Senin, 01 Oktober 2012

Wasiat untuk Anakku

Hanya dua hal yang layak kita wariskan kepada anak-anak kita.
Yang pertama adalah akar, yang kedua adalah sayap.
Wasiat Para Filsuf


Hidupmu saat ini, Nak, juga hidupmu yang kelak akan kaujalani, adalah hidup yang kaupilih sendiri. Karenanya, kau tidak punya alasan untuk mengeluh, atau menyalahkan siapa pun.

Kalau orang-orang lain pergi ke Barat dan kau ikut pergi ke Barat, dan ternyata kau mendapati kehidupan di Barat adalah kehidupan yang tidak kauinginkan, bahkan kehidupan yang kausesali, maka itu murni kesalahanmu—karena kau memilih untuk ikut-ikutan orang lain.

Begitu pun, kalau kau menyaksikan orang-orang pergi ke Barat dan kau memilih menyendiri ke Timur, lalu kau mendapati kehidupan di Timur bukanlah kehidupan yang kauinginkan, maka itu pun kesalahanmu—karena kau memilih untuk mengikuti kehendakmu sendiri.

Hidup adalah soal pilihan, Nak, tak peduli kau sadar atau tidak.

Apa pun yang terjadi dalam hidupmu, bagaimana pun bentuk kehidupanmu, apa saja yang kauhadapi, semua itu karena kau memilihnya sendiri. Bahkan, aku pun memilikimu sebagai anakku, sekarang, karena aku memang memilihnya. Aku memilih untuk memilikimu.

Orang-orang mungkin bilang ini takdir Tuhan, bahwa kau memang ditakdirkan menjadi anakku, dan aku ditakdirkan menjadi ayahmu. Tapi tidak, takdir Tuhan terjadi karena manusia memang menghendakinya. Aku menghendaki hadirnya seorang anak, maka Tuhan pun kemudian menciptakan dirimu untuk memenuhi takdirku.

Oh, aku tahu apa yang kaupikirkan sekarang, Nak, tapi simpan dulu pikiranmu—karena gelas yang penuh tak bisa lagi menampung air yang jernih.

Dulu, ketika aku seusiamu, sesegar dan semuda dirimu sekarang, dan menganggap dunia ada dalam genggamanku, aku menyaksikan pilihanku terbentang luas. Di saat itu aku pun menyadari bahwa kehidupanku setelah itu adalah murni kehendak dan pilihanku. Apa pun yang akan kupilih, maka itulah yang akan menjadi kehidupanku. Dan begitu pilihan itu kujatuhkan, maka seluruh konsekuensinya berada di dalam tanggung jawab pilihanku.

Lalu aku memilih untuk menikah dengan ibumu—sebagaimana ia pun memilih untuk menikah denganku. Ketika pernikahan itu terjadi, bertahun-tahun lalu, pernikahan itu terjadi karena kami memang memilihnya. Kaulihat sekarang…?

Aku maupun ibumu memilih untuk saling jatuh cinta, dan memilih untuk menikah, dan memilih untuk memiliki anak—memilikimu. Jika kami tidak memilihnya, maka kami pun tidak akan menjalaninya. Sesederhana itu aturannya.

Seperti dalam prasmanan, kau menyaksikan aneka macam hidangan yang disuguhkan, dan kau memiliki hak untuk menikmati makanan apa pun yang kau suka atau kauinginkan. Makanan apa pun yang kaupilih untuk kauambil, maka itulah yang akan kaurasakan, itulah yang akan kaunikmati.

Begitulah hidup. Ia menyuguhkan banyak tawaran dan pilihan, dan masing-masing orang memiliki hak untuk menggunakan pilihannya—kemudian ia akan menjalani pilihannya.

Dulu, ketika aku dan ibumu menikah, aku tahu bahwa kehidupanku setelah itu adalah murni karena pilihanku. Susah atau pun senang perjalanan yang kami lalui, aku tak bisa menyalahkan siapa pun—karena memang itulah hidup yang kupilih, yang kami pilih. Pada waktu itu, aku bisa saja memilih untuk tetap hidup sendiri, melajang seumur hidup… tapi tidak, aku memilih menikah dengan ibumu.

Dan kemudian kau lahir.

Ketika mendengar tangis pertamamu, Nak, aku tahu itu tangis bayi yang diciptakan karena pilihanku. Takdir Tuhan, kata orang-orang, tetapi aku tahu bahwa Tuhan hanya menggenapi takdir yang kuinginkan. Kau dititipkan Tuhan dalam kehidupanku karena aku memang memintanya melalui pilihanku. Dan karena Tuhan menitipkan dirimu kepadaku, itu kuanggap sebagai penghargaan Tuhan atas kepercayaan-Nya kepadaku.

