Selamat datang bagi yang baru lahir.
Selamat menikmati bagi yang sedang hidup.
Selamat jalan bagi yang sudah mati.
—@noffret
Selamat menikmati bagi yang sedang hidup.
Selamat jalan bagi yang sudah mati.
—@noffret
Selamat malam, Kawan-kawan. Saya menyaksikan wajah-wajah bersinar malam ini di sini, meski mungkin kalian heran dan bertanya-tanya apakah ini memang saya. Well, saya tidak tahu dari mana kalian mendapat beritanya, tetapi fakta bahwa kalian ada di sini malam ini, menunjukkan bagaimana alam semesta telah membawa kabar acara ini kepada kalian, dan sekarang kalian duduk di sini.
Dan menatap saya.
Dan, mungkin, bertanya-tanya apakah ini memang benar saya.
Oh, well, rasanya saya bisa mendengar isi kepala kalian malam ini. Mungkin kalian tidak percaya, atau bahkan kecewa, karena mendapati saya jauh lebih muda dari yang kalian bayangkan. Mungkin, selama ini, kalian membayangkan saya sudah setua ayah atau bahkan kakek kalian, dan sekarang kalian mendapati saya ternyata seumuran adik-adik kalian. Maafkan saya atas kemudaan ini.
Juga maafkan atas kekurangajaran saya selama ini karena mengecoh persepsi kalian. In fact, tulisan-tulisan seseorang memang kadang mengaburkan usia penulisnya. Dan kalian yang selama ini membaca blog serta buku-buku saya mungkin menilai “cukup dalam”, sehingga mempersepsikan saya sudah setua Albus Dumbledore. Sekarang kalian duduk di sini, melihat langsung seorang bocah bernama Hoeda Manis, yang ternyata jauh lebih manis dari yang mungkin kalian bayangkan. Ehmm….
Saya tidak tahu apa yang membuat kalian tertarik menghadiri acara ini. Kenyataan yang terjadi malam ini bahkan di luar ekspektasi saya. Sepuluh menit yang lalu, saat saya akan masuk ke sini, panitia memberitahu bahwa tiket sudah sold out, sementara di luar sana masih berjubel orang-orang yang kehabisan tiket. Itu sama sekali di luar bayangan saya, karena ini bukan acara hiburan untuk cengengesan atau ketawa-ketiwi. Ini adalah acara untuk menghayati tragedi.
Oh, well… selamat datang di Stand-Up Tragedy.
Karena ini stand-up tragedy, maka kalian tidak akan mendengar hal-hal ringan yang membuat ketawa-ketiwi, tetapi akan mendengar jeritan yang teredam, teriakan di larut sunyi malam, dan bara api yang menyala dari dasar neraka Dante. Seperti Homer yang menyanyikan kegelapan dan John Milton meratapi surga yang hilang, saya berdiri di sini untuk menangisi kerinduan… seperti lolong serigala pada rembulan.
Stand-Up Tragedy adalah anak kegelisahan saya, karena menghadapi kenyataan betapa segala hal di dunia ini telah disulap menjadi bahan hiburan. Kita, di zaman ini, sepertinya telah kecanduan pada hiburan sedemikian akut, sehingga bahkan hantu-hantu dari kegelapan pun dipoles dan dibuat lucu demi memenuhi kerakusan kita pada hiburan, sementara tragedi-tragedi kemanusiaan kita jadikan sarana untuk cengengesan. Ada apa dengan anak-anak Adam?
Kerakusan kita pada hiburan pun akhirnya mendorong industri menjadi mesin yang terus melahirkan penghibur-penghibur baru, yang akan terus memberikan hiburan tanpa henti, dari pagi sampai pagi lagi, sehingga mungkin kita mulai kebingungan membedakan mana yang hiburan dan mana kenyataan, mana tragedi dan mana komedi. Yang paling mengkhawatirkan, sebagian masyarakat kita mulai rancu dalam hal ini, sehingga mereka kadang menertawakan tragedi, dan menangisi komedi.
Dan sekarang saya berdiri di sini, menatap wajah-wajah kalian, dengan perasaan syukur, karena di antara sekian banyak orang yang merayakan hidup sebagai hiburan ternyata masih ada yang mau diajak berpikir dan merenung, memahami hidup sebagaimana mestinya, meletakkan tangis dan tawa sesuai proporsinya.
Tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi Jerry Seinfield, Rowan Atkinson, atau bahkan David Sedaris. Beberapa orang dilahirkan untuk menjadi Socrates, Plato, atau Isaac Newton. Agar dunia seimbang, agar senyum dan renung hadir bergantian.
….
….
