Saya pernah membaca berita tentang seorang anak lelaki yang masuk penjara karena kedapatan mencuri. Ternyata, anak lelaki itu seorang pecandu putaw, dan dia mencuri karena butuh uang untuk bisa membeli putaw yang biasa dikonsumsinya. Ketika dia kemudian dimasukkan ke penjara, dia pun tak bisa lagi menikmati putaw. Dan akibatnya, pada suatu malam tubuh anak lelaki itu menggigil seperti kedinginan. Dia sakaw! Tubuhnya sudah meminta pasokan putaw yang biasa dikonsumsinya.
Petugas penjara yang berjaga mengira si anak lelaki hanya terkena demam biasa. Maka dia pun memberikan obat pereda demam. Tetapi tak lama setelah itu, tubuh si anak lelaki kembali menggigil, kali ini lebih hebat. Petugas jaga menjadi panik. Dia membawa tahanan itu ke rumah sakit, tapi jiwanya tak sempat tertolong. Dia mati dalam keadaan menjadi tahanan karena mencuri untuk membeli putaw, demi kebiasaannya.
Kebiasaan bisa menjadi budak yang paling baik, juga bisa menjadi tuan yang paling buruk!
Begitu besarnya pengaruh kebiasaan dalam hidup manusia, sampai Stephen R. Covey, salah seorang pemikir modern Amerika, menulis sebuah buku yang besar sekaligus tebal hanya untuk mengajarkan tentang kebiasaan. Buku itu, The 7 Habits of Highly Effective People, menjadi salah satu buku terlaris di dunia, dan dibaca jutaan orang di berbagai negara. Apa yang diajarkan Covey dalam buku itu adalah tujuh kebiasaan yang ia sebut sebagai kebiasaan yang efektif.
Dalam bukunya yang fenomenal itu, Stephen Covey menulis, “Kebiasaan adalah faktor yang sangat kuat dalam hidup kita. Karena sifatnya yang konsisten, kebiasaan sering merupakan pola yang tidak disadari. Kebiasaan tak henti-hentinya, setiap hari, mengungkapkan karakter kita dan menghasilkan keefektifan atau ketidakefektifan.”
Kebiasaan itu seperti kabel. Kita menenun seuntai demi seuntai setiap hari dan segera kebiasaan itu tidak dapat diputuskan. Kalau kita membiasakan diri membaca buku satu jam setiap hari, maka kita pun akan merasa ada yang kurang sebelum kita membaca buku hari ini. Begitu pun, kalau kita membiasakan nonton televisi setiap hari, kita pun akan merasa ada yang kurang sebelum nonton televisi hari ini. Kita bisa memutuskan untuk menentukan kebiasaan kita, atau membiarkan kebiasaan menentukan kita.
Nah, jauh-jauh hari sebelum Stephen Covey menulis bukunya yang hebat mengenai kebiasaan yang baik dan efektif itu, negaranya sendiri, Amerika, pernah dilanda sebuah kebiasaan buruk dan tidak satu pun kekuatan pemerintah di sana yang mampu mencegah kebiasaan itu.
Pada awal tahun 1900-an, Amerika dilanda kebiasaan para warganya yang tak bisa lepas dari minuman keras. Setiap hari, berton-ton minuman keras diproduksi, dan ada sekian juta orang yang mengkonsumsinya, kemudian mabuk di berbagai tempat, berserakan di berbagai penjuru negara.
Pemerintah dan para pemimpin masyarakat di sana melihat bahaya besar yang ditimbulkan kebiasaan mabuk itu, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Maka dikeluarkanlah undang-undang yang melarang minuman keras dan mabuk-mabukan. Begitu peraturan dan undang-undang itu resmi dijalankan, para pecandu minuman keras di sana bukannya berkurang tapi malah bertambah banyak. Perdagangan dan usaha memproduksi minuman keras semakin merebak, meskipun secara sembunyi-sembunyi, dan jenis minuman keras yang diproduksi pun semakin beraneka macam.
Pemerintah Amerika pun merasa kalah. Mereka merasa tidak mampu dan sangat lemah melaksanakan undang-undang pelarangan minuman keras itu. Perlu diingat bahwa undang-undang pelarangan itu bukan datang dari seorang raja atau penguasa yang sewenang-wenang yang gemar memaksa rakyatnya dengan kekuasaan dan kekuatan semata-mata, melainkan lahir melalui Dewan Perwakilan Rakyat di negara demokrasi dan konstitusional, penuh hak kemerdekaan membuat peraturan-peraturan yang berguna, untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bagi rakyatnya. Tetapi mereka kalah ketika berhadapan dengan minuman keras. Peraturan dibuat, dan mabuk jalan terus. Undang-undang dilahirkan, dan orang-orang terus saja mabuk-mabukan.
