“What doesn’t kill you, makes you stranger.” —Joker.
Hanya dengan mengubah “o” menjadi “a”,
Nolan membuktikan dirinya memang genius.
—@noffret
Hanya dengan mengubah “o” menjadi “a”,
Nolan membuktikan dirinya memang genius.
—@noffret
Ini catatan acak yang saya tulis sebagai pendahuluan catatan-catatan mendatang, yang akan membahas cukup banyak aspek menyangkut film trilogi Batman (Batman Begins, The Dark Knight, dan The Dark Knight Rises).
Meski telah menulis dua catatan khusus tentang Batman (Batman Sang Manusia dan Surat Rachel kepada Batman), namun saya masih merasa perlu menulis catatan-catatan lain yang juga berhubungan dengan superhero itu, sekaligus berbagi rahasia mengasyikkan dengan para penggemar Batman.
....
....
Well, cara mudah mengenali seorang genius adalah dengan melihat kemampuannya menyusupkan rahasia-rahasia tertentu ke dalam karyanya, atau dengan memperhatikan kejeliannya terhadap detail. Hampir semua genius memiliki sifat itu, dan dua ciri itu pula yang paling mudah kita kenali.
J.K. Rowling, penulis serial Harry Potter, bisa dijadikan contoh. Ketika menulis kisah kolosal Harry Potter, Rowling menyusupkan banyak rahasia menakjubkan dalam perjalanan cerita Harry Potter, dan rahasia-rahasia itu tertanam di sana tanpa menarik perhatian atau mengganggu pembaca. Para kutubuku bisa cukup mudah menemukan rahasia-rahasia itu, dan biasanya mereka akan senyum-senyum sambil kagum, sementara para pembaca pemula harus berjuang keras jika ingin menemukan rahasia-rahasia yang disusupkan Rowling.
Harry Potter adalah kisah hebat. Lebih dari itu, begitu kita tahu sesuatu yang disembunyikan Rowling dalam rangkaian kisahnya, kita akan menyadari bahwa Harry Potter—khususnya Rowling, sang penulisnya—jauh lebih hebat dari yang kita kira. Tak bisa disangkal lagi, J.K. Rowling seorang genius. Sama geniusnya dengan Shakespeare yang begitu halus ketika menyusupkan banyak rahasia dalam karya-karyanya—jika memang karya-karya itu benar ditulis Shakespeare.
Di Indonesia, Ahmad Dhani juga bisa dijadikan contoh untuk kasus serupa. Kasusnya sudah terkuak, dan kita sekarang tahu bagaimana cerdiknya Ahmad Dhani menyusupkan simbol, kode, dan rahasia tertentu dalam karya-karyanya—mulai sampul kaset DEWA dari album pertama sampai terakhir, hingga pada lirik-lirik lagu ciptaannya. Terlepas dari kontroversi dan tuduhan agen Yahudi yang ditimbulkannya, kita harus mengakui Ahmad Dhani seorang genius—dengan catatan semua karya itu murni kreasi Dhani.
Di dunia film, Christopher Nolan menjadi orang paling menonjol dalam ciri yang disebutkan di atas. Dia sangat cerdas dalam menyusupkan pesan yang ingin disampaikannya dalam film, serta sangat perhatian terhadap detail-detail film yang dibuatnya. Dari beberapa film karyanya, trilogi Batman adalah film yang paling mudah dipahami—setidaknya kita tidak perlu mikir berat seperti ketika menyaksikan The Prestige atau Inception.
Meski para kritikus film menunjukkan beberapa kekeliruan adegan yang terjadi dalam trilogi Batman, namun mau tak mau kita harus mengakui kegeniusan Nolan dalam menggarap film superhero itu. Di tangan Nolan, Batman tampak manusiawi, tidak terkesan komikal seperti film-film Batman sebelumnya. Bahkan, melalui tangan Nolan pula, trilogi Batman menjadi film superhero yang tidak hanya menghasilkan pendapatan terbesar, tetapi juga menjadi film terbaik sepanjang masa.
Coba kita lihat bagaimana ketelitian Christopher Nolan ketika memperhatikan detail-detail dalam filmnya, khususnya ketika menggarap film Batman.
Dalam kebanyakan film, hubungan antara orangtua dan anak biasanya hanya didasarkan pada usia—ayah atau ibu lebih tua dari anaknya. Biasanya mereka juga dicari yang berwajah mirip. Sepanjang dua syarat itu terpenuhi, penonton umumnya tidak akan mempersoalkan, dan menerima saja bahwa mereka memang orangtua dan anak. Tapi Nolan tidak puas hanya sebatas itu. Dia juga menuntut agar Bruce Wayne dan orangtuanya—khususnya ayahnya—memiliki ciri dan perilaku yang mirip!