Well, delapan bulan sebelum saya berdiri di sini, saya direkrut sebuah organisasi internasional untuk melakukan riset pada tempat penampungan anak-anak telantar di beberapa belahan dunia. Kalian yang biasa mengendarai Mercedes atau biasa nyangkruk di Starbucks mungkin tidak akan paham dengan yang akan saya ceritakan ini. Tetapi karena kalian telah duduk di sini, izinkan saya menceritakannya.
Di salah satu tempat penampungan yang saya datangi, saya berbicara dengan seorang anak perempuan berusia sembilan tahun, bernama Narnia. Well, itu bukan nama sebenarnya. Anak perempuan ini, kalian tahu, terpaksa hidup di tempat penampungan itu karena tidak tahu siapa orang tuanya. Tetapi, berdasarkan penelusuran yang kami lakukan, Narnia adalah anak hasil perkosaan yang terjadi sepuluh tahun sebelumnya.
Sepuluh tahun sebelumnya, seorang bajingan memperkosa seorang wanita di sebuah kolong jembatan, dan meninggalkannya. Si korban perkosaan melaporkan kasus itu pada kepolisian, tapi hasilnya nihil. Si bajingan tak pernah ditemukan. Sementara si wanita korban perkosaan terlalu miskin, sebegitu miskinnya hingga bahkan tidak mampu membiayai pengguguran anak yang dikandungnya dari perkosaan itu.
Jadi hari demi hari, seiring kandungannya kian membesar, wanita itu berusaha sendirian menanggung malu dan aib, hingga seorang bocah perempuan terlahirkan sembilan bulan kemudian. Bocah itu selamat, tapi tidak dengan ibunya. Sebuah yayasan penampungan kemudian mengambil alih bocah tak berdosa itu, dan merawat serta membesarkannya. Hari ini dia, si Narnia, telah menjadi anak perempuan yang cantik.
Jika ini kisah sinetron, mungkin kita bisa membayangkan lelaki yang bertanggung jawab atas kelahiran Narnia tiba-tiba muncul dengan membawa identitas mengejutkan, well... misalnya dia ternyata seorang konglomerat atau semacamnya, dan kemudian menerima Narnia sebagai anaknya. Tetapi, oh sialan, dunia yang kita tinggali ini tidak seperti sinetron yang biasa kita tonton. Di dunia ini, sering kali, si keparat tak pernah berubah menjadi malaikat.
Jadi di sanalah Narnia berada, di tempat penampungan kumuh, bersama bocah-bocah senasib yang sama-sama telantar dan menderita, bersama tangis yang diam-diam mereka isakkan di larut gelap malam, dengan mata… dengan mata… dengan mata… liar dan berlinang.
Tidak semua anak lahir bersama tawa kebahagiaan orang tuanya, karena ada di antara kita yang justru lahir bersama kejahatan dan linangan air mata.
….
….
Sekarang saya melihat wajah-wajah kalian tercekam, seperti menyaksikan horor yang tak diinginkan. Kalian kehilangan tawa, sekarang, dan itu sudah cukup. Nanti, saat kalian keluar dari gedung yang megah ini, mungkin kalian akan mulai melupakannya ketika kembali masuk ke mobil-mobil mewah kalian, tapi tak mengapa. Fakta bahwa kalian mau membayar hanya untuk menghayati tragedi di sini sudah cukup membuktikan bahwa tesis alam semesta sedang membukakan kebenarannya.
Bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia sambil tertawa.
Itu memang tidak mengisyaratkan bahwa kita harus menjalani hidup dengan melankolia, tetapi juga tidak berarti bahwa kita harus menjalani hidup senantiasa dengan tawa.
Seperti hukum keseimbangan yang tak terlihat, yang menjadi aturan main alam semesta, manusia pun dilahirkan bersama keseimbangan. Sebagian ada yang membawakan komedi, namun sebagian lain harus ada yang berani menunjukkan tragedi. Ada yang terlahir untuk menjadi Mister Bean, tetapi sebagian lain sengaja dilahirkan untuk menjadi Socrates. Ada yang hidup sambil tertawa, namun ada yang harus berani menjalani tragedi di tiang salib dengan darah dan luka.
Hidup adalah pilihan, Kawan-kawan, dan pilihan itu sengaja dititipkan Tuhan untuk masing-masing kita dengan diam-diam. Hidup adalah sandiwara, kata Shakespeare. Sebagian dimainkan oleh pelawak, sebagian lagi dimainkan oleh para pemikir. Tidak apa-apa, karena itulah keseimbangan. Sebagian menemukan cara-cara baru untuk tertawa, sebagian lagi menemukan cara-cara baru untuk mengungkap rahasia semesta. Dan Tuhan, diam-diam, mungkin sedang tersenyum menyaksikan kita….