu membuat pembaca ngakak ketika menikmatinya. Begitu pula Raditya Dika atau penulis-penulis lain yang lekat dengan tulisan komedi. Semuanya berpikir keras—sama kerasnya dengan para penulis “tulisan berat” yang membuat jidat pembacanya berkerut dan berlumut.
Karenanya, istilah “tulisan ringan” dan “tulisan berat” sebenarnya tidak merepresentasikan proses penulisannya, melainkan lebih merupakan istilah umum untuk menyebut tulisan yang “tidak perlu banyak mikir ketika membacanya” dan tulisan yang “perlu berpikir cukup keras ketika membacanya”. Umumnya, tulisan yang disebut “ringan” mudah dipahami, dan kenyataannya memang sering kali membahas hal-hal ringan. Sebaliknya, tulisan yang disebut “berat” memang kadang berat dipahami, dan sering kali juga membahas hal-hal berat.
Mana yang lebih baik? Menurut saya tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena masing-masing penulis memiliki cara, bakat, interest, dan kemampuannya masing-masing dalam menulis. Jika penulis “tulisan berat” dianggap lebih baik atau bahkan lebih hebat dibanding penulis “tulisan ringan”, cobalah minta mereka untuk membuat “tulisan ringan” yang mampu membuat pembacanya tertawa. Saya tidak yakin mereka bisa. Karl Marx, Gibran, atau Nietszche sekali pun bisa mati berdiri kalau diminta menulis komedi.
Sebaliknya, pembaca juga memiliki kecenderungannya sendiri-sendiri dalam memilih tulisan yang ingin dibacanya. Ada pembaca yang menyukai tulisan-tulisan berat yang memaksanya berpikir keras, ada pula pembaca yang menyukai bacaan ringan yang menghibur dan membuat cekikikan. Adanya penulis yang mau membuat “tulisan ringan” menjadikan pembaca memiliki lebih banyak pilihan. Dalam dunia literasi, itu bukan hal buruk, karena sering kali “tulisan ringan” justru menjadi awal perkenalan seseorang dengan dunia bacaan dan keasyikan membaca.
Umumnya, penyuka bacaan ringan adalah kaum remaja, sebagaimana umumnya pembaca tulisan berat adalah orang-orang dewasa atau orang tua. Kenyataan itu sebenarnya bisa menjadi ilustrasi bahwa setiap orang memang bertumbuh dan berkembang, tidak hanya secara fisik dan psikis, tetapi juga secara nalar.
Dalam hidup, saya percaya semua orang bertumbuh, termasuk dalam bacaan yang dipilihnya. Setiap orang bertumbuh—tidak hanya secara fisik, pergaulan dan pengalaman, tetapi juga secara intelektual. Karenanya, anak-anak remaja yang saat ini menyukai bacaan ringan bisa jadi akan menyukai bacaan berat di masa dewasanya. Kenyataan itu bukan berarti tulisan ringan tidak penting. Perannya justru sangat penting, karena melalui tulisan ringan itulah sering kali para remaja yang semula tidak suka membaca jadi tertarik membaca.
Bayi yang baru lahir hanya membutuhkan ASI. Ketika usianya semakin bertambah, mereka mulai mengenal makanan lain, dari bubur sampai roti yang dihaluskan. Meski kita tahu nasi kebuli atau nasi dengan lauk pecel lele sangat enak, makanan itu belum cocok untuk mereka. Karenanya, biarkan mereka tumbuh, seiring usia, seiring fisiknya mampu mencerna makanan lain yang lebih berat. Pada akhirnya, tanpa diminta pun mereka akan mengenali bahwa nasi kebuli itu lezat, bahwa pecel lele itu enak. Pada tahap itu, mereka bahkan telah mengenal makanan favorit.
Kenyataan itu bukan berarti ASI tidak penting, bukan berarti bubur dan roti yang dihaluskan tidak penting. Semuanya penting, karena membantu mereka bertumbuh setahap demi setahap. Sebagaimana saya dulu menikmati masa remaja dengan kisah-kisah Lupus yang lucu dan membuat cekikikan, saya tetap menganggapnya sebagai bacaan penting ketika dewasa, karena melalui serial Lupus-lah saya mengenali asyiknya membaca.
Kini, ketika telah melahap banyak bacaan berat, serial Lupus tidak terlalu menarik lagi bagi saya. Tetapi, bagaimana pun, saya tetap merasa berutang budi pada Hilman, karena—melalui kisah-kisah Lupus yang ditulisnya—saya bisa belajar menikmati bacaan, hingga mau meluangkan waktu berjam-jam memegangi buku dan membaca tulisan di dalamnya.
Kenyataan itu juga bisa terjadi pada para remaja lain yang saat ini mungkin menyukai bacaan-bacaan ringan. Selalu ada kemungkinan mereka akan bertumbuh dan berkembang—dari keasyikan membaca tulisan ringan untuk kemudian melangkah ke bacaan yang lebih serius dan lebih berat, dan begitu seterusnya. Sebagaimana kita tidak perlu memaksakan nasi kebuli ke mulut bayi, kita juga tidak perlu memaksakan bacaan berat pada mereka yang memang belum mampu “mengunyahnya”.
