Apakah di surga ada toko buku? Kalau tidak ada,
aku jadi mikir-mikir kalau mau pergi ke sana.
—@noffret
aku jadi mikir-mikir kalau mau pergi ke sana.
—@noffret
Buku adalah berkat bagi umat manusia. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana suramnya kehidupan yang harus dijalani manusia di planet ini kalau tidak ada buku. Benda itu tidak hanya menjadi teman di kala sendirian, tapi juga menjadi obor menyala yang menerangi kegelapan akal, guru dalam keheningan, penasihat yang tak pernah ribut-ribut, serta hiburan paling beradab.
Sejak Plato menulis di lembar papirus ribuan tahun lalu, hingga Google mendirikan perpustakaan digital abad ini, buku tetap menjadi teman paling setia bagi manusia beradab, makhluk yang mau menggunakan pikirannya. Dan hingga akhir zaman kelak, saya yakin buku akan tetap memegang peran penting dalam mengantarkan manusia menuju cahaya kesadaran.
Well, banyak buku bagus yang saya baca tahun ini. Kalau dihitung-hitung, totalnya ada 104 judul. Sebagian fiksi, sebagian nonfiksi. Sebagian buku Indonesia, sebagian buku luar negeri. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun saya ingin kembali berbagi pengalaman mengenai buku-buku yang saya anggap terbaik dari semua buku yang baca sepanjang tahun ini.
Daftar berikut tidak saya maksudkan sebagai rekomendasi, namun sebagai apresiasi saya—yang tentu bisa subjektif—atas buku-buku yang saya anggap bagus. Bagi kalian yang mungkin sudah menunggu-nunggu, berikut ini—saya tulis secara alfabetis berdasarkan nama penulisnya—10 buku yang saya anggap terbaik dari 104 buku yang saya baca sepanjang 2013. Silakan disimak.
Alexander George: Apa Kata Socrates?
Saya jatuh cinta pada buku ini, bahkan sebelum membacanya. Rasanya, mungkin, seperti jatuh cinta pada pandangan pertama. Merupakan terjemahan What Would Socrates Say?, buku ini merangkum tanya jawab yang sebelumnya ada di situs AskPhilosophers.org.
Bagi yang mungkin belum tahu, AskPhilosophers.org adalah situs filsafat populer. Situs itu menerima pertanyaan-pertanyaan dari para pembaca, dan akan menjawab setiap pertanyaan dengan perspektif filsafat. Berbeda dari yang mungkin kita bayangkan, jawaban-jawabannya mudah dipahami, bahkan oleh orang awam atau yang tidak kenal filsafat. Situs itu mengubah kesan rumit filsafat menjadi obrolan santai yang menyenangkan.
Nah, buku ini adalah kompilasi tanya jawab yang sebelumnya telah diposting di situs itu. Isinya macam-macam—tidak hanya menambah wawasan dan pengetahuan, tapi juga menghibur.
Beberapa pertanyaan yang menggelitik, di antaranya, “Jika tidak ada yang mencintai saya seumur hidup, dan jika saya tidak pernah menjalin hubungan cinta dengan seorang pun, apakah saya akan bisa menjalani kehidupan bahagia?”, “Dari mana kata-kata mendapatkan maknanya?”, hingga, “Apakah secara moral saya berkewajiban memberitahu pasangan, bahwa saya membayangkan orang lain saat sedang bersamanya?”
Membaca buku ini seperti menyelami isi kepala filsuf. Dari percikan pertanyaan yang kadang terdengar remeh, kita akan mendapat jawaban yang membuat takjub dan tercenung. Saya berharap AskPhilosophers.org kembali membukukan tanya jawab lain di situsnya, agar lebih luas menjangkau pembaca.
Andrew C. Hitchcock: The Synagogue of Satan
Ada 30-an buku teori konspirasi—semuanya membahas Yahudi—yang saya baca tahun ini, termasuk Illuminati: The Cult that Hijacked the World karya Henry Makow, The Holocaust Industry karya Norman Finkelstein, hingga New World Order karya Ralph Epperson. Dari 30-an buku itu, The Synagogue of Satan karya Andrew Hitchcock saya anggap yang terbaik.
Bertahun-tahun lalu, seorang bijak berkata pada para mahasiswanya, “Setiap kali kalian membaca buku teori konspirasi, selalu ingatlah untuk memetakan mana yang fakta, dan mana yang interpretasi penulisnya.”