Kemudian sekitar tahun 1918, publik Amerika kembali gerah dan mengecam habis-habisan perilaku mabuk dan minuman keras. Efek yang ditimbulkan kebiasaan mabuk itu sudah tak bisa ditoleransi lagi. Akibat mabuk dan minuman keras, ada begitu banyak orang yang terbunuh, ada sekian banyak pengrusakan, pemerkosaan, kecelakaan di jalan, dan berbagai kerusuhan lain yang benar-benar sangat meresahkan warga masyarakat. Publik Amerika mengecam habis-habisan perilaku mabuk, dan mereka kemudian melakukan demonstrasi agar dibuat sebuah undang-undang yang tegas menyangkut kebiasaan buruk itu.
Maka pada tahun 1919, pemerintah Amerika pun mengeluarkan undang-undang yang memuat larangan meminum minuman keras. Agar undang-undang itu dipatuhi dan dilaksanakan masyarakat, seluruh potensi negara pun dikerahkan. Polisi melakukan razia dan operasi di hampir seluruh bagian negara untuk mencari dan menghancurkan pabrik-pabrik minuman keras, sekaligus menangkapi orang-orangnya. Angkatan Laut disiapkan menjaga pantai, untuk mencegah adanya penyelundupan minuman keras, dan Angkatan Udara menjaga kemungkinan penyelundupan dari udara. Media informasi dimanfaatkan secara optimal menentang minuman keras, terutama surat-surat kabar, majalah, buku-buku, selebaran, pamflet-pamflet, bioskop, simposium, seminar, dan sebagainya.
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk keperluan propaganda melawan mabuk dan minuman keras itu mencapai lebih dari enam puluh juta dolar. Itu angka yang sangat besar, khususnya pada tahun 1919. Mereka pun masih mengeluarkan sepuluh juta dolar lagi untuk menerbitkan buku-buku, pamflet dan selebaran, yang menjelaskan bahaya akibat mabuk dan minuman keras. Biaya-biaya lain untuk melaksanakan undang-undang pelarangan minuman keras itu, dalam waktu 14 tahun, tidak terhitung lagi jumlahnya. Tetapi apakah semua upaya dan usaha yang memakan biaya sangat besar itu kemudian berhasil?
Tidak!
Semua usaha yang telah ditempuh itu bahkan tidak menolong sedikit pun selain hanya untuk waktu sementara, bahkan kemudian rakyat Amerika semakin akrab dengan minuman keras. Pemerintah di sana bisa saja mengeluarkan undang-undang pelarangan; para polisi bisa saja berkeliaran di jalan-jalan; seminar dan simposium bisa saja diadakan untuk memberikan penyuluhan; buku, pamflet dan selebaran anti minuman keras bisa saja diterbitkan dan diedarkan, tetapi sekian juta orang yang biasa mabuk tetap saja mabuk di rumah-rumah mereka, dan mereka merasa aman.
Antiklimaksnya terjadi pada tahun 1933 ketika pemerintah Amerika kemudian menghapuskan undang-undang pelarangan minuman keras, dan membolehkan lagi minuman keras dikonsumsi dengan leluasa. Pabrik-pabrik minuman keras boleh beroperasi secara legal, dan para konsumennya kembali bisa mabuk dan berkeliaran di jalan-jalan.
Lihat, begitu sulitnya menghapus sebuah kebiasaan, bahkan sampai kekuatan negara sebesar Amerika pun kalah olehnya. Barangkali Amerika bisa menghancurkan negara-negara lain yang ia anggap musuh dengan rudal-rudal mereka, namun tidak ada satu rudal sehebat apa pun yang sanggup menghancurkan sebuah kebiasaan yang telah terpatri sedemikian kuat.
Kebiasaan adalah faktor terbesar yang membawa manusia pada apa yang kelak akan diperolehnya. Kebiasaan yang baik akan membawa kebaikan pada pemiliknya, demikian pula kebiasaan buruk. Saya tidak berani menyebutkan apa saja kebiasaan yang baik dan apa saja kebiasaan yang buruk, karena bisa saja penilaian kita berbeda terhadap satu kebiasaan.
