Ketika memikirkan betapa besarnya implikasi
dari hal-hal kecil, aku jadi tergoda untuk berpikir
bahwa sebenarnya tidak ada hal-hal kecil.
—@noffret
dari hal-hal kecil, aku jadi tergoda untuk berpikir
bahwa sebenarnya tidak ada hal-hal kecil.
—@noffret
Seorang wanita menemui orang bijak di kampungnya, dan berkata, “Tuan, saya orang baru di sini. Saya perlu tahu, apakah orang-orang yang menjadi tetangga baru saya di sini baik atau jahat?”
Si orang bijak menjawab, “Sewaktu Anda masih tinggal di tempat semula, Nyonya, apakah para tetangga Anda tergolong baik atau jahat?”
“Mereka tetangga yang baik.”
“Kalau begitu, tetangga di sini pun baik,” ujar si orang bijak.
Saya lupa di mana membaca dialog itu, tapi arti yang terkandung dalam percakapan itu begitu membekas dalam benak, hingga saya tak bisa lupa. Percakapan itu mengandung arti kira-kira, “Baik atau buruknya tetanggamu, tergantung bagaimana sikap dan penilaianmu kepada mereka.”
Itu pelajaran penting tentang kehidupan bertetangga. Ketika saya masih tinggal bersama orang tua, pelajaran tentang hal itu terasa kurang penting, karena urusan pertetanggaan telah “diurus” orang tua. Namun, ketika saya mulai hidup mandiri—yang artinya saya menjadi kepala keluarga sendiri—arti bertetangga menjadi penting sekali. Sebegitu penting, hingga saya merasa perlu menceritakannya di sini.
Seperti yang pernah saya tulis sekilas di sini, saya telah keluar dari rumah orang tua ketika mulai kuliah. Waktu itu saya sudah punya penghasilan sendiri, dan dari penghasilan itu saya mengontrak sebuah rumah yang saya tinggali sendirian. Rumah itu terletak di daerah yang asri dan hening, tepat seperti yang saya inginkan. Maka saya pun menemui pemiliknya, yang kemudian saya panggil Bu Haji.
Singkat cerita, saya pun mulai menempati rumah itu—sendirian. Rumah yang semula kosong melompong itu kemudian saya isi perabot rumah tangga, dari sofa ruang tamu sampai meja kerja, televisi, player, komputer, peralatan masak, sampai springbed untuk tidur. Pendeknya, saya bisa nyaman tinggal di rumah itu, karena segala kebutuhan telah tersedia—kecuali untuk makan, saya harus keluar.
Rumah itu tergolong luas. Di samping kanan rumah, tepat di sebelah ruang tamu, ada garasi yang menyatu dengan taman dan kolam ikan, di ujung belakangnya. Taman dan kolam ikan itu bersebelahan tepat dengan ruang tengah, yang dibatasi pintu kaca. Dari ruang tengah pula ada pintu menuju garasi, dan pintu itulah yang setiap hari saya gunakan untuk keluar masuk rumah.
Dalam aktivitas sehari-hari—pergi dan pulang kuliah, atau keluar rumah untuk cari makan—saya selalu lewat pintu ruang tengah, lalu keluar lewat garasi. Itu lebih praktis, karena saya hanya perlu menggunakan satu kunci. Pintu depan rumah biasanya hanya dibuka kalau pas ada tamu, atau ketika teman-teman datang. Karena itu pula, saya menggabungkan kunci garasi dengan kunci pintu ruang tengah.
Garasi rumah itu—seperti umumnya garasi lain—menggunakan pintu-lipat besi, yang akan mengunci otomatis jika ditutup. Artinya, kunci hanya dibutuhkan untuk membuka, tapi tidak perlu digunakan untuk menutup atau mengunci pintu. Artinya pula, saya bisa membuka pintu garasi dari dalam tanpa kunci, tapi harus menggunakan kunci jika membuka dari luar. Oh, well, saya perlu menjelaskan hal ini cukup detail, karena inti cerita ini akan sangat berhubungan dengan kunci garasi tersebut.
