Kamis, 20 Januari 2022

Konspirasi dan Hoax Terbesar Abad 21

Kalau pemerintah menyatakan sesuatu, tugas kita hanya satu; 
mempertanyakan apakah itu benar?
John Walcott


John Walcott adalah editor Knight Ridder, salah satu jaringan media terbesar di AS, sosok yang selalu memastikan semua tulisan yang terbit di medianya memang benar, tanpa secuil pun keraguan. Investigasi adalah ayat suci baginya, yang tak bisa diganggu gugat.

Ketika AS, di bawah George W. Bush, hendak menginvasi Irak—sebagai buntut balas dendam kasus 9/11—semua media di AS mengikuti apa pun yang dikatakan pemerintah. Bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, itulah yang mereka tulis, tanpa investigasi dan verifikasi.

Bahkan media-media besar AS, semacam The New York Times, pun “membeo” pada pernyataan pemerintah. Pada waktu itu, bisa dibilang, media-media Amerika—yang dilansir media-media mainstream internasional—mendukung/membenarkan ocehan pemerintah AS. Kecuali Knight Ridder.

Jadi, sementara media-media di AS dan dunia bertempik sorak—oh, well, aku suka istilah ini—atas penyerangan AS ke Irak, Knight Ridder seperti berdiri sendirian. Mereka menjadi satu-satunya pihak yang menentang penyerangan itu, karena meragukan motifnya (senjata pemusnah massal).

Ironisnya, waktu itu, berita-berita yang ditulis Knight Ridder—yang dihasilkan kerja keras investigasi—justru dipandang sebelah mata, bahkan dituduh sebagai berita bohong (hoax), sementara media yang tinggal mentranskrip ocehan pemerintah justru dianggap benar dan terpercaya.

Jalan yang ditempuh Knight Ridder, sebagai media, benar-benar sulit. Karena mereka bekerja dalam arti sesungguhnya, dengan investigasi yang melelahkan, mengorek-ngorek setiap fakta yang bisa dikumpulkan, dan hasilnya menjadi media paling kritis terkait penyerangan AS ke Irak.

Tetapi, seperti yang disebut tadi, kerja keras mereka justru menghasilkan cibiran masyarakat luas, karena dianggap minoritas, dan tidak sesuai “kebenaran” versi mayoritas. Bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal, itulah kebenaran yang dipercaya mayoritas dunia.

Sementara pasukan AS menghancurleburkan Irak, Knight Ridder menghadapi serangan di negaranya sendiri. Media-media lain menyindir, masyarakat menuduhnya menyebarkan berita bohong, reporter mereka diteror, sementara pemerintah AS menganggap Knight Ridder tak pernah ada.

Lalu antiklimaks terjadi. Setelah Irak hancur lebur, dan Saddam Hussein tewas digantung, akhirnya terbukti bahwa Irak tidak memiliki dan tidak menyimpan senjata pemusnah massal. Yang dikatakan Knight Ridder sejak awal ternyata benar, sementara semua media lain ternyata bohong!

Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan bubur sudah terlalu basi untuk dimakan. Lima ribu tentara AS tewas, untuk sesuatu yang tidak jelas. Atas hal itu, The New York Times sampai meminta maaf untuk “kesalahan yang kami buat.” Sementara George W. Bush ngoceh dan berdalih tidak jelas.

Kasus itu tidak hanya membenturkan jurnalisme pada batu yang amat keras, tapi juga menyadarkan para pekerja media bahwa fakta di lapangan jauh lebih bisa dipercaya daripada ocehan pemerintah. Tergantung kita mau mengambil kebenaran yang minor, atau sekadar membeo dan cari aman.

Andai sejak awal media-media di AS, khususnya, bekerja seperti Knight Ridder, mungkin sejarah akan berbeda. Pressure yang keras dari banyak media, bagaimana pun, bisa membuat pemerintah AS pikir-pikir untuk menyerang Irak, dan lima ribu tentara mereka tidak akan tewas sia-sia.