Nasihat itu benar-benar saya ingat. Setiap kali membaca buku teori konspirasi, saya akan terus waspada untuk memilah mana yang benar-benar fakta, dan mana yang mungkin hanya interpretasi penulisnya. Teori konspirasi adalah wilayah abu-abu—antara fakta dan maya—dan di antara celah keduanya selalu ada kemungkinan bagi si penulis untuk memasukkan interpretasinya. Itu pula yang kemudian menjadi kekurangan klasik buku-buku teori konspirasi.
Setiap membaca buku teori konspirasi, saya selalu mendapati ciri khas yang sama. Si penulis menyodorkan fakta, memasukkan interpretasinya, kemudian menggiring pembaca untuk sampai pada kesimpulan yang diinginkannya. Akibatnya, teori konspirasi diam-diam menjadi teori indoktrinasi. Itu telah menjadi kesalahan klasik buku-buku teori konspirasi. Itu pula yang menjadikan teori konspirasi terkesan konyol bagi sebagian orang, meski sebagian lain mati-matian mempercayainya.
Nah, Andrew Hitchcock memperbarui teknik penulisan buku teori konspirasi. Dalam The Synagogue of Satan, dia tidak mengulang kesalahan para penulis lain, tapi murni hanya menyodorkan fakta yang ia tulis dengan runtut, sistematis, dan membiarkan pembaca untuk sampai pada kesimpulannya sendiri.
Sejujurnya, saya takjub membaca buku ini. The Synagogue of Satan adalah “album” perjalanan sekelompok Yahudi, yang dimulai pada 740 Masehi, hingga kemudian—perlahan namun pasti—membentuk sebuah imperium raksasa pada tahun 2000-an sekarang ini.
Sekali lagi, Andrew Hitchcock tidak memasukkan interpretasi atau menggiring pembaca untuk masuk pada kesimpulannya. Dia hanya menyodorkan fakta demi fakta, mirip kaleidoskop dari waktu ke waktu, sampai kemudian... bum! Pembaca akan menghadapi kenyataan yang amat mengerikan begitu selesai membaca tumpukan fakta yang ia sodorkan. Itulah kesimpulannya—sebentuk kesimpulan yang membuat saya tercengang dan terdiam lama setelah mengkhatamkan buku ini.
Jika kalian bertanya pada saya, maka inilah kesimpulannya: Ada sekelompok keparat Yahudi yang sedang berusaha menguasai dunia, dan memperbudak umat manusia. Mereka telah memulai perjuangan terkutuk itu sejak ratusan tahun lalu, dan sekarang mereka telah sekuat raksasa. Kalian boleh percaya juga boleh tertawa, tetapi—oh, sialan—itulah faktanya!
A. Zulvan Kurniawan: Tipuan Bloomberg
Michael Bloomberg adalah walikota New York yang menjabat tiga kali berturut-turut, berkat dukungan “tangan-tangan kuat” di Amerika. Tapi yang menjadikan namanya dikenal banyak orang, khususnya di Indonesia, bukan prestasinya sebagai walikota, melainkan karena uangnya. Oh, well, Michael Bloomberg telah menjadi semacam “orang suci” bagi sebagian orang.
Bloomberg mengalirkan banyak uangnya ke berbagai lembaga di banyak negara, demi “cita-cita luhur” membebaskan masyarakat dunia dari rokok dan tembakau. Sekadar ilustrasi, organisasi Muhammadiyah menerima sumbangan Bloomberg sebesar 3,6 miliar pada 2010 demi mengeluarkan fatwa haram merokok. Sementara LSM antikorupsi Indonesian Corruption Watch (ICW) menerima kucuran dana Bloomberg sebesar 427,418 juta rupiah, demi “mengonsolidasikan kampanye antitembakau untuk memulai perubahan fundamental pada aturan soal tembakau di Indonesia”.
Karena aliran uangnya, juga karena aktivitasnya dalam kampanye antirokok, Bloomberg pun segera dikenal sebagai filantropi yang dihormati. Tetapi bagaimana jika kesan filantropis itu hanya topeng yang digunakannya, untuk menutupi sosok kapitalis yang menjadi jati dirinya?
Buku ini mengungkapkan bagaimana hubungan Bloomberg dengan beberapa kapitalis berpengaruh dunia, seperti Rockefeller, Ford, Carnegie, Morgan, dan lainnya. Paparan dalam buku ini akan menunjukkan kepada kita bahwa Michael Bloomberg bukanlah sosok yang bebas-kepentingan, tetapi sarat-kepentingan.