Nah, suatu hari, Bu Haji pemilik rumah itu datang menemui saya. Setelah berbasa-basi sejenak, dia berkata, “Mas, dulu saya pikir situ mengontrak rumah ini untuk ditinggali sekeluarga. Tapi ternyata cuma sendirian, ya?”
Saya menyahut dengan sopan, “Saya harap Anda tidak keberatan, Bu Haji.”
“Tentu saja tidak,” ujarnya sambil tersenyum. Lalu ia melanjutkan dengan ragu-ragu, “Cuma, saya kok... anu, agak... yah, agak khawatir. Maksud saya, situ kan masih... masih muda sekali. Apa tidak takut tinggal sendirian di rumah yang luas seperti ini?”
“Sama sekali tidak, Bu Haji,” saya meyakinkannya. “Saya memang menginginkan hidup sendirian seperti ini. Tenang, hening, sepi.”
Dia mengangguk. Setelah terdiam sesaat, dia lalu masuk pokok persoalan, “Begini, Mas. Tembok di sebelah kolam ikan itu kan tidak tinggi, dan taman di situ terhubung langsung dengan garasi. Saya pikir, mungkin akan lebih baik kalau taman itu ditutup pintu, agar tidak terhubung dengan garasi. Soalnya saya mengkhawatirkan situ hidup sendirian, di komplek yang masih asing begini.”
Agar kalian lebih paham yang dimaksud Bu Haji, biar saya jelaskan. Seperti yang saya sebutkan tadi, tepat di samping ruang tengah ada kolam ikan dan taman, yang menyatu dengan garasi. Tembok taman itu tidak terlalu tinggi—hanya sekitar dua meter—dan berbatasan dengan halaman belakang tetangga.
Nah, Bu Haji menilai saya masih anak-anak (karena kenyataannya memang begitu—saya masih semester satu waktu itu), dan ia mengkhawatirkan kalau-kalau ada orang yang melompat dari balik tembok itu dengan niat tidak baik. Yang merisaukannya, jika benar-benar ada orang yang melompati tembok taman itu, maka orang itu akan bisa langsung masuk ke garasi. Dan—seperti yang saya jelaskan tadi—pintu garasi bisa dibuka tanpa kunci jika dari dalam.
Karena itulah kemudian Bu Haji terpikir untuk memasang pintu di sana, sebagai pembatas antara taman dan garasi. Itu akan menjadikan rumah lebih aman. Saya tidak punya alasan untuk menolak, karena usul itu memang baik dan masuk akal. Lebih dari itu, rumah akan lebih aman dengan adanya pintu pembatas tersebut.
Maka kemudian, sebuah pintu besi pun dipasang di sana—membatasi taman dan garasi. Keberadaan pintu besi itu sama sekali tidak menghalangi saya keluar masuk garasi atau menikmati taman serta kolam ikan, karena saya bisa menggunakan pintu yang tersedia dengan mudah, seperti biasa. Tetapi, keberadaan pintu besi itu perlahan-lahan mulai mempengaruhi pikiran saya.
Sejak adanya pintu besi itu, saya seperti diingatkan bahwa bisa jadi tetangga saya tidak baik, bisa jadi orang sebelah rumah punya niat jahat, bisa jadi ada orang yang punya maksud buruk. Apalagi saya tergolong orang asing di komplek ini. Pikiran-pikiran negatif semacam itu kadang menghinggapi ketika saya duduk sambil merokok di dekat kolam, kemudian memandang tembok taman yang tak terlalu tinggi. Ya, siapa pun bisa melompati tembok itu, dan masuk ke dalam rumah. Itu mengerikan jika benar terjadi, pikir saya.
Pikiran negatif semacam itu sempat berlangsung cukup lama, meski saya dan para tetangga masih saling sapa dan tersenyum ramah setiap kali bertemu muka. Sebenarnya, di hati kecil, saya menilai tetangga-tetangga baru saya tergolong orang-orang baik. Mereka ramah pada saya, meski saya orang asing di sana. Mereka juga tidak pernah mengganggu—anak-anak mudanya tampak sopan, sementara orang-orang tua memperlakukan saya dengan baik.