Tapi semua telah terjadi, kita tahu. Irak sudah hancur, Saddam sudah terkubur, meski tuduhan awal penyerangan tak pernah terbukti. Ribuan orang tewas, jutaan lainnya menderita, lalu organisasi teroris bermunculan, dan peperangan merembet ke mana-mana. Betapa besar dosa media....

Footnote:

Kalau cukup kritis, ocehan cukup panjang ini sebenarnya menunjukkan sesuatu yang sangat aneh. Terutama, bagaimana bisa The New York Times “dikibuli” pemerintah dengan mudah? Bocah-bocah yang bekerja di koran itu bukan bocah kemarin sore, tapi kok bisa dikibuli?

Menurutku, mereka sebenarnya sadar bahwa ocehan pemerintah—terkait senjata pemusnah massal di Irak—cuma ngibul. Tapi mereka sengaja menerima kibulan itu mentah-mentah, bahkan mengamplifikasinya dengan gegap gempita, hingga dunia mendengar, dan... oh, well, bertempik sorak!

Fakta penting lain yang terlewat dari perhatian banyak orang terkait penyerangan AS ke Irak adalah sosok Donald Rumsfeld, yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan AS. Dialah yang paling keras memaksakan penyerangan AS ke Irak, dengan dalih “senjata pemusnah massal”.

Kenapa Donald Rumsfeld punya kepentingan terkait penyerangan AS ke Irak? Jawabannya bisa kita lihat melalui film Angel Has Fallen (kalau kau cukup pintar, kau akan paham maksudku). Kenyataan itu pula yang menjadikan dunia tak pernah damai, karena “selalu ada kepentingan”.

Jika kita tarik ke belakang, ada “tempik sorak” lain yang juga sengaja diciptakan untuk menghancurleburkan Irak. Ingat Perang Teluk zaman kita masih balita? Waktu itu, Irak dibombardir rudal-rudal pasukan AS dan sekutunya, hingga menjadi negara yang hancur dan mengerikan.

Perang Teluk berkaitan dengan penyerangan Irak ke Kuwait. Dalam sejarah yang sekarang dibaca anak-anak sedunia, Amerika dan sekutunya menyerang Irak dalam Perang Teluk, karena Irak menginvasi Kuwait yang lemah. Kedengarannya seperti superhero atau pahlawan dunia, eh?

Tapi Amerika menyerang Irak sebenarnya bukan untuk membela Kuwait, dan kenyataan busuk itu baru terbongkar setelah investigasi mengungkap konspirasi yang licik di baliknya. Asal usulnya bisa ditelusuri pada kesaksian seorang anak perempuan bernama Nayirah al-Sabah.

Nayirah al-Sabah adalah anak perempuan yang dihadapkan pada Congressional Human Rights Caucus, dan disebut sebagai “saksi kebiadaban pasukan Irak di Kuwait”. Peristiwa kesaksian itu tidak lama setelah Irak menginvasi Kuwait, yang sebenarnya “hanya perang biasa”.

Di hadapan Kongres, Nayirah berbicara sambil bercucuran air mata, dan mengatakan pada semua orang bahwa dia menyaksikan tentara Irak memindahkan ratusan bayi Kuwait dari inkubator, dan membiarkan mereka mati di lantai-lantai rumah sakit. Kedengarannya sangat tragis dan kejam.

Kesaksian itu seketika membuat dunia marah, dan tidak ada satu orang pun yang tak percaya atau meragukan kesaksian Nayirah—karena Nayirah masih anak-anak, dan anak-anak tidak mungkin berbohong! Kesaksian itu pula yang “melegitimasi” Amerika menyerang Irak.

Dengan adanya kesaksian “peristiwa biadab” yang dilakukan tentara Irak—sebagaimana yang dituturkan Nayirah di hadapan Kongres—dunia seperti memberi restu pada Amerika untuk mengamuk di Irak. Lalu Bush Senior mengirim pasukan AS ke Irak, dan pecahlah Perang Teluk.

Belakangan terungkap, Nayirah adalah putri Duta Besar Kuwait di AS saat itu. Beberapa bulan sebelum memberikan kesaksian menghebohkan tadi, Nayirah telah “dikursuskan” secara privat untuk bermain peran secara meyakinkan—plus dengan air mata bercucuran—hingga dunia marah.