Sebagaimana para kapitalis lain, aktivitas “filantropis” Bloomberg hanyalah topeng untuk menutupi tujuan aslinya, yakni mengeruk uang dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Karenanya, subjudul buku ini adalah Mengungkap Sosok Agen Industri Farmasi di Balik Filantropi Kampanye Anti Rokok.
Umpama permainan catur, aliran uang yang sangat banyak dari Bloomberg hanyalah gerakan pion menuju arena perang. Kampanye antirokok yang ia gembar-gemborkan sebenarnya mengincar sesuatu yang lebih besar, yang mungkin tidak kita sadari. Setelah pion-pion bertumbangan, dan kita kehilangan waspada, ia akan maju menggerakkan bidak yang telah disembunyikannya... mengejutkan kita dengan skak-mat!
Dan Brown: Inferno
Setelah Sidney Sheldon meninggal dunia, saya sudah pesimis untuk bisa menikmati novel suspense yang benar-benar memuaskan. Sheldon adalah pencerita kelas satu yang mampu membuat pembaca duduk diam tak bergerak, dan terus tenggelam dalam kisah yang dituturkannya—tegang, memukau, membuat penasaran, tokoh-tokoh dengan karakter unik, alur rumit yang saling membelit, dengan akhir kisah tak terduga. Dia benar-benar tahu cara membuat pembaca mengalami ledakan orgasme di kepala.
Sampai kemudian muncul Dan Brown. Ia seperti pengganti sempurna setelah wafatnya Sidney Sheldon, dan saya pun langsung jatuh cinta pada karya-karyanya. Dalam biografinya, Dan Brown mengakui bahwa ide penulisan novel-novelnya memang terilhami oleh novel Shidney Sheldon.
Meski kebanyakan pembaca di Indonesia mungkin baru mengenal Dan Brown setelah gegernya DaVinci Code, tapi dua novel Brown sebelum itu tak kalah mengasyikkan—Digital Fortress dan Deception Point—meski keduanya tidak bercerita tentang Robert Langdon.
Dua novel itu benar-benar membakar adrenalin pembaca, dengan alur kisah sangat cepat, dan plot yang terus mengejutkan—tak jauh beda dengan kisah-kisah ala Sidney Sheldon. Sewaktu membaca dua novel tebal itu, saya benar-benar tidak melakukan apa pun, karena sangat “terikat” dengan kisah di dalamnya. Tapi “keberuntungan” Dan Brown memang pada DaVinci Code, yang membuat namanya dikenal lebih luas, akibat kontroversi kisah di dalamnya.
Tahun ini, Dan Brown kembali menghadirkan Robert Langdon dalam petualangan terbarunya, Inferno. Sama seperti kisah-kisah sebelumnya, Dan Brown kembali melemparkan Robert Langdon dalam petualangan penuh ketegangan, memecahkan teka teki kode rumit, sambil terus berkejaran dengan waktu. Seperti novelnya yang lain, novel ini pun membuat saya jatuh cinta.
Karena beberapa kelemahan di dalamnya, para kritikus sempat membantai Inferno dengan celoteh mereka yang tajam. Jake Kerridge dari Telegraph, misalnya, menyebut Inferno sebagai karya yang “terburuk dan menyedihkan, akibat ambisi penulisnya melebihi kemampuannya.”
Di koran Daily Mail, AN. Wilson menyatakan kisah dalam Inferno “datar-datar saja”, karena “sama dengan The DaVinci Code, hanya berkisar tentang pencarian panjang.” Sementara koran Metro terbitan London berkomentar dengan sinis, “Pemahaman Brown mengenai kata sifat tidak akan membuatnya meraih Pulitzer.”
Oh, well, Tuan-tuan Kritikus. Kalian boleh ngoceh apa saja tentang Inferno, dan saya akan mendengarkan. Tapi saya cinta novel Dan Brown... dan persetan dengan kalian.
Elza Syarief: Menuntaskan Sengketa Tanah
Kalian mungkin heran, mendapati buku teks bisa masuk daftar ini. So, biar saya jelaskan latar belakangnya.
Satu tahun terakhir, untuk suatu keperluan, saya melakukan riset seputar masalah pertanahan. Untuk tujuan itu, saya harus mengumpulkan berbagai literatur yang mendukung, dan saya menghadapi masalah yang sebelumnya tak terbayangkan. Ketika mencari buku-buku yang membahas masalah tanah, sulitnya luar biasa. Kebanyakan buku yang saya dapatkan adalah buku teks yang umumnya hanya beredar di lingkungan kampus.
