Kamis, 01 Juni 2017

Ahmad Dhani Mungkin Salah Gaul

Wahai jiwa-jiwa yang tenang, hati-hatilah dirimu
Pada hati-hati yang penuh dengan kebencian yang dalam
Karena sesungguhnya iblis ada dan bersemayam
Di hati yang penuh dengan benci
Di hati yang penuh dengan prasangka

Laskar Cinta, sebarkanlah benih-benih cinta
Musnahkanlah virus-virus benci
Virus yang bisa rusakkan jiwa dan busukkan hati

Laskar Cinta, ajarkanlah ilmu tentang cinta
Karena cinta adalah hakikat
Dan jalan yang terang bagi semua umat manusia

Jika kebencian meracunimu kepada manusia lainnya
Maka sesungguhnya iblis sudah berkuasa atas dirimu
Maka jangan pernah berharap aku akan mengasihi,
menyayangi manusia-manusia yang penuh benci seperti kamu

—Laskar Cinta, Chapter 1



Jika ada orang yang percaya bahwa Ahmad Dhani seorang genius, saya termasuk di antaranya. Karya-karya Ahmad Dhani di bidang musik sudah menjadi bukti kalau dia memang genius. Selain menghasilkan band DEWA yang fenomenal, Dhani juga menghasilkan penyanyi-penyanyi yang juga terkenal. Dia bisa menjadi pencipta lagu, penata musik, vokalis—bersama band maupun solo—hingga menjadi produser musik, dan lain-lain.

Dulu, ketika Arie Lasso keluar (atau dikeluarkan) dari DEWA, banyak pihak memprediksi DEWA akan hancur. Bagaimana pun, Arie Lasso sudah identik dengan DEWA, khususnya sebagai vokalis. Mengeluarkan Arie Lasso dari DEWA sama artinya mengundang masalah bagi grup itu. Sudah terlalu banyak band yang hancur atau bubar setelah vokalisnya pergi. Terkait DEWA, rasanya sulit membayangkan lagu-lagu DEWA—yang identik dengan vokal Arie Lasso—dinyanyikan orang lain.

Tapi Dhani mampu mengatasi masalah itu, dengan memasukkan Once sebagai vokalis baru. Karakter vokal Once jelas berbeda dengan karakter vokal Arie Lasso. Tapi Dhani menjawab prediksi kehancuran DEWA dengan cara sederhana, yang tak terbayang orang-orang lainnya. Setelah Once masuk ke DEWA, Dhani menciptakan lagu-lagu yang sesuai (atau disesuaikan) karakter vokal Once. Hasilnya, DEWA bukan hancur sebagaimana diperkirakan banyak orang. Sebaliknya, grup band itu justru tumbuh membesar.

Itu bukti yang paling mudah dikenali, terkait kegeniusan Ahmad Dhani. Meski mungkin tampak sepele, tidak setiap orang mampu melakukan hal itu. Jika tidak percaya, cobalah sebutkan band mana di Indonesia—selain DEWA—yang mampu tetap eksis, bahkan tumbuh makin besar, setelah ditinggal vokalisnya.

Jadi, saya percaya Ahmad Dhani seorang genius. Lebih tepat, musisi atau seniman yang genius.

Bayangkan, selama bertahun-tahun, dia “menyembunyikan” kode-kode rahasia yang sangat penting, tepat di depan mata kita, melalui ilustrasi sampul kaset dan CD DEWA. Di setiap album, Dhani meletakkan sekeping demi sekeping rahasia yang sebenarnya sangat mencolok mata—karena tepat di depan kita—tetapi, ajaibnya, rahasia itu tak terlihat atau tak bisa dilihat setiap orang.

Ada ribuan—atau bahkan jutaan—orang yang memiliki kaset dan CD DEWA, dan orang-orang itu memegangi sampul kaset atau sampul CD, sembari membaca lirik lagu yang ada di sana. Tepat di sampul yang sama, Dhani meletakkan kode-kode rahasia yang menakjubkan, lengkap dengan petunjuk cara membaca dan memahaminya, tapi tidak setiap orang bisa melihat apalagi paham.

Dan itu berlangsung sampai bertahun-tahun. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang sadar. Tidak ada yang memahami bahwa sampul-sampul kaset dan CD itu sebenarnya berisi pesan-pesan rahasia, lengkap dengan petunjuk dan cara membacanya.

Jelas, itu pekerjaan seorang genius. Orang tolol tidak akan mampu melakukan hal semacam itu. Dan Ahmad Dhani pasti paham betul pesan George Washington, bahwa “tempat terbaik untuk menyimpan rahasia, adalah tepat di depan mata banyak orang”. Semakin banyak mata melihat, rahasia yang tersimpan di sana justru makin tak terlihat.