Terbongkarnya kenyataan itu menjadi skandal yang memalukan bagi banyak pihak, tapi tujuan konspirasi sudah tercapai... Irak hancur lebur. Karenanya, kalau kau tidak percaya konspirasi, lihat dan pelajari kasus-kasus ini. Dan perang Irak hanya secuil dari banyak konspirasi lain.

Karenanya pula, kadang aku geli campur miris kalau menyaksikan orang-orang yang “terlalu realistis” dan menganggap semua peristiwa secara “apa adanya” sambil mencibir kemungkinan konspirasi. In fact, konspirasi itu benar-benar ada, meski mungkin tidak seperti yang kita kira.

Ada banyak peristiwa di dunia yang terjadi sebagai hasil skenario konspirasi. Tetapi, karena pikiran kita sudah mengalami distorsi terhadap definisi “konspirasi”, kita pun mengabaikan kemungkinan itu, dan berusaha seperti “orang normal” umumnya yang tidak percaya konspirasi.

Kalau kita tidak percaya konspirasi, kita perlu tahu bahwa salah satu tujuan penciptaan konspirasi adalah “agar kita tidak percaya konspirasi”. Jadi, kalau kau tidak percaya konspirasi, artinya kau sudah menjadi korban konspirasi, karena itulah salah satu tujuan konspirasi.

End note:

Aku ingin bertempik sorak. Appppeeeeuuhhh... 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19-20 Desember 2019.

Bagaimana Cara Menguasai Dunia

TL sudah sepi, dan kayaknya aku bisa ngoceh panjang lebar tanpa khawatir mengganggu orang lain.

"Bagaimana cara menguasai dunia?"

"Kuasai para pemimpin negara."

"Bagaimana kalau mereka menentang?"

"Habisi saja."

Dialog itu mungkin terdengar seperti dalam film. Tetapi, pernahkah kita berpikir kenapa para capres dari banyak negara "meminta restu" pada Amerika?

Melanjutkan ocehan kemarin malam, sekarang aku mau ngoceh tentang beberapa peristiwa besar dunia yang sebenarnya hasil konspirasi. 



*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Desember 2019.

Peristiwa Per Peristiwa

Well, saat mempelajari sesuatu, aku biasa membaca banyak materi terkait, sebanyak yang bisa kutemukan. Setelah puas, aku membiarkan otakku menganalisis semua data tadi, dan dengan cara itulah aku bisa melihat sesuatu secara global, dan mendapat perspektif atau bahkan kesimpulan.

Terkait ocehan tadi, aku jadi teringat pada peristiwa dunia yang menjadi kasus hoax terbesar abad 21, yang sebenarnya sangat gamblang, tapi tidak dipahami jutaan orang, karena peristiwa per peristiwa tampak tidak saling terkait. Ngemeng soal ini akan menyerempet soal konspirasi.

Ada kasus besar dunia yang sebenarnya hoax, karena merupakan hasil konspirasi. Tapi karena cokelat hangat di cangkirku sudah habis, dan aku sudah banyak ngoceh, aku teruskan besok saja. Intinya, kalau kau tidak percaya konspirasi, akan kubuktikan bahwa konspirasi benar-benar ada!



*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Desember 2019.

Greta Thunberg di Sampul TIME

Sekadar intermeso. Saat ini, TIME menobatkan Greta Thunberg sebagai Person of the Year. Tanpa mengurangi respek pada Thunberg, pernahkah kalian berpikir kenapa TIME memilih dia, dan bukan orang lain (misal ilmuwan iklim yang berdedikasi)? Apakah kalian tidak menganggap itu aneh?

Kalau Cosmo Girl atau majalah semacamnya yang menempatkan Greta Thunberg di sampul dan menyebutnya Person of the Year, bisa dibilang wajar. Tapi kalau TIME yang melakukan, dengan setumpuk argumentasi seperti apa pun, hasilnya tetap janggal. Nyatanya, TIME "memang begitu".

