Ada sebuah cerita yang setiap kali saya membaca atau mendengarnya, selalu membuat saya—mau tak mau—tersenyum dan sedikit tertegun. Ceritanya tentang seorang lelaki yang sedang berbaring-baring santai di atas kursi di tepian pantai. Kemudian seorang lelaki lain yang kelihatan sedang terburu-buru melewatinya. Entah karena sebal atau terkesan, lelaki kedua menegur, “Anda kelihatan santai sekali. Tidak bekerja?”
“Kerja? Buat apa?” tanya lelaki pertama, masih dengan santainya.
“Dengan bekerja, Anda bisa memperoleh uang.” Lelaki kedua menjelaskan.
“Uang? Untuk apa?”
“Dengan uang, Anda bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup Anda.”
“Lalu?”
“Anda juga bisa menabung untuk menjamin masa depan Anda.”
“Lalu...?”
“Lalu Anda pun bisa santai menikmati angin pantai.”
“Lho, Anda pikir saya ini sekarang sedang apa?”
Terburu-buru seakan sudah menjadi semacam budaya kehidupan orang-orang modern, khususnya yang tinggal di kota-kota besar. Mereka yang tinggal di daerah yang biasa dilanda macet, terkadang sampai berangkat kerja semenjak subuh untuk menghindari kemacetan agar tak terlambat masuk kantor. Akibat tekanan keterburu-buruan semacam inilah, kita kemudian menjadi merasa asing dengan sesuatu yang bernama ketenangan. Dalam mengatasi banyak hal, banyak masalah dan banyak persoalan, kita menginginkan untuk menyelesaikannya secara terburu-buru, sekaligus, secara cepat.
Kehidupan ini mirip dengan jam pasir. Seperti yang kita ketahui, di bagian atas jam pasir terdapat ribuan butir pasir. Satu demi satu butir-butir pasir tersebut bergerak melewati bagian leher yang sempit di bagian tengah. Kita tidak bisa memaksa memasukkan pasir lebih dari satu butir melewati leher yang sempit itu tanpa merusak jam itu sendiri.
Kita juga sama halnya dengan jam pasir tersebut. Bila kita bangun di pagi hari, kita dihadapkan pada setumpuk tugas yang harus kita selesaikan hari itu. Tugas yang jumlahnya begitu banyak itu harus kita selesaikan dengan tenang satu persatu, bergantian secara teratur dan pelan-pelan, seperti halnya butir-butir pasir dalam jam pasir yang satu demi satu melewati bagian leher sempit. Kita harus berbuat seperti itu, karena kalau tidak, maka berarti kita merusak struktur tubuh atau mental kita sendiri.
Pernahkah kau melambatkan sedikit laju hidupmu untuk sekedar menikmati atau menghayati kehidupan di sekelilingmu? Terkadang saya merasa takjub saat menyaksikan betapa berbedanya dunia di sekeliling saya ketika saya melambatkan kecepatan laju kehidupan saya. Ada semacam pergeseran paradigma yang riil, tanpa pandangan yang terhalang; semuanya jadi nampak lebih jelas.
Ketika tengah terburu-buru, saya seringkali tidak pernah menghiraukan apalagi menyadari betapa indah bunga-bunga yang tumbuh di sekeliling rumah saya. Saya juga jarang menyaksikan keindahan bulan di malam hari di tengah-tengah bintang-gemintang yang tersebar di atas langit. Ketika saya melambatkan langkah hidup saya, saya mulai menyadari betapa hidup ini indah. Bahkan mendengar kicauan burung yang beterbangan di ranting-ranting pohon pun terdengar merdu di telinga, seperti nyanyian alam yang sengaja dipersembahkan untuk mengingatkan bahwa hidup ini indah.
Filsuf dan sastrawan Ralp Waldo Emerson mengatakan, “Jika bintang-bintang di langit hanya muncul sekali dalam seribu tahun, betapa manusia akan terpesona dan terkagum-kagum. Betapa manusia akan mengabadikan pengalaman itu untuk generasi-generasi selanjutnya. Namun setiap malam keindahan itu dikirimkan kepada kita, dan sesuatu yang mudah kita peroleh, betapapun nilainya, kurang kita hargai.”
Ketika saya mulai menyadari hal itu, ketika saya mulai menyadari bahwa kehidupan bukanlah sesuatu yang hanya sudah sebagaimana mestinya, saya jadi ingat tentang suatu nasihat bahwa sesibuk apapun menjalani kehidupan, “Ingatlah untuk sejenak mencium harum bunga mawar...”