Sebenarnya, tak peduli tulisan ringan atau pun tulisan berat, keduanya melalui sistem penilaian dan kompetisi yang sama. Bagaimana pun, hukum alam tetap berlaku. Yang bagus akan bertahan, yang buruk akan tersingkir. Dalam konteks dunia kepenulisan, kenyataan itu juga terjadi, dan terus terjadi. Tulisan ringan yang bagus akan terus bertahan, sebagaimana tulisan berat yang bagus. Sebaliknya, tulisan ringan yang buruk pelan namun pasti akan tersingkir karena ditinggalkan pembacanya, sebagaimana tulisan berat yang buruk.
Ketika era buku-buku ringan (semacam teenlit) mengalami booming di Indonesia pada awal 2000-an, kita tidak bisa menghitung lagi berapa banyak buku-buku ringan yang beredar di toko buku, dan banyaknya penulis yang menggeluti tulisan semacam itu. Apakah semuanya bertahan? Tidak—hanya segelintir yang mampu bertahan, sementara sebagian besar yang lain menghilang.
Apa penyebabnya? Mungkin ada cukup banyak penyebab yang menjadikan hal itu, tapi elemen paling penting adalah kualitas! Buku ringan yang berkualitas tetap memiliki pembaca, sebagaimana buku berat yang berkualitas. Dengan kata lain, penulis yang mampu menghadirkan tulisan yang baik dan berkualitas—meski disebut “ringan”—akan mampu bertahan, tetapi yang buruk dan tidak berkualitas akan ditinggalkan.
Jadi, “tulisan berat” dan “tulisan ringan” menghadapi tantangan yang sama, tinggal masing-masing penulis lebih nyaman memilih mana. Ketika suatu tulisan—dalam bentuk buku—dilempar ke pasar, buku itu akan berhadapan dengan pembacanya masing-masing. Pada akhirnya, pembaca akan memiliki selera serta penilaian tertentu untuk menentukan apakah suatu buku dianggap bagus atau buruk, berkualitas atau tidak. Hukum alam tetap berlaku. Yang bagus akan bertahan, yang buruk akan tersingkir.
Ketika menulis, setiap penulis akan memikirkan segmen pembaca yang ditujunya. Segmen itu akan mempengaruhi tulisan yang dihasilkannya, tema yang dibicarakan, sampai pada gaya penulisannya. Jika memang segmen yang dituju adalah para remaja, maka tentu si penulis akan menyesuaikan tulisannya, dengan tema yang lekat dengan kehidupan remaja, juga dengan gaya penulisan yang sesuai dengan jiwa remaja. Apakah itu kemudian disebut tulisan ringan atau tulisan berat, sebenarnya itu sudah bukan urusan penulis—pembacalah yang menilai—karena tugas penulis adalah menghadirkan pilihan bacaan kepada mereka.
Kenyataannya, kadang-kadang, yang disebut tulisan berat dan tulisan ringan sangat relatif. Suatu tulisan bisa disebut berat bagi sebagian orang, padahal sebagian lain menganggapnya ringan—begitu pula sebaliknya. Sebagai misal, saya menganggap novel-novel John Grisham sebagai bacaan ringan, karena tidak perlu berpikir untuk menikmatinya. Tapi banyak teman saya menganggap novel Grisham tergolong berat. Sebaliknya, saya menganggap tulisan-tulisan David Sedaris tergolong berat, karena kadang saya tidak paham yang ia maksudkan dalam tulisannya, tapi teman-teman saya bisa asyik cekikikan ketika membacanya.
Seperti dalam urusan makanan, masing-masing orang memiliki seleranya sendiri dalam bacaan. Sebagian ada yang menyukai masakan tradisional, sebagian lain lebih suka masakan modern. Sebagian ada yang menyukai bacaan-bacaan menghibur yang membuat tertawa, sebagian lain menyukai bacaan-bacaan berat yang memaksanya berpikir. Tidak masalah memilih makanan apa pun, selama makanan yang dikonsumsi memang sehat, bebas racun atau zat-zat berbahaya, sebagaimana tidak masalah memilih bacaan-bacaan ringan atau berat selama bacaan itu baik dan berkualitas.
Pada akhirnya, kembali lagi pada kualitas. Tak peduli sekeren apa pun bentuk makanan, orang tidak akan doyan kalau nyatanya tidak enak, apalagi mengandung zat berbahaya. Dan tak peduli sesederhana apa pun suatu makanan, orang akan menyukainya kalau memang rasanya enak dan menyehatkan. Dalam konteks tulisan berat dan tulisan ringan, yang perlu kita perhatikan bukan berat atau ringannya, melainkan kualitasnya. Ada banyak tulisan ringan yang bagus, sama banyaknya dengan tulisan berat yang bagus. Juga banyak tulisan ringan yang buruk, sama banyaknya dengan tulisan berat yang buruk.