Oh, ya, kalau-kalau belum tahu, TIME dulu juga pernah menempatkan Adolf Hitler—iya, Adolf Hitler yang itu—di sampul mereka, dan menobatkannya sebagai Man of the Year. Kadang aku berpikir, Man/Person of the Year ala TIME dibuat berdasarkan hasil kocokan ala arisan.

Tentu saja TIME tidak menggunakan sistem kocokan ala arisan untuk menempatkan sosok seseorang di sampul mereka... tapi berdasarkan kepentingan! Dan sekarang kita mulai paham, kenapa lima tahun lalu wajah presiden kita muncul di sampul TIME, dengan judul besar; A New Hope.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Desember 2019.

Sayang Sekali

Sebagian orang, dengan naif, kerap enteng mengatakan, "Hal-hal seperti itu hanya terjadi dalam film," atau, "Tidak ada konspirasi di dunia ini!"

Sayang sekali, andai mereka tahu, ada banyak hal di dunia kita yang bahkan lebih gila dan mencengangkan dari kisah-kisah dalam film.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2020.

Senin, 10 Januari 2022

Bumi yang Terluka

Sesekali, kita mengalami demam dan merasakan tubuh yang sangat tidak enak. Demam adalah upaya tubuh untuk menghalau virus yang masuk, sekaligus memperbaiki diri agar kembali sehat. Hal serupa terjadi pada bumi yang kita tinggali. Dan “demam” bumi adalah bencana yang menimpa kita.

Bumi mengalami “demam” akibat kerusakan yang terjadi. Iklim yang kacau, pemanasan global, badai yang menghancurkan, gelombang air pasang, tsunami, tanah longsor, semua adalah upaya bumi “memperbaiki diri sendiri”. Tapi kita terus merusak tanpa henti, dan bumi tidak juga sembuh.

Kita memang telah berupaya mengendalikan polusi dan kerusakan lingkungan—itu bagus. Tapi kerusakan yang kita timbulkan di bumi masih jauh lebih besar daripada upaya perbaikan yang kita lakukan. Akibatnya, kita seperti berupaya mengatasi kanker hanya dengan kerokan. Gak ngaruh.

Jika ingin ilustrasi yang lebih mudah dan sederhana—hingga anak SD pun mestinya bisa paham—bayangkan sebuah bola bundar padat, yang terus berputar (berotasi). Di dalam bola terdapat tanah padat, dan putaran atau rotasi bola akan terpengaruh oleh tanah padat (beban) di dalamnya.

Jika kita mengambil sedikit tanah padat di dalam bola, putaran bola akan semakin cepat, karena beban yang lebih ringan. Semakin banyak tanah di dalamnya yang diambil, putaran bola akan terus semakin cepat, karena beban yang makin ringan. Dan itulah yang terjadi pada [bola] bumi.

Perubahan rotasi bumi, sekecil apa pun, akibat ketidakseimbangan isi kandungan perut bumi yang terkuras, menimbulkan berbagai masalah yang lalu kita sebut bencana. Gempa bumi, banjir, mencairnya gletser, kekeringan, hancurnya ekosistem, kepunahan flora-fauna—sebut lainnya.

Dan kita tidak juga berhenti melakukan perusakan, itulah inti masalahnya! Kita menebangi hutan, mencemari lautan, merusak udara dengan aneka polusi, mengeruk kandungan bumi, dan—di atas segalanya—kawin dan beranak-pinak tanpa mikir, hanya untuk mewariskan perusakan dan kerusakan.

Hutan hujan pernah meliputi 14% permukaan bumi. Sekarang hanya tersisa 6%. Dalam 40 tahun ke depan, diperkirakan sisa 6% itu akan habis. Saat ini, boleh percaya boleh tidak, setiap detik ada 1 hektar hutan hujan lenyap, sebagai akibat pembangunan negara industri dan berkembang.

Saat ini, hampir separo dari semua jenis flora, fauna, dan mikroorganisme, terancam punah akibat menyusutnya hutan hujan. Para ilmuwan memperkirakan, setiap hari kita kehilangan 137 jenis tanaman, hewan, dan serangga—atau 50.000 jenis setiap tahun—karena penebangan hutan hujan.