Langkanya buku yang membahas masalah tanah—khususnya dalam bahasa populer—adalah ironi, karena konflik dan sengketa tanah di Indonesia bisa dibilang terus meningkat dari tahun ke tahun, menimpa banyak masyarakat di berbagai lapisan, sementara literatur penunjangnya sangat tidak memadai. Akibatnya, masyarakat sering kesulitan ketika menghadapi masalah ini, sekaligus sulit mengakses informasi yang mungkin mereka butuhkan untuk lebih bisa memahami masalah yang mereka hadapi.
Buku karya Elza Syarief ini bisa dibilang satu di antara sedikit buku yang membahas persoalan tanah, yang bisa ditemukan di toko buku. Buku ini merupakan disertasi penulisnya, sehingga gaya penulisannya tidak bisa dibilang populer. Meski begitu, isi buku ini cukup mudah dipahami masyarakat awam, karena disertai contoh atau ilustrasi kasus dalam banyak penjelasannya.
Selain membahas berbagai persoalan seputar konflik tanah, buku ini juga membahas perjalanan panjang hukum pertanahan (agraria) sejak zaman prakemerdekaan sampai masa kini—dengan segala carut-marutnya—serta menawarkan solusi untuk berbagai kasus yang terjadi.
Di antara buku-buku lain yang membahas persoalan tanah yang bisa saya temukan, buku ini bisa dibilang paling komprehensif. Bagi masyarakat luas yang mungkin masih awam mengenai masalah tanah, dan ingin memahami serta mendalami, buku ini bisa dijadikan pilihan.
Hyphatia Cneajna: Dracula
Apa perbedaan Rambo dan Dracula? Rambo adalah sosok fiktif yang dibuat seolah-olah ada, sedang Dracula adalah sosok yang benar-benar ada tapi dibuat seolah fiktif. Barat, dalam hal ini Amerika, perlu menciptakan sosok Rambo untuk menutupi rasa malu mereka akibat kekalahan dalam perang Vietnam. Barat pula, karena tendensi sejarah, yang sengaja mengaburkan sosok Dracula hingga keberadaannya dianggap fiktif. Atau mitos.
Dracula bukan hanya sekadar tokoh rekaan yang dipopulerkan Bram Stoker lewat novelnya. Ia sosok yang benar-benar ada, tapi sengaja dikaburkan agar orang-orang menganggapnya bagian dari fiksi. Fakta bahwa sebagian kita sekarang menganggap Dracula hanya ada di dunia fiktif adalah bukti betapa sebagian pihak bisa mengendalikan—bahkan memanipulasi—pengetahuan bagi pihak lainnya. Itulah yang disebut rezim pengetahuan.
Buku ini mengungkapkan siapa sebenarnya sosok yang disebut Dracula, sejak kelahiran sampai kematiannya, serta peran yang ia mainkan dalam sejarah. Pemaparan mengenai sepak terjang Dracula dalam buku ini membuat pembaca bergidik ngeri akibat kekejaman dan kebuasannya yang sulit dinalar akal sehat. Kegilaan Dracula mungkin hanya bisa disamai Caligula, yang sama-sama “tidak waras”.
Buku ini tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga menjadi salah satu bukti bahwa pengetahuan yang kita miliki dan percayai sekarang tidak terjamin “bebas polusi”. Ketika suatu pihak bisa melakukan distorsi bahkan memanipulasi suatu pengetahuan, saat itu pula ilmu pengetahuan tidak lagi murni. Dan, omong-omong, itulah yang sekarang terjadi.
Malcolm Gladwell: Blink
Malcolm Gladwell dijuluki “Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia”, dan julukan itu diperolehnya berkat kecermatan serta kejeliannya dalam menarik pelajaran-pelajaran penting dari berbagai peristiwa yang mungkin terlewat dari pandangan orang lain.
Gladwell, dalam bayangan saya, tak jauh beda dengan bocah di tengah-tengah kerumunan yang mengelilingi sebuah gunung tepung. Orang-orang terfokus memandangi gunung tepung di tengah-tengah mereka, sementara Gladwell justru memperhatikan sehelai rambut yang menyembul dari dalam gunung tepung. Kemudian, dengan ketelitian yang cermat, ia menarik sehelai rambut itu dengan halus—sebegitu halus dan hati-hati, hingga tak merusak gunung tepung.