Maka aku pun menjaga titipan itu… menjagamu. Kau adalah wujud yang diciptakan dari keinginan manusia, dan takdir Tuhan—perpaduan antara keinginan dan penetapan.

Dan hari demi hari, ketika menyaksikanmu tumbuh, Nak, aku merasa menyaksikan keajaiban dari sebuah pilihan. Menyaksikanmu dari bayi hingga tumbuh besar, dengan segala kelucuan dan suaramu yang selalu membuatku tersenyum, dan aku mensyukuri pilihanku… aku mensyukuri karena telah memilih untuk memilikimu. Kau adalah keajaibanku, kau adalah pilihanku.

Di waktu-waktu lain, ketika kau begitu rewel dan menjengkelkan, ketika aku begitu lelah karena kehabisan waktu istirahatku demi dirimu, tapi kau tak juga tenang, aku pernah merasa ingin membencimu, ingin marah dan melukaimu. Tetapi, kemudian aku pun menyadari itu bukan kesalahanmu. Yang kuhadapi menyangkut dirimu berawal dan berasal dari pilihanku sendiri, maka aku tak pantas menyalahkan siapa pun, termasuk dirimu. Aku harus bertanggung jawab penuh atas pilihanku.

Jadi aku pun tetap menyayangimu meski kau berkali-kali menjengkelkanku. Aku tetap mencintai dan mengasihimu, meski kau berulang kali menyakiti perasaanku, merisaukan pikiranku, bahkan mengacaukan hidupku. Kau bukan sekadar anakku, kau adalah pilihanku—sebentuk hidup yang memang kupilih. Jadi aku pun harus menanggung seluruh konsekuensi pilihan itu.

Jadi, Nak, kaulihat sekarang…?

Kalau saja dulu, bertahun-tahun lalu, aku memilih untuk tidak menikah dengan ibumu, maka hari ini pun aku tidak akan memilikimu. Mungkin, kalau memang itu pilihan yang dulu kuambil, maka sekarang aku masih hidup sendirian, dengan segala keasyikan dan kesibukanku yang biasa seperti saat masih lajang… dan tak pernah melihatmu, apalagi mengenalmu.

Dan, aku ingin kau tahu, Nak, aku bersyukur karena telah memilih untuk memilikimu. Aku bahagia dengan pilihanku, meski di dalamnya juga kadang terdapat kesedihan dan rasa frustrasi. Aku bersyukur karena telah memilih untuk menikah dengan ibumu, dan aku bahagia karena telah memilih untuk menjadi ayahmu. Kau keajaiban terbesar yang pernah kusaksikan dalam hidup… sebuah keajaiban yang pernah kuciptakan karena sebuah pilihan.

Dan sekarang kau telah tumbuh besar, Nak, kau bukan lagi anak kecilku yang dulu biasa kugendong dan tampak sangat rapuh. Kau sudah dewasa sekarang, dan setiap kali melihatmu, aku selalu merasa melihat diriku sendiri, bertahun-tahun lalu. Kau anakku, tetapi aku tahu kau memiliki kehidupanmu sendiri—suatu pilihan yang kini juga kaupilih.

Besok, aku sudah tak bisa lagi melihatmu di rumah, karena kau harus pergi menuntut ilmu ke tempat jauh yang kauinginkan. Aku hanya bisa mendukung dan mendoakan… semoga pilihan yang kaumbil adalah pilihan terbaik yang kauinginkan. Aku tahu, aku pasti akan merasa kehilanganmu, namun pergilah… ikuti pilihan hidupmu. Ada sepasang sayap di punggungmu, dan aku tahu sungguh tak adil jika melarangmu menggunakan sayap-sayap itu.

Pergilah… ikuti kata hatimu, kejarlah pilihan hidupmu. Hanya satu hal yang kuingin agar kau selalu ingat… bahwa hidup adalah soal pilihan. Hidupmu setelah ini adalah hidup yang kaupilih sendiri. Karenanya, kau tidak punya alasan untuk mengeluh, atau menyalahkan siapa pun. Belajarlah untuk bertanggung jawab dalam pilihanmu—karena hidupmu adalah pilihanmu.

Buatlah ayahmu tersenyum, dan buatlah ayahmu ini bersyukur sekali lagi, karena telah memilih untuk memilikimu. Selamat jalan, Nak, doaku mengiringi setiap langkahmu.

 
;