Pada tahun 2030, populasi penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8,3 miliar. Pada tahun 2030 pula, sekitar 18% dari gugusan karang laut akan lenyap karena perubahan iklim dan lingkungan. Lalu tahun 2040, laut di Kutub Utara akan mengalami musim panas yang pertama tanpa es.

Terkait rusaknya bumi, ada fakta mengerikan yang mungkin tidak pernah kita dengar. Saat ini, luas padang pasir di permukaan bumi terus mengalami peningkatan, karena naiknya suhu bumi. Pada akhir tahun 2007 kemarin saja, Australia kehilangan 25% produksi pangan karena hal ini.

Dan kerusakan-kerusakan itu tidak akan berhenti, selama manusia masih terus bereproduksi. Hasilnya, bumi kian tidak ramah ditinggali, dan manusia tidak hanya terancam berbagai bencana alam tapi juga terancam kelaparan. Sumber daya bumi [akan] semakin tidak imbang dengan populasi.

Bagaimana solusinya? Solusinya tentu menghentikan perusakan alam! Tetapi manusia—yang disebut khalifah fil ardh, pemimpin di muka bumi, oh, well—justru memiliki bakat mengerikan dalam merusak bumi. Karenanya, solusi akhir memang membiarkan Thanos mengumpulkan Infinity Stones.

“Alam semesta terbatas. Sumber dayanya juga terbatas. Jika populasi tak terkendali, kehidupan akan punah. Semua harus diperbaiki!” —Thanos

Nyanyian Bumi » http://bit.ly/15Zqqqp 

Satu-satunya Kepunahan yang Bermanfaat bagi Bumi Hanyalah Kepunahan Manusia » http://bit.ly/133XjvI 


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2019.

Berhala Masyarakat Jahiliyah

Kalau kau lajang, hidup bahagia, dan tidak mengusik siapa pun, masyarakat akan terganggu. Sebegitu terganggu, sampai mereka terus mengusikmu, dan memprovokasimu agar cepat menikah. Agar kau tertarik, masyarakat tak segan berbohong dan berdusta.

Masyarakat akan menjanjikan aneka hal indah tentang betapa hebatnya menikah, tentang kebahagiaan, rezeki lancar, dan angin sorga lainnya. Tujuannya hanya satu; melihatmu cepat kawin dan beranak pinak! Perkara kau kemudian hidup keblangsak, itu bukan urusan mereka.

Masyarakat lebih suka melihatmu hidup menderita, asal kau kawin dan beranak pinak, daripada melihatmu bahagia tapi lajang dan hidup sendirian. Bagaimana hal aneh—atau busuk—semacam itu bisa terjadi? 

Bagiku sederhana saja; hidup bersama orang buta harus sama buta.

Jadi masyarakat belum bisa tenang selama melihatmu masih lajang, meski kau tidak pernah mengusik mereka. Dan mereka akan senang saat melihatmu hidup keblangsak, asal kau menikah dan beranak pinak. Itulah kebejatan masyarakat kita, yang diam-diam tak kita sadari.

Kita, sebenarnya, hidup di zaman jahiliyah baru, di tengah masyarakat bejat yang sama sekali tidak menyadari diri mereka bejat, dan mereka menuntut semua orang harus sama, dan mendiskriminasi orang lain yang dianggap berbeda. Penyembah “berhala” abad modern.

Orang-orang jahiliyah kuno membuat berhala dalam bentuk patung, menamai dengan aneka sebutan, dan menyembahnya. Orang-orang jahiliyah modern membuat berhala dalam bentuk “budaya” dan menamainya dengan aneka sebutan, dan menyembahnya. Esensinya sama.

Apa pun yang disembah—dalam definisi semua orang harus sama—adalah berhala. Bentuknya bisa patung, kebudayaan, sistem keyakinan, atau memaksa semua orang harus menikah. 

Menikah dan beranak pinak adalah soal pilihan. Jika dipaksakan, ia adalah berhala.

Dark Jokes di Twitter

Anak Twitter kalau ngetwit "gak nyambung" (gak ilmiah), terus diprotes banyak orang, jawabannya "dark jokes". Ya nggak gitu juga, mainnya!