Kebiasaan itu menyangkut ego setiap orang, dan ego sedemikian peka, hingga jika orang lain yang menilai dan menjatuhkan vonis, kita biasanya menjadi marah dan tak terima. Tetapi jika kita sendiri yang mau menilai dengan sepenuh objektivitas dan kejernihan, ego kita tentunya bisa menerima karena itu nasihat yang datang dari diri sendiri.
Jadi, ayo lihat lagi kebiasaan kita.
Petugas penjara yang berjaga mengira si anak lelaki hanya terkena demam biasa. Maka dia pun memberikan obat pereda demam. Tetapi tak lama setelah itu, tubuh si anak lelaki kembali menggigil, kali ini lebih hebat. Petugas jaga menjadi panik. Dia membawa tahanan itu ke rumah sakit, tapi jiwanya tak sempat tertolong. Dia mati dalam keadaan menjadi tahanan karena mencuri untuk membeli putaw, demi kebiasaannya.
Kebiasaan bisa menjadi budak yang paling baik, juga bisa menjadi tuan yang paling buruk!
Begitu besarnya pengaruh kebiasaan dalam hidup manusia, sampai Stephen R. Covey, salah seorang pemikir modern Amerika, menulis sebuah buku yang besar sekaligus tebal hanya untuk mengajarkan tentang kebiasaan. Buku itu, The 7 Habits of Highly Effective People, menjadi salah satu buku terlaris di dunia, dan dibaca jutaan orang di berbagai negara. Apa yang diajarkan Covey dalam buku itu adalah tujuh kebiasaan yang ia sebut sebagai kebiasaan yang efektif.
Dalam bukunya yang fenomenal itu, Stephen Covey menulis, “Kebiasaan adalah faktor yang sangat kuat dalam hidup kita. Karena sifatnya yang konsisten, kebiasaan sering merupakan pola yang tidak disadari. Kebiasaan tak henti-hentinya, setiap hari, mengungkapkan karakter kita dan menghasilkan keefektifan atau ketidakefektifan.”
Kebiasaan itu seperti kabel. Kita menenun seuntai demi seuntai setiap hari dan segera kebiasaan itu tidak dapat diputuskan. Kalau kita membiasakan diri membaca buku satu jam setiap hari, maka kita pun akan merasa ada yang kurang sebelum kita membaca buku hari ini. Begitu pun, kalau kita membiasakan nonton televisi setiap hari, kita pun akan merasa ada yang kurang sebelum nonton televisi hari ini. Kita bisa memutuskan untuk menentukan kebiasaan kita, atau membiarkan kebiasaan menentukan kita.
Nah, jauh-jauh hari sebelum Stephen Covey menulis bukunya yang hebat mengenai kebiasaan yang baik dan efektif itu, negaranya sendiri, Amerika, pernah dilanda sebuah kebiasaan buruk dan tidak satu pun kekuatan pemerintah di sana yang mampu mencegah kebiasaan itu.
Pada awal tahun 1900-an, Amerika dilanda kebiasaan para warganya yang tak bisa lepas dari minuman keras. Setiap hari, berton-ton minuman keras diproduksi, dan ada sekian juta orang yang mengkonsumsinya, kemudian mabuk di berbagai tempat, berserakan di berbagai penjuru negara.
Pemerintah dan para pemimpin masyarakat di sana melihat bahaya besar yang ditimbulkan kebiasaan mabuk itu, baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat. Maka dikeluarkanlah undang-undang yang melarang minuman keras dan mabuk-mabukan. Begitu peraturan dan undang-undang itu resmi dijalankan, para pecandu minuman keras di sana bukannya berkurang tapi malah bertambah banyak. Perdagangan dan usaha memproduksi minuman keras semakin merebak, meskipun secara sembunyi-sembunyi, dan jenis minuman keras yang diproduksi pun semakin beraneka macam.
Pemerintah Amerika pun merasa kalah. Mereka merasa tidak mampu dan sangat lemah melaksanakan undang-undang pelarangan minuman keras itu. Perlu diingat bahwa undang-undang pelarangan itu bukan datang dari seorang raja atau penguasa yang sewenang-wenang yang gemar memaksa rakyatnya dengan kekuasaan dan kekuatan semata-mata, melainkan lahir melalui Dewan Perwakilan Rakyat di negara demokrasi dan konstitusional, penuh hak kemerdekaan membuat peraturan-peraturan yang berguna, untuk mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bagi rakyatnya. Tetapi mereka kalah ketika berhadapan dengan minuman keras. Peraturan dibuat, dan mabuk jalan terus. Undang-undang dilahirkan, dan orang-orang terus saja mabuk-mabukan.