Dalam hal itu—sebagai musisi dan sebagai seniman—saya mengagumi Ahmad Dhani. Sayang, Ahmad Dhani mungkin tidak menyadari kelebihannya sendiri. Dia keluar dari tempatnya bertahta, dan memasuki wilayah lain, yang membuatnya “gegar otak”. Dia masuk politik, dan menjadi politisi. Di wilayah itu, kita melihat Ahmad Dhani sebagai sosok yang jauh berbeda. Tidak terlihat lagi kegeniusan yang semula dimilikinya, bahkan—kalau boleh terus terang—Ahmad Dhani jadi tampak seperti orang biasa. Lebih tepat, orang biasa yang naif.

Sejujurnya, saya tidak tahu apa motivasi Dhani memasuki dunia politik. Dan makin hari, saya makin tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan Ahmad Dhani, hingga sosok yang dulu sangat mengagumkan bisa berubah jadi menggelikan.

Dulu, ketika Gus Dur masih hidup, dan dia kerap runtang-runtung dengan Gus Dur, Ahmad Dhani terpengaruh aura positif Gus Dur. Tentang kemampuan memahami perbedaan, kesadaran dalam menatap kehidupan yang plural, kasih sayang pada sesama, toleransi dan empati kepada kaum minoritas, dan hal itu bahkan tercermin dalam lagu-lagu yang dinyanyikan DEWA, yang dihafalkan jutaan orang Indonesia.

Syair yang saya tulis di awal catatan ini, sebagaimana kalian tahu, adalah lirik lagu DEWA. Betapa indah lirik lagu itu, dan betapa indah saat dinyanyikan. Saya bahkan tidak pernah bosan mendengarkan lagu itu.

Saya tahu, dalam lagu itu Ahmad Dhani menggabungkan kalimat Al-Ghazali dengan kalimatnya sendiri. Dan itu, lagi-lagi, butuh kegeniusan, karena tidak setiap pencipta lagu memiliki kemampuan seperti itu. Tetapi kemudian bocah genius ini masuk dunia politik, dan berubah menjadi bocah tolol!

Bukti ketololannya yang sangat tampak adalah kedekatannya dengan pihak-pihak yang identik dengan kekerasan dan antiperbedaan—sesuatu yang dulu ia jauhi, bahkan ia musuhi. Ahmad Dhani, yang dulu menyanyikan “hati-hatilah dirimu pada hati-hati yang penuh dengan kebencian”, sekarang justru bergaul dan dekat dengan orang-orang yang penuh kebencian, yang menindas minoritas, yang antiperbedaan, yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak.

Dan Ahmad Dhani juga dulu menyanyikan, “jika kebencian meracunimu kepada manusia lainnya, sesungguhnya iblis sudah berkuasa atas dirimu”. Sayangnya, Ahmad Dhani mungkin lupa pada lagu yang dinyanyikannya sendiri, hingga kemudian membangun kebenciannya sendiri. Pada pihak lain yang berbeda. Pada golongan lain yang minoritas.

Oh, well, Ahmad Dhani mungkin salah gaul.

Dulu, waktu bergaul dengan Gus Dur, Ahmad Dhani terpengaruh menjadi sosok yang cinta damai, memahami dan menerima perbedaan, menyadari keragaman, mengayomi yang minoritas, menjunjung tinggi toleransi, dan menebarkan benih-benih cinta.

Tetapi, kini, saat bergaul dengan si itu—kalian paham siapa yang saya maksud—Ahmad Dhani berubah. Tidak lagi cinta damai, tapi mengobarkan permusuhan. Tidak lagi memahami perbedaan, tapi menebarkan prasangka-prasangka. Tidak lagi menyadari keragaman, tapi menginginkan keseragaman. Tidak lagi mengayomi yang minoritas, tapi berubah sok kuasa karena merasa bagian mayoritas. Tidak lagi menebarkan benih-benih cinta, tapi kini justru menebarkan benih-benih kebencian.

Terus terang, sebagai pengagumnya, saya sangat menyayangkan hal itu. Saya merasa kehilangan Ahmad Dhani yang dulu, yang saya kagumi, yang saya cintai. Dan sama seperti banyak pengagum Ahmad Dhani yang lain, saya pun berharap Ahmad Dhani segera menyadari kenyataan itu, dan kembali ke habitatnya yang asli—sebagai seniman dan sebagai musisi. Yang menulis syair-syair cinta, yang menyanyi dengan hati.


Wahai jiwa-jiwa yang tenang, jangan sekali-kali kamu
Mencoba jadi Tuhan dengan mengadili dan menghakimi
Bahwasanya kamu memang tak punya daya dan upaya
Serta kekuatan untuk menentukan kebenaran yang sejati

Bukankah kita memang tercipta laki-laki dan wanita
Dan menjadi suku-suku, bangsa-bangsa, yang pasti berbeda
Bukankah kita memang harus saling mengenal dan menghormati
Bukan untuk saling tercerai-berai dan perang angkat senjata

—Laskar Cinta, Chapter 2


 
;