Kalau semua-mua bisa menggunakan dalih dark jokes, ya hidup kita ini pun sebenarnya dark jokes, cuma kita belum nyadar aja.


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 28 Mei 2019.

Nyari Follower Sambil Ngajak Orang Keblangsak

Orang yang suka nge-tweet soal indahnya-menikah-bla-bla-bla, biasanya:

1. Nyari/nambah follower. Dia tahu banyak orang senang dikibuli dengan yang indah-indah, apalagi pakai embel-embel "nikah".

2. Dia sudah menikah dan hidupnya keblangsak, dan ingin kamu juga sama keblangsak.


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 19 Mei 2019.

Jawaban Mematikan untuk Pertanyaan Tolol

Kalau-kalau ada yang masih bingung karena harus menghadapi pertanyaan terkutuk berbunyi "kapan kawin?", gunakan atau sodorkan saja catatan ini pada yang tanya. Dijamin dia akan bungkam selamanya.

10 Jawaban Mematikan untuk Pertanyaan “Kapan Kawin?” » https://bit.ly/2OQENq1 


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 5 Juni 2019.

Sabtu, 01 Januari 2022

Resolusi untuk 2022

Setiap tahun baru, aku tidak pernah meniup terompet.
Bukan karena apa-apa, selain karena
MEMANG AKU TIDAK INGIN MELAKUKAN.


Tiap kali pergantian tahun baru, kita tergoda untuk bikin resolusi. Dari yang spesifik sampai yang umum. Sebagian resolusi itu mungkin tercapai, sementara sebagian lain tidak tercapai karena berbagai alasan dan latar belakang. Yang jelas, kita sering tergoda untuk bikin resolusi lagi ketika tahun baru tiba, berharap bisa mencapai resolusi itu, atau, paling tidak, sebagiannya.

Kini tahun 2022 datang, menggantikan 2021 yang telah habis. Saya juga tergoda untuk bikin resolusi, dan kali ini resolusi saya sederhana saja; saya ingin menjalani tahun 2022 dengan lebih baik dibanding tahun 2021. Lebih baik dalam belajar, lebih baik dalam bekerja, lebih baik dalam menggunakan waktu, dan semacamnya.

Resolusi sederhana ini muncul dalam pikiran saya, ketika suatu hari—sekian waktu lalu—seorang teman lama, bernama Arif, menghubungi saya, dan menanyakan apakah saya di rumah. “Aku ingin dolan,” katanya. 

Saya sedang di rumah, waktu itu, dan mempersilakannya datang. Jadi, dia pun lalu datang, dan kami mengobrol di rumah saya.

Arif adalah teman yang berasal dari kampus. Dia sebenarnya adik angkatan saya, tapi kami berteman akrab sejak dulu. Bertahun yang lalu, Arif dan saya sering menghabiskan waktu bersama, sebagaimana teman akrab. Di masa kuliah dulu, dia malah sering menginap di rumah saya.

Ketika kemudian Arif menikah, ditambah punya anak, hubungan kami tidak sedekat dulu. Bagaimana pun, waktu dia sudah habis untuk bekerja, dan mengurusi keluarganya. Ini kisah klasik yang terjadi pada banyak orang, di mana-mana, termasuk pada kehidupan saya dan teman-teman. Sejak itu pula, Arif dan saya mulai jarang ketemu, hingga akhirnya benar-benar lost contact sampai beberapa tahun.

Hingga suatu hari dia mengubungi saya, dan menyatakan ingin dolan. Saya tentu senang, dan dia benar-benar datang. Kami mengobrol santai hingga berjam-jam, sambil menikmati teh hangat dan udud.

Arif kini punya usaha pengolahan daging ayam, dan karena itu pula dia sekarang punya cukup waktu luang—sesuatu yang tadinya tidak ia miliki ketika masih bekerja sebagai pegawai. Waktu luang yang ia miliki kemudian ia manfaatkan untuk “menyambung pertemanan dengan teman-teman lama”. Saya termasuk “teman lama” yang dikunjunginya, dan sejak itu pula kami kembali aktif berkomunikasi lewat ponsel, juga sering bertemu secara langsung.