Gunung tepung adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan besar kita, sementara helai rambut adalah pelajaran-pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Orang-orang berfokus memperhatikan peristiwa yang terjadi, Malcolm Gladwell berfokus menemukan pelajaran yang tersimpan di dalamnya. Dan, karena itu, ia dijuluki Pemikir Paling Berpengaruh di Dunia.
Dalam Blink, seperti dalam buku-buku sebelumnya, Gladwell sekali lagi mendemonstrasikan kemampuannya yang istimewa dalam menarik pelajaran-pelajaran tak terbayangkan yang ia ambil dari berbagai peristiwa. Seperti menarik sehelai rambut dari gunung tepung, Gladwell memaparkan berbagai pelajaran tak terbayangkan dari aneka macam kisah, kemudian menyodorkan kesimpulan mengejutkan untuk pembacanya.
Meski sebagian akademisi menganggap teori-teori Gladwell tidak bisa dibilang akurat, khususnya jika ditinjau dari sudut pandang eksakta, tapi Gladwell telah menyampaikan hal-hal penting yang sebelumnya tidak kita sadari. Ia seorang genius dengan caranya sendiri.
Okta Pinanjaya & Waskito Giri S.:
Muslihat Kapitalis Global
Judul selengkapnya, Muslihat Kapitalis Global: Selingkuh Industri Farmasi dengan Perusahaan Rokok AS. Meski judulnya mungkin terdengar tendensius, tapi buku ini ditulis dengan objektif, dengan setumpuk sumber data yang bisa diverifikasi validitasnya.
Di internet—di blog maupun di Twitter—kadang ada orang ngoceh, “Industri farmasi tidak punya kepentingan apa-apa dengan kampanye antirokok. Semakin banyak orang sehat karena tak merokok, industri farmasi semakin tidak dibutuhkan. Jadi sangat aneh kalau ada yang menuduh kampanye antirokok didanai industri farmasi.”
Itu ocehan yang sangat naif, karena hanya menilai suatu masalah dari satu sudut pandang yang dangkal. Persoalan kampanye antirokok tidak sesederhana tampaknya. Ia melibatkan banyak kepentingan, khususnya kepentingan para kapitalis, dan kita—khususnya yang suka ribut-ribut dengan sok tahu—hanyalah pion-pion kecil yang dikorbankan untuk berperang dalam aneka polemik.
Persoalan kampanye antirokok, yang akhir-akhir ini memanas, harus dicermati secara komprehensif, utuh dan menyeluruh, agar kita dapat melihat gambar besarnya—dan itulah yang dilakukan oleh buku ini.
Kapitalisme tidak hanya berhubungan dengan dunia bisnis seperti yang mungkin selama ini kita pikirkan. Mereka juga berkaitan erat dengan “doktrinasi” pengetahuan—dari pengetahuan sehari-hari sampai teknik kedokteran modern—demi tujuan keuntungan finansial. Buku ini memaparkan bagaimana berkuasanya para kapitalis membangun “rezim pengetahuan” yang sekarang kita yakini, hingga bagaimana liciknya mereka menggunakan kampanye antirokok demi tujuan sebenarnya yang mereka incar.
Mereka, para kapitalis, menggunakan pola pikir para juara—“biarkan orang bersikap sebagaimana yang mereka pikir mereka inginkan, dan kita ambil keuntungan dari kondisi itu”. Yang jadi masalah, kebanyakan masyarakat kita menggunakan pola pikir para pecundang—ngotot, merasa serbatahu, sulit diingatkan, dan sering merasa paling benar.
Buku ini akan membuka mata kita tentang apa sebenarnya yang terjadi menyangkut ribut-ribut kampanye antirokok. Bukan agar kita menentang kampanye antirokok, melainkan agar kita melihat kebusukan apa yang disembunyikan di balik kampanye itu.
Rhonda Byrne: The Magic
Ini buku ketiga Rhonda Byrne setelah The Secret dan The Power. Di antara ketiganya, saya paling suka The Magic, karena buku ini menjawab pertanyaan di kepala saya selama bertahun-tahun.
Salah satu misteri besar yang mengundang pertanyaan banyak pemikir di berbagai belahan dunia adalah ayat yang terdapat dalam Alkitab, Matius 13:12. Ayat itu berbunyi, “Siapa yang memiliki akan diberi lebih banyak, dan ia akan memiliki kelimpahan. Siapa yang tidak memiliki, maka bahkan apa yang dimilikinya akan diambil darinya.”
