Tidak ada takdir, selain yang kita pilih.
—@noffret
—@noffret
Ibu Baik Hati itu menerima si bocah lelaki bekerja di tempatnya—baginya hal biasa, dan di tempatnya ada bocah-bocah lain yang juga bekerja di sana. Tetapi, sejak pertama kali melihatnya, si ibu sudah melihat keanehan pada bocah itu. Dia tidak seperti bocah-bocah lelaki lainnya, begitu yang sering ia katakan pada para tetangga.
Selain pendiam, kata Ibu Baik Hati, bocah lelaki itu juga tidak pernah makan nasi. Setiap siang, ketika bocah-bocah lain pergi ke warung untuk makan nasi, bocah lelaki itu terlihat duduk sendirian di tempatnya semula, sambil memakan roti murahan yang telah dibawanya dari rumah. Selain itu, si bocah juga sering terlihat merokok klobot. (Klobot; rokok kretek yang biasa diisap orang tua).
“Kenapa kamu tidak pernah makan nasi?” tanya si ibu suatu hari pada bocah itu.
“Karena saya suka roti,” jawab si bocah singkat.
“Setiap hari kamu makan roti? Sarapan? Juga makan malam?”
“Yeah…”
“Tidak makan nasi sama sekali?”
“Uh, kadang makan nasi juga.”
Kemudian si ibu memperhatikan rokok yang ada di tangan si bocah. Dan bertanya, “Kenapa kamu merokok klobot?”
“Karena saya suka rokok. Dan rokok filter mahal, jadi saya pilih rokok ini.”
Si ibu tidak pernah yakin dengan nama bocah itu, selain juga ia sulit menghafalkan setiap nama dari puluhan orang yang bekerja di sana. Karenanya, setiap kali menyebut si bocah, dia menyebutnya, “bocah yang merokok klobot.” Dan sebutan itu pula yang kemudian dipakai di tempat kerja itu. Bocah itu sering mendengar orang-orang di sekitarnya menyebut, “Kamu lihat bocah yang merokok klobot?”
Si bocah menganggap sebutan itu sangat hebat—terdengar aneh, dan misterius. Dan dia menyukainya. Juga tersenyum setiap kali mendengar orang menyebutkannya.
Tempat bekerjanya waktu itu adalah sebuah pabrik kecil tempat pengolahan batik yang dimiliki seorang pengusaha di luar kota. Si pengusaha sengaja membangun tempat pengolahan batik di kota si bocah, dengan tujuan agar seluruh pengerjaan batiknya diurus orang-orang di sana. Dan si bocah lelaki yang merokok klobot adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan jalannya pabrik itu.
Para pekerja di sana menyebut si pengusaha dengan panggilan “Bos Besar”, dan si Bos Besar sering membagi-bagi duit setiap kali datang. Karena itu kehadirannya selalu dinantikan, dan disambut keriangan senyum. Bagi para pekerja di sana, juga bagi si bocah yang merokok klobot, Bos Besar adalah orang yang baik.
Suatu hari, Bos Besar datang ke tempat kerja itu—jadwal rutin yang biasa. Biasanya, dia akan memperhatikan proses pekerjaan di sana, memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada, dan kemudian pulang dengan membawa tumpukan batik yang telah selesai diproses. Oh ya, tentu saja setelah membagi-bagi duit bagi para pekerjanya yang selalu rajin.
Siang itu, ketika jam istirahat kerja tiba, para pekerja pergi ke warung untuk mencari makan, sementara Bos Besar makan siang bersama keluarga Ibu Baik Hati. Tidak jauh dari tempat mereka, si bocah lelaki baru saja menyelesaikan santap siangnya dengan sepotong roti murahan, dan kemudian menikmati rokok sambil membaca sebuah buku.
“Hei, Nak…!”
Suara panggilan si Bos Besar membuyarkan pikiran si bocah yang sedang asyik membaca bukunya. Dan ketika ia menoleh, Bos Besar terlihat melambaikan tangannya, dan berkata, “Ayo makan bareng kami.”
“Saya sudah makan,” jawab si bocah dengan tidak nyaman.
“Dari tadi kamu tidak terlihat makan? Ayolah, mari makan bareng!”
“Uh, saya sudah makan.”
Melihat ketidaknyamanan si bocah, Ibu Baik Hati kemudian berkata pada Bos Besar, “Dia memang tidak pernah makan siang. Setiap hari cuma makan roti.”
Kemudian mereka terlihat bicara serius, namun dengan bisik-bisik, sehingga si bocah tidak bisa mendengarnya. Tetapi dia memang tidak ingin mendengar. Dia ingin kembali menikmati bukunya.
Seusai makan siang, Bos Besar mendekati bocah itu, memperhatikan rokok klobot yang ada di tangan kurusnya. Mungkin, baginya, itu seperti pemandangan suram dari lukisan gotik Abad Pertengahan—seorang bocah kurus, dekil, dan merokok klobot. Sambil tersenyum, Bos Besar berkata, “Jadi rupanya benar kamu merokok klobot.”