Tetapi keberadaan pintu besi yang baru dipasang di ujung garasi rumah saya seolah mengingatkan, bahwa hal-hal buruk bisa saja terjadi, bahwa tetangga yang tampaknya baik bisa saja buruk, bahwa orang yang tampak ramah bisa saja berhati jahat, bahwa saya harus selalu curiga pada tetangga.
Sampai suatu hari, kejadian yang sepele tapi penting terjadi. Sore itu saya memasak air untuk membuat teh. Panci berisi air sudah saya naikkan ke atas kompor, dan api sudah menyala. Sementara menunggu air mendidih, saya bermaksud membeli rokok ke warung yang ada di ujung komplek. Maka saya pun dengan santai masuk garasi, mengeluarkan motor, lalu menuju warung.
Dan saya lupa membawa kunci!
Ketika pulang dari warung dan akan membuka pintu garasi, barulah saya sadar kesalahan fatal yang telah saya lakukan. Tadi, waktu menutup pintu saat akan pergi, saya tidak butuh kunci, karena pintu akan mengunci otomatis. Tetapi, untuk membuka pintu garasi itu, saya butuh kunci. Sementara kuncinya sekarang tergantung di pintu ruang tengah, lupa saya bawa!
Dengan tampang idiot karena kebingungan, saya mondar mandir di depan garasi, tak bisa masuk rumah! Apa yang harus saya lakukan sekarang?
Yang paling merisaukan saya waktu itu adalah panci di atas kompor! Kompor di dapur masih menyala, memanaskan panci serta air di dalamnya. Seharusnya sekarang saya sudah masuk rumah, dan memadamkan api kompor, karena air di atasnya pasti sudah mendidih.
Sambil panik, saya berpikir, cepat atau lambat air di dalam panci akan terus berkurang akibat mendidih dan terus dipanaskan. Jika air dalam panci akhirnya habis, maka panci akan kehilangan berat, sementara tekanan api kompor akan melemparkannya. Itu sangat berbahaya, karena bisa menimbulkan ledakan dan kebakaran.
Demi Tuhan, apa yang harus saya lakukan...???
Sebenarnya, saya bisa saja menelepon Bu Haji pemilik rumah itu, dan menanyakan apakah dia menyimpan kunci cadangan untuk membuka garasi. Yang jadi masalah, ponsel saya tertinggal di dalam rumah, dan saya tidak hafal nomor telepon Bu Haji, sementara rumahnya tergolong jauh. Dan saya bukan Mac Gyver! Juga bukan Sherlock Holmes! Oh, sialan, saya hanyalah anak-anak yang kebetulan menghadapi hari sial karena lupa membawa kunci!
Ketika saya sedang mondar-mandir dengan tampang panik di depan pintu garasi, seorang tetangga lewat. Ia tetangga sebelah rumah saya tepat. Mungkin karena heran, ia menyapa, “Kenapa, Mas? Kok tampaknya lagi bingung?”
“Uhmm... ini, Mas, saya tidak bisa masuk!” jawab saya lugu.
Dia makin keheranan. “Lhoh, kok bisa?”
Lalu saya pun menjelaskan persoalan yang saya hadapi, tentang kunci yang lupa saya bawa, juga tentang kompor yang sedang menyala di dapur. Ia memahami masalah itu dengan baik. Setelah berpikir sesaat, ia menyarankan, “Begini saja. Izinkan saya masuk lewat dinding samping rumah, nanti saya masuk ke garasi, biar pintunya bisa saya bukakan dari dalam.”
Itu ide yang cemerlang, pikir saya. Jadi, tetangga saya kemudian mengambil tangga, lalu naik ke dinding yang ada di dekat kolam ikan rumah saya, yang cuma setinggi 2 meter, lalu melompat masuk. Seharusnya, dari sana dia bisa langsung masuk ke garasi untuk membukakan pintu, agar saya bisa masuk. Sialnya, saya lupa, di ujung garasi itu sekarang telah dipasang pintu besi!
Jadi, meski sudah masuk ke lokasi rumah, tetangga saya tidak bisa ke mana-mana. Ia tidak bisa masuk ke garasi karena terhalang pintu besi, ia juga tidak bisa masuk ke dalam rumah, karena tertutup pintu kaca. Karena kebingungan, dia berteriak memberitahukan keadaannya pada saya yang ada di balik dinding. Saya mendengarkannya, dan tambah bingung. Dan diam-diam mengutuk pintu besi sialan itu.
“Kayaknya pintu besi ini bisa dibuka paksa, Mas,” ujarnya kemudian dari balik dinding. “Tidak apa-apa kalau saya bongkar?”
“Tidak apa-apa, Mas!” sahut saya langsung. “Bongkar saja!”
“Kalau begitu, tolong ambilkan palu di rumah saya.”
Akhirnya, setelah bekerja cukup lama, tetangga saya bisa membuka pintu besi dengan bantuan palu. Setelah pintu besi itu dapat dibuka, dia pun masuk ke garasi, dan membukakan pintu dari dalam. Saya pun masuk, dan segera berlari ke dapur untuk mengangkat panci yang ternyata memang sudah kering kehabisan air.
“Uhm, Mas,” ujar saya saat kami duduk di ruang tamu, “seharusnya saya bisa menyajikan teh, tapi barusan airnya habis waktu direbus.”
Dia tertawa. “Tidak apa-apa, Mas. Nyantai saja.”
Lalu kami bercakap-cakap sambil merokok. Itu pertama kalinya saya bercakap-cakap dengan tetangga, padahal dia tetangga sebelah rumah saya tepat. Dia lelaki berusia 35-an, sudah beristri, dan punya seorang anak. Diam-diam saya merasa bersalah. Saya orang baru di komplek itu, dan—meski telah cukup lama tinggal di sana—saya belum pernah meluangkan waktu untuk beramah-tamah dengan tetangga, meski rumah kami bersebelahan.
Di akhir percakapan, dia berkata, “Mas, saya tahu situ tinggal sendirian di sini. Sewaktu-waktu, kalau perlu apa-apa, jangan segan mengetuk pintu rumah saya.”
Itu kalimat terbaik yang bisa diucapkan seseorang kepada tetangganya. Dan saya tak punya jawaban apa pun selain mengucapkan terima kasih. Saat dia akan pamit pulang, dia mengingatkan pintu besi di ujung garasi yang sekarang agak rusak karena tadi ia bongkar. Saya bilang, “Tidak apa-apa, Mas, biar saja tetap seperti itu.”
Sejak itu, pintu di ujung garasi itu tetap rusak, tak pernah saya betulkan. Jika sebelumnya posisi pintu menutup rapat, sekarang pintu besi itu tersandar di dinding, hingga garasi dan taman tidak punya pembatas lagi. Tetapi sejak itu, entah mengapa, saya tak pernah khawatir lagi.
Sejak itu pula, hubungan saya dengan tetangga sebelah rumah semakin akrab, gara-gara insiden di atas. Jika sebelumnya kami hanya saling sapa sekadarnya kalau ketemu, sekarang kami juga kadang ngobrol bareng di depan rumah. Melalui dia pula saya kemudian akrab dengan tetangga-tetangga yang lain, dan... selama saya tinggal di sana, saya bisa menyimpulkan satu hal; saya memiliki tetangga-tetangga yang baik.
Tiga tahun saya tinggal di rumah kontrakan itu, sampai kemudian saya bisa punya rumah sendiri yang lokasinya cukup jauh dari sana. Saat saya pindah dari sana untuk mulai menempati rumah yang baru, para tetangga melepas kepergian saya dengan sedih, seolah saya memang asli warga tempat itu.
Ketika akhirnya saya mulai tinggal di rumah yang baru, saya kembali menjadi orang asing. Tetapi, kali ini, saya punya modal penting dalam hidup bertetangga. Seperti yang dinyatakan secara tersirat oleh orang bijak di awal catatan ini, “Kalau kau menganggap tetanggamu yang dulu adalah tetangga yang baik, maka tetanggamu yang baru pun tetangga yang baik.”
Kini, saya telah tinggal di rumah ini bertahun-tahun, dan saya pun bisa menyimpulkan satu hal. Saya memiliki tetangga-tetangga yang baik.