Ayat itu terkesan absurd, misterius, dan tidak jelas maksud serta maknanya. Karena “absurditas”nya pula, banyak pemikir dan akademisi telah mencoba memahami dan mengartikan ayat tersebut dengan berbagai perspektif. Salah satu yang populer adalah perspektif yang dikenalkan ahli sosiologi Robert Merton pada 1968, yang teorinya disebut “Efek Matius”.
Efek Matius atau keunggulan kumulatif, menurut Robert Merton, adalah sebuah fenomena sosial ketika yang kaya semakin kaya, sedang yang miskin semakin miskin. Teori itu sangat terkenal, dan diamini banyak orang, yang salah satunya Robert Kiyosaki. Dalam serial bukunya, Rich Dad Poor Dad, Kiyosaki mengutip ayat Matius tersebut—dan mengartikannya sebagaimana teori Robert Merton—untuk mendukung teorinya sendiri.
Meski upaya pemaknaan atas ayat itu telah berlangsung lama, dan telah ditulis dalam banyak buku yang pernah terbit, namun baru The Magic-nya Rhonda Byrne yang bisa menjelaskannya secara gamblang dan masuk akal. Setidaknya, inilah buku pertama yang saya baca, yang bisa menjelaskan misteri ayat tersebut hingga makna rahasianya terbuka.
Rahasianya adalah “syukur”, kata Rhonda Byrne. Jika kita memasukkan kata “syukur” ke dalam ayat Matius tersebut, maka arti tersembunyi ayat itu pun akan tampak sangat jelas. “Siapa yang memiliki (syukur) akan diberi lebih banyak, dan ia akan memiliki kelimpahan. Siapa yang tidak memiliki (syukur), maka bahkan apa yang dimilikinya akan diambil darinya.”
Match! Makna tersembunyi ayat itu pun terbuka, dan sesuai aturan universal lainnya. Jika kita bertanya pada orang bijak mana pun di planet ini, mereka semua akan sepakat bahwa syukur adalah kekuatan tersembunyi. Yang memilikinya akan mendatangkan kelimpahan lebih banyak, yang tidak memilikinya akan kehilangan miliknya. Alkitab tentu sengaja “menyembunyikan” frasa syukur dalam ayatnya, sebagai penegasan bahwa syukur adalah kekuatan tersembunyi.
The Magic ditulis berdasarkan ayat itu, dan menguraikan bagaimana kekuatan syukur dapat mengubah kehidupan orang per orang. Buku ini tidak hanya mudah dipahami, tapi juga menghangatkan hati. Tidak sekadar inspiratif, tapi juga mengajarkan sesuatu yang sangat terpuji.
Scott Smith: Summer in Hell
Scott Smith mungkin terlalu lama membaca novel-novel Stephen King, hingga gaya sang raja horor itu sangat melekat dalam novel karyanya. Sama seperti Stephen King, Scott Smith juga menulis dengan alur yang datar, perlahan menuju klimaks, kadang melantur, kemudian melemparkan pembaca dalam akhir penuh kegelapan.
Summer in Hell menceritakan sekelompok anak muda yang berpetualang melintasi hutan, menuju sebuah situs reruntuhan kuno peninggalan suku Maya, untuk menyusul seorang arkeolog kawan mereka. Di tempat itulah horor yang menakutkan dimulai—tapi tidak seperti yang kita pikirkan. Tidak ada roh gentayangan, tidak ada hantu, tidak ada setan, tidak ada zombie, tidak ada alien, tetapi... sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Seperti yang disebutkan tadi, gaya bercerita novel ini sangat dipengaruhi gaya Stephen King. Kalian yang kebetulan penggemar King kemungkinan besar juga akan menyukai novel ini, meski kadar kengeriannya mungkin lebih mencekam dan lebih gelap. Walaupun tidak ada hantu atau aktivitas paranormal atau semacamnya, novel ini mampu membuat pembaca bergidik ngeri.
Ide cerita dalam novel ini orisinal, karena memasukkan objek yang sangat unik ke dalam genre horor. Itu pula yang membuat saya memutuskan untuk memasukkan Summer in Hell ke dalam daftar buku terbaik tahun ini.
Sampai jumpa di Daftar 10 Buku Terbaik tahun depan!