Si bocah, mau tak mau, ikut tersenyum—karena dia selalu tersenyum setiap kali mendengar sebutan itu.
“Apa yang sedang kamu baca itu?” tanya Bos Besar sambil menujukan pandangannya pada buku di tangan si bocah.
Si bocah hanya menunjukkan sampul bukunya. Sebuah buku kumal, dengan beberapa halaman yang terlepas, dengan sampul yang telah koyak. Tetapi judulnya masih terbaca—dan Bos Besar terbelalak.
“Kamu membaca buku itu…???” Nadanya seperti mendengar kalau Nabi Isa akan turun ke bumi besok pagi. Mungkin, menurutnya, bocah yang merokok klobot tidak seharusnya membaca ‘A Brief History of Time’.
Si bocah kebingungan menyaksikan pekikan si Bos Besar. Dengan tergagap dia berkata, “Uh, saya harap… saya tidak melanggar peraturan kerja di sini?”
Bos Besar tertawa. “Tentu saja tidak! Cuma, uh, kenapa kamu sampai membaca buku itu?”
“Karena cuma buku ini yang saya temukan di loakan,” jawab si bocah dengan malu-malu.
“Kamu suka membaca?”
“Yeah…”
Bos Besar manggut-manggut. “Bagus. Saya senang melihat orang yang rajin membaca. Menurut Ibu tadi, kamu juga sangat rajin bekerja di sini. Semua laporan tentangmu membuat saya senang. Saya harap, kamu tetap menjadi pekerja saya selamanya.”
Tetapi bocah itu tidak bekerja di sana selamanya.
Hanya berselang beberapa bulan setelah percakapan dengan si Bos Besar, bocah itu telah keluar dari sana—karena mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Bos Besar mencoba mempertahankannya, meminta agar si bocah tetap bekerja untuknya, menjanjikan akan membayarnya sebanyak yang dijanjikan orang lain kepadanya, tetapi si bocah tahu bagaimana membangun takdirnya—dan ia pun tahu takdirnya tidak di tempat itu. Bos Besar mungkin lupa bahwa bocah lelaki yang merokok klobot rajin belajar.
Dan waktu-waktu berlalu, dan bocah itu tumbuh besar—dan dewasa. Masa-masa ketika ia makan roti di siang hari waktu jam istirahat kerja, telah menjadi bagian nostalgia. Masa-masa ketika ia merokok klobot sambil membaca buku lusuh dan kumal, telah menjadi masa yang seolah telah berabad-abad lamanya.
Hari ini, bocah itu masih suka makan roti, namun tidak lagi merokok klobot. Tetapi, saya masih suka tersenyum setiap kali mengingat sebutan itu.
Selain pendiam, kata Ibu Baik Hati, bocah lelaki itu juga tidak pernah makan nasi. Setiap siang, ketika bocah-bocah lain pergi ke warung untuk makan nasi, bocah lelaki itu terlihat duduk sendirian di tempatnya semula, sambil memakan roti murahan yang telah dibawanya dari rumah. Selain itu, si bocah juga sering terlihat merokok klobot. (Klobot; rokok kretek yang biasa diisap orang tua).
“Kenapa kamu tidak pernah makan nasi?” tanya si ibu suatu hari pada bocah itu.
“Karena saya suka roti,” jawab si bocah singkat.
“Setiap hari kamu makan roti? Sarapan? Juga makan malam?”
“Yeah…”
“Tidak makan nasi sama sekali?”
“Uh, kadang makan nasi juga.”
Kemudian si ibu memperhatikan rokok yang ada di tangan si bocah. Dan bertanya, “Kenapa kamu merokok klobot?”
“Karena saya suka rokok. Dan rokok filter mahal, jadi saya pilih rokok ini.”
Si ibu tidak pernah yakin dengan nama bocah itu, selain juga ia sulit menghafalkan setiap nama dari puluhan orang yang bekerja di sana. Karenanya, setiap kali menyebut si bocah, dia menyebutnya, “bocah yang merokok klobot.” Dan sebutan itu pula yang kemudian dipakai di tempat kerja itu. Bocah itu sering mendengar orang-orang di sekitarnya menyebut, “Kamu lihat bocah yang merokok klobot?”
Si bocah menganggap sebutan itu sangat hebat—terdengar aneh, dan misterius. Dan dia menyukainya. Juga tersenyum setiap kali mendengar orang menyebutkannya.
Tempat bekerjanya waktu itu adalah sebuah pabrik kecil tempat pengolahan batik yang dimiliki seorang pengusaha di luar kota. Si pengusaha sengaja membangun tempat pengolahan batik di kota si bocah, dengan tujuan agar seluruh pengerjaan batiknya diurus orang-orang di sana. Dan si bocah lelaki yang merokok klobot adalah salah satu sekrup kecil yang menggerakkan jalannya pabrik itu.