Melalui Arif, saya jadi tahu kabar teman-teman lama kami; sebagian mereka ada yang jadi anggota dewan, ada yang jadi juragan pakaian, jadi bos ekspedisi, jadi pengusaha properti, jadi pemimpin pondok pesantren, dan lain-lain, dan ada pula beberapa teman kami yang ternyata bercerai dengan pasangan mereka. Saya kaget mendengar kabar terakhir; saya menikah saja belum, mereka sudah bercerai.

Seiring kebersamaan kembali saya dengan Arif, teman-teman dari masa lalu bermunculan satu per satu. Ini seperti menemukan mata rantai. Ketika satu mata rantai tertemukan, puluhan mata rantai lain akan ikut tertemukan, karena satu rangkaian. Arif sedang mengobrol di rumah saya, lalu Si B meneleponnya, dan bertanya ada di mana. Arif menjawab sedang di rumah saya, dan Si B ikut datang. Lain waktu, ketika Si B sedang di rumah saya, Si C meneleponnya dan bertanya lagi ada di mana. Si B menjawab sedang di rumah saya, dan Si C ikut datang. Dan begitu seterusnya, hingga teman-teman dari masa lalu bisa saling terhubung kembali.

Sejak itu, sampai kini, kami kembali menjalin komunikasi. Nomor-nomor ponsel lama yang telah hilang atau terhapus, kini diganti dengan nomor-nomor baru. Kami saling meng-update, saling memperbarui, dan jalinan pertemanan baru tersambung lagi.

Karena rata-rata kami sudah dewasa, obrolan kami pun kini lebih dewasa—jauh berbeda dibanding masa ketika kami masih kuliah dulu. Sebagian kami bahkan sudah menikah dan punya anak. 

Dalam suatu obrolan beberapa orang sampai larut malam, seorang teman mengatakan, “Makin tua, kita makin menyadari...”

Saya buru-buru memotong, “Kita? Kalian aja yang makin tua. Aku tetap bocah!”

Setelah saling cengengesan, dia melanjutkan, “Oke, aku aja, dah. Makin tua, aku makin menyadari kalau hidupku makin realistis. Maksudku, sekarang aku tahu—benar-benar tahu—apa sebenarnya yang kuinginkan dalam hidup. Saat ini, misalnya, aku hanya ingin menjalani hidup dengan baik, bekerja dengan rajin, merawat keluarga sebaik yang aku bisa, dan menyaksikan anak-anakku tumbuh dengan baik. Dan di sela-sela waktu, menjalin hubungan baik dengan teman-teman yang dimiliki. Semua ini harta berharga dalam hidup kita—oke, dalam hidupku.”

Teman-teman yang lain juga setuju bahwa mereka kini “lebih realistis”. Berbeda dengan masa belia ketika pikiran masih mengawang-awang, kini tujuan hidup mereka sangat jelas. Terkait keluarga, anak-anak, diri mereka sendiri, dan, di luar itu, teman-teman baik yang bisa dipercaya. Kini waktu mereka hanya dihabiskan untuk hal-hal itu. Bekerja dengan baik, merawat keluarga dengan baik, dan, jika ada waktu luang, menjalin hubungan baik dengan teman-teman.

Yang mereka katakan—atau mereka harapkan—tentu sesuatu yang “biasa-biasa saja”, tapi saya terinspirasi. Saya memang tidak/belum menikah, apalagi punya anak. Tapi saya sama-sama memiliki kesibukan, pekerjaan, juga waktu, seperti yang mereka miliki. Karenanya, tak jauh beda dengan mereka, saya pun ingin sebaik mereka. Saya ingin belajar lebih baik lagi, bekerja lebih baik lagi, dan menggunakan waktu dengan lebih baik lagi.

“Waktu”, yang sekian tahun lalu seperti sesuatu yang tak berharga—hingga sering kami sia-siakan untuk hal-hal tak berguna—kini jadi terasa sebagai sesuatu yang sangat berharga, dan kami tak ingin lagi menyia-nyiakannya.