Dalam Batman Begins, kita menyaksikan seperti apa rupa ayah Bruce Wayne. Jika kita jeli, kita akan menyaksikan betapa mereka bahkan memiliki kemiripan dalam gaya bicara, hingga ciri tertentu. Thomas Wayne, ayah Bruce, memiliki gaya bicara yang terkesan angkuh, namun elegan. Selain itu, dia juga punya ciri melengkungkan bibir secara khas. Kelak, ketika Bruce tumbuh dewasa, dia mewarisi ciri unik itu, seolah dia benar-benar anaknya di dunia nyata!
Cobalah tonton kembali Batman Begins, dan perhatikan sungguh-sungguh. Kalau perlu jangan berkedip. Dalam adegan Bruce bersama orangtuanya di kereta api untuk pergi menonton teater, Bruce kecil bercakap-cakap dengan ayahnya. Perhatikan bagaimana cara Thomas Wayne berbicara, dan perhatikan pula bagaimana dia melengkungkan bibirnya dengan cara yang sangat khas. Sekali lagi, kalau perlu jangan berkedip.
Kemudian, perhatikan bagaimana cara bicara Bruce Wayne setelah dia tumbuh dewasa. Perhatikan bagaimana gayanya ketika bercakap-cakap dengan orang lain, dan perhatikan pula bagaimana ia melengkungkan bibirnya dengan khas, yang benar-benar mirip ayahnya. Ketika menyaksikan hal itu, mau tak mau kita seperti dipaksa untuk percaya bahwa Bruce Wayne (Christian Bale) adalah asli anak Thomas Wayne (Linus Roache)!
Itulah detail. Oh, well, itulah kekuatan detail.
Christopher Nolan seorang genius. Dia sangat memperhatikan detail—sesuatu yang biasanya dilewatkan atau tak diperhatikan sineas lain.
Selain perhatiannya yang sangat besar terhadap detail, Nolan juga sangat tahu cara menyusupkan pesan-pesan tertentu ke dalam filmnya. Trilogi Batman bukan hanya film tentang superhero kekanak-kanakan yang membasmi kejahatan—ia lebih dari itu. (Kenyataannya, hampir semua film superhero ala Hollywood menyimpan dan menyusupkan pesan-pesan rahasia—dari Superman, Spiderman, X-Men, Green Lantern, hingga Batman).
Dalam trilogi Batman, perhatikanlah ucapan-ucapan para tokohnya, perhatikan jalinan ceritanya, kemudian temukan filosofinya. Setelah itu, mau tak mau kita akan geleng-geleng kepala. Saya tidak akan menjelaskannya di sini, karena pesan serta filosofi itu bisa sangat panjang jika dituliskan semua dalam satu posting. Karenanya, kelak akan saya tuliskan satu demi satu dalam catatan-catatan lain—kalau sedang ada waktu, dan kalau saya sedang mood.
Sebagai penutup catatan ini, sekarang kita beralih kepada Superman, dan lihat pesan yang terkandung dalam sosok tersebut—sebuah pesan yang mungkin terlewat dari perhatian kita. Berkaitan dengan konteks catatan ini, “pesan” semacam itulah yang dari tadi saya sebut-sebut dan saya maksudkan.
Dalam Superman Returns, awal film itu memperlihatkan Superman “jatuh dari langit” (tolong perhatikan tanda kutipnya). Di tengah film, ada adegan Superman mengambang di udara, kemudian terdengar suara ayahnya, “Walau kau dibesarkan sebagai manusia, kau bukan manusia. Mereka bisa menjadi bangsa besar—mereka ingin begitu. Mereka hanya tak punya teladan. Itulah sebab utama—karena mereka mampu menjadi baik—aku mengirimmu kepada mereka, anak tunggalku.”
Kalimat yang merupakan deskripsi itu sangat gamblang menjelaskan siapa sebenarnya Superman.
Kemudian, di akhir film, Superman berkata kepada Jason, anak biologisnya, dengan mengutip kata-kata ayahnya, “Kau akan berbeda, terkadang kau akan seperti buangan, tapi kau tidak akan kesepian. Kau akan memiliki kekuatanmu sendiri. Kau akan melihat kehidupanku melalui matamu, seperti halnya kehidupanmu akan terlihat melalui mataku. Anak akan menjadi ayah, dan ayah akan menjadi anak.”
Nah, sudah melihat siapakah sesungguhnya Superman?