Para pekerja di sana menyebut si pengusaha dengan panggilan “Bos Besar”, dan si Bos Besar sering membagi-bagi duit setiap kali datang. Karena itu kehadirannya selalu dinantikan, dan disambut keriangan senyum. Bagi para pekerja di sana, juga bagi si bocah yang merokok klobot, Bos Besar adalah orang yang baik.
Suatu hari, Bos Besar datang ke tempat kerja itu—jadwal rutin yang biasa. Biasanya, dia akan memperhatikan proses pekerjaan di sana, memberikan solusi atas berbagai masalah yang ada, dan kemudian pulang dengan membawa tumpukan batik yang telah selesai diproses. Oh ya, tentu saja setelah membagi-bagi duit bagi para pekerjanya yang selalu rajin.
Siang itu, ketika jam istirahat kerja tiba, para pekerja pergi ke warung untuk mencari makan, sementara Bos Besar makan siang bersama keluarga Ibu Baik Hati. Tidak jauh dari tempat mereka, si bocah lelaki baru saja menyelesaikan santap siangnya dengan sepotong roti murahan, dan kemudian menikmati rokok sambil membaca sebuah buku.
“Hei, Nak…!”
Suara panggilan si Bos Besar membuyarkan pikiran si bocah yang sedang asyik membaca bukunya. Dan ketika ia menoleh, Bos Besar terlihat melambaikan tangannya, dan berkata, “Ayo makan bareng kami.”
“Saya sudah makan,” jawab si bocah dengan tidak nyaman.
“Dari tadi kamu tidak terlihat makan? Ayolah, mari makan bareng!”
“Uh, saya sudah makan.”
Melihat ketidaknyamanan si bocah, Ibu Baik Hati kemudian berkata pada Bos Besar, “Dia memang tidak pernah makan siang. Setiap hari cuma makan roti.”
Kemudian mereka terlihat bicara serius, namun dengan bisik-bisik, sehingga si bocah tidak bisa mendengarnya. Tetapi dia memang tidak ingin mendengar. Dia ingin kembali menikmati bukunya.
Seusai makan siang, Bos Besar mendekati bocah itu, memperhatikan rokok klobot yang ada di tangan kurusnya. Mungkin, baginya, itu seperti pemandangan suram dari lukisan gotik Abad Pertengahan—seorang bocah kurus, dekil, dan merokok klobot. Sambil tersenyum, Bos Besar berkata, “Jadi rupanya benar kamu merokok klobot.”
Si bocah, mau tak mau, ikut tersenyum—karena dia selalu tersenyum setiap kali mendengar sebutan itu.
“Apa yang sedang kamu baca itu?” tanya Bos Besar sambil menujukan pandangannya pada buku di tangan si bocah.
Si bocah hanya menunjukkan sampul bukunya. Sebuah buku kumal, dengan beberapa halaman yang terlepas, dengan sampul yang telah koyak. Tetapi judulnya masih terbaca—dan Bos Besar terbelalak.
“Kamu membaca buku itu…???” Nadanya seperti mendengar kalau Nabi Isa akan turun ke bumi besok pagi. Mungkin, menurutnya, bocah yang merokok klobot tidak seharusnya membaca ‘A Brief History of Time’.
Si bocah kebingungan menyaksikan pekikan si Bos Besar. Dengan tergagap dia berkata, “Uh, saya harap… saya tidak melanggar peraturan kerja di sini?”
Bos Besar tertawa. “Tentu saja tidak! Cuma, uh, kenapa kamu sampai membaca buku itu?”
“Karena cuma buku ini yang saya temukan di loakan,” jawab si bocah dengan malu-malu.
“Kamu suka membaca?”
“Yeah…”
Bos Besar manggut-manggut. “Bagus. Saya senang melihat orang yang rajin membaca. Menurut Ibu tadi, kamu juga sangat rajin bekerja di sini. Semua laporan tentangmu membuat saya senang. Saya harap, kamu tetap menjadi pekerja saya selamanya.”
Tetapi bocah itu tidak bekerja di sana selamanya.
Hanya berselang beberapa bulan setelah percakapan dengan si Bos Besar, bocah itu telah keluar dari sana—karena mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Bos Besar mencoba mempertahankannya, meminta agar si bocah tetap bekerja untuknya, menjanjikan akan membayarnya sebanyak yang dijanjikan orang lain kepadanya, tetapi si bocah tahu bagaimana membangun takdirnya—dan ia pun tahu takdirnya tidak di tempat itu. Bos Besar mungkin lupa bahwa bocah lelaki yang merokok klobot rajin belajar.
Dan waktu-waktu berlalu, dan bocah itu tumbuh besar—dan dewasa. Masa-masa ketika ia makan roti di siang hari waktu jam istirahat kerja, telah menjadi bagian nostalgia. Masa-masa ketika ia merokok klobot sambil membaca buku lusuh dan kumal, telah menjadi masa yang seolah telah berabad-abad lamanya.
Hari ini, bocah itu masih suka makan roti, namun tidak lagi merokok klobot. Tetapi, saya masih suka tersenyum setiap kali mengingat sebutan itu.