Itulah resolusi saya untuk tahun baru ini, dan semoga resolusi yang biasa-biasa saja itu tercapai seperti yang saya harapkan.

Belakangan, pertemuan saya dengan teman-teman di dunia nyata—sebagaimana yang diceritakan tadi—semakin intens, karena ada hal-hal baik yang ingin kami lakukan bersama, di antaranya merintis bisnis, yang sekarang juga sudah mulai jalan. 

Karena kami seringnya mulai selo saat malam—setelah aktivitas harian selesai dikerjakan—kami pun sering bertemu dan berkumpul di malam hari. Latar belakang itulah yang menjadikan saya sekarang jarang ngoceh di Twitter seperti sebelumnya. Karena sekarang sering ada kawan atau tamu yang datang, dan kami bisa ngobrol sampai larut malam. Mungkin, sewaktu-waktu, saya akan ngoceh di Twitter kalau kebetulan selo, dan sedang tidak ada tamu.

Belakangan, saya memang kerap menikmati waktu hingga larut malam bersama teman-teman di dunia nyata. Setelah seharian bekerja, mengurusi berbagai kesibukan, bertemu dan ngobrol dengan teman-teman adalah hiburan yang menyenangkan.

Kegiatan yang biasa-biasa saja, tapi kami senang menikmatinya.

Bocah Sederhana, Resolusi Sederhana

Saya bertanya pada seorang bocah, “Apakah tahun ini kamu punya resolusi?”

“Ya,” dia menjawab, “aku punya resolusi.”

“Apa resolusimu?”

“Aku bocah sederhana, dan resolusiku juga sederhana. Aku hanya ingin menonton film IT II.”

Saya agak bingung. “Film itu kan sudah tayang?”

Dia menjelaskan, “Seperti yang kubilang tadi, aku bocah sederhana. Jadi resolusiku juga sederhana.”

Saya ikut jadi bocah sederhana.

Tahun Baru yang Biasa-biasa Saja

Bagaimana malam tahun barumu? 

Malam tahun baru saya biasa-biasa saja. Cuma di rumah, nonton film, sambil udud. Belakangan iseng nengok Twitter, karena ingat sudah lama tidak lihat Twitter, lalu ngoceh sebentar.

Tadi sempat keluar rumah, dan mendapati jalan raya biasa-biasa saja—tidak macet banget kayak malam tahun baru sekian tahun lalu—dan, entah kenapa, saya senang melihatnya.

Merayakan sesuatu atau tidak merayakan sesuatu memang tergantung selera masing-masing orang. Ada orang yang suka merayakan apa pun, termasuk malam tahun baru, ada pula yang suka biasa-biasa saja, dalam arti tidak ikut merayakannya. Saya termasuk golongan kedua.

Semua perayaan, ritual, romantisasi, bahkan glorifikasi, terhadap apa pun dalam kehidupan ini—termasuk malam tahun baru—menurut saya hanyalah upaya Homo sapiens agar merasa kehidupan mereka tidak biasa-biasa saja, karena mereka sadar bahwa hidup ini sebenarnya biasa-biasa saja.

Ya, well, hidup ini sebenarnya biasa-biasa saja. Menjadi luar biasa, karena kita meromantisasi atau bahkan mengglorifikasinya sedemikian rupa—atau bahkan sekadar menganggap—bahwa hidup ini luar biasa. Padahal ya biasa-biasa saja.

Nyaman dengan Hal-hal Sederhana

Kadang malu sendiri. Sampai sekarang lebih nyaman pakai MS Word lama, daripada yang baru. Pakai MS Word yang baru, nyari tab spasi aja gak ketemu-ketemu. Sepertinya aku memang lebih nyaman dengan hal-hal sederhana. Tidak ribet!

Beda sama penggunaan komputer secara keseluruhan. Kalau biasa makai spek tinggi, turun dikit aja bedanya sangat terasa. Biasa makai Core i7, misalnya, lalu pakai Core2Duo, rasanya seperti penyiksaan. Padahal Core2Duo masih termasuk spek tinggi.

Jadi, komputer ideal bagiku adalah yang speknya tinggi, hingga bisa menