Minggu, 08 Desember 2013

Pelangi di Atas Kepala

Apa yang lebih membahagiakan dari kebahagiaan?
Ialah kemampuan menikmati kebahagiaan.
@noffret


Berkas-berkas itu datang tiga minggu yang lalu, dengan segel dan kop resmi seperti biasa, dengan kurir yang membisikkan batas deadline. Dan sejak itulah, saya terus mengurung diri dalam rumah, membaca dan mempelajari berkas-berkas itu, serta mencari jawaban yang harus saya temukan. Itu pekerjaan yang luar biasa berat—tanpa keringat terlihat, tapi sangat menguras energi. Dan waktu. Dan rasa frustrasi.

Selama tiga minggu berikutnya, saya nyaris tak keluar rumah, hanya berkutat dengan tumpukan buku, dan sebundel berkas yang mungkin telah saya baca sejuta kali. Bersama hari-hari yang berjalan, pekerjaan itu perlahan-lahan selesai, dan saya mulai ingat untuk bernapas. Untuk makan. Untuk tidur. Untuk membedakan kapan siang dan kapan malam.

Energi terbesar yang dihabiskan tubuh manusia ada pada otak. Sebagian besar asupan yang kita makan dihabiskan oleh otak. Semakin keras otak kita bekerja dan berpikir, semakin mudah tubuh kita untuk kurus. Dan memeras otak selama tiga minggu tanpa henti benar-benar terapi diet yang layak dicoba siapa pun yang ingin menguruskan badan. Di suatu pagi yang dingin, saya terbangun dari tidur dengan tubuh kurus kering.

Dan letih.

Dan kelaparan.

Meski lega, karena pekerjaan telah selesai. Saya bisa sedikit santai.

Jadi, pagi itu pun saya duduk-duduk di teras rumah, sambil membawa segelas minuman dan sebungkus rokok. Rasanya sudah berabad-abad tidak melihat lingkungan sekitar.

Pagi yang sejuk. Seharusnya matahari sudah bersinar, tapi langit mendung. Saya duduk santai sambil mengisap rokok. Dan menghirup teh hangat di gelas. Merasakan tubuh yang letih, pikiran yang letih.

Seorang tetangga melangkah untuk pergi bekerja seperti biasa—seperti hari-hari sebelumnya. Saya sering iri setiap kali melihatnya. Hidupnya benar-benar teratur. Pagi hari, dia berangkat kerja ke tempat yang tak terlalu jauh dari komplek kami. Siang hari ia pulang sejenak saat jam istirahat, menikmati makan siang yang telah disiapkan istrinya, lalu kembali ke tempat kerjanya untuk kemudian pulang ketika sore.

Sore menjelang maghrib, kadang-kadang saya melihatnya sedang asyik bermain dengan anaknya yang masih kecil. Lalu pergi ke mushala ketika adzan maghrib tiba. Juga saat isya’. Setelah itu mungkin dia dan keluarganya menikmati malam dengan menonton televisi, atau apa pun, tanpa pikiran yang ruwet. Hidup begitu mudah dijalani, tidak seperti saya yang menjalani hidup dengan tidak jelas, dengan tuntutan pekerjaan penuh stres.

Dia sampai di depan rumah saya, dan menyapa ramah, “Santai, Mas?”

“Iya, Pak,” sahut saya sambil membalas senyumnya. “Berangkat kerja?”

Dia mengangguk. Kemudian, dengan nada kelakar, dia berujar, “Memang paling enak tuh kayak situ, Mas. Banyak santai di rumah, kerja ringan, nggak capek-capek kayak saya.”

Saya tersenyum, sementara dia meneruskan langkah.

Saya mengisap rokok yang makin memendek. Dan menyadari, bahwa pelangi memang selalu tampak di atas kepala orang lain.

 
;