Kemudian sekitar tahun 1918, publik Amerika kembali gerah dan mengecam habis-habisan perilaku mabuk dan minuman keras. Efek yang ditimbulkan kebiasaan mabuk itu sudah tak bisa ditoleransi lagi. Akibat mabuk dan minuman keras, ada begitu banyak orang yang terbunuh, ada sekian banyak pengrusakan, pemerkosaan, kecelakaan di jalan, dan berbagai kerusuhan lain yang benar-benar sangat meresahkan warga masyarakat. Publik Amerika mengecam habis-habisan perilaku mabuk, dan mereka kemudian melakukan demonstrasi agar dibuat sebuah undang-undang yang tegas menyangkut kebiasaan buruk itu.
Maka pada tahun 1919, pemerintah Amerika pun mengeluarkan undang-undang yang memuat larangan meminum minuman keras. Agar undang-undang itu dipatuhi dan dilaksanakan masyarakat, seluruh potensi negara pun dikerahkan. Polisi melakukan razia dan operasi di hampir seluruh bagian negara untuk mencari dan menghancurkan pabrik-pabrik minuman keras, sekaligus menangkapi orang-orangnya. Angkatan Laut disiapkan menjaga pantai, untuk mencegah adanya penyelundupan minuman keras, dan Angkatan Udara menjaga kemungkinan penyelundupan dari udara. Media informasi dimanfaatkan secara optimal menentang minuman keras, terutama surat-surat kabar, majalah, buku-buku, selebaran, pamflet-pamflet, bioskop, simposium, seminar, dan sebagainya.
Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk keperluan propaganda melawan mabuk dan minuman keras itu mencapai lebih dari enam puluh juta dolar. Itu angka yang sangat besar, khususnya pada tahun 1919. Mereka pun masih mengeluarkan sepuluh juta dolar lagi untuk menerbitkan buku-buku, pamflet dan selebaran, yang menjelaskan bahaya akibat mabuk dan minuman keras. Biaya-biaya lain untuk melaksanakan undang-undang pelarangan minuman keras itu, dalam waktu 14 tahun, tidak terhitung lagi jumlahnya. Tetapi apakah semua upaya dan usaha yang memakan biaya sangat besar itu kemudian berhasil?
Tidak!
Semua usaha yang telah ditempuh itu bahkan tidak menolong sedikit pun selain hanya untuk waktu sementara, bahkan kemudian rakyat Amerika semakin akrab dengan minuman keras. Pemerintah di sana bisa saja mengeluarkan undang-undang pelarangan; para polisi bisa saja berkeliaran di jalan-jalan; seminar dan simposium bisa saja diadakan untuk memberikan penyuluhan; buku, pamflet dan selebaran anti minuman keras bisa saja diterbitkan dan diedarkan, tetapi sekian juta orang yang biasa mabuk tetap saja mabuk di rumah-rumah mereka, dan mereka merasa aman.
Antiklimaksnya terjadi pada tahun 1933 ketika pemerintah Amerika kemudian menghapuskan undang-undang pelarangan minuman keras, dan membolehkan lagi minuman keras dikonsumsi dengan leluasa. Pabrik-pabrik minuman keras boleh beroperasi secara legal, dan para konsumennya kembali bisa mabuk dan berkeliaran di jalan-jalan.
Lihat, begitu sulitnya menghapus sebuah kebiasaan, bahkan sampai kekuatan negara sebesar Amerika pun kalah olehnya. Barangkali Amerika bisa menghancurkan negara-negara lain yang ia anggap musuh dengan rudal-rudal mereka, namun tidak ada satu rudal sehebat apa pun yang sanggup menghancurkan sebuah kebiasaan yang telah terpatri sedemikian kuat.
Kebiasaan adalah faktor terbesar yang membawa manusia pada apa yang kelak akan diperolehnya. Kebiasaan yang baik akan membawa kebaikan pada pemiliknya, demikian pula kebiasaan buruk. Saya tidak berani menyebutkan apa saja kebiasaan yang baik dan apa saja kebiasaan yang buruk, karena bisa saja penilaian kita berbeda terhadap satu kebiasaan.
Kebiasaan itu menyangkut ego setiap orang, dan ego sedemikian peka, hingga jika orang lain yang menilai dan menjatuhkan vonis, kita biasanya menjadi marah dan tak terima. Tetapi jika kita sendiri yang mau menilai dengan sepenuh objektivitas dan kejernihan, ego kita tentunya bisa menerima karena itu nasihat yang datang dari diri sendiri.
Jadi, ayo lihat lagi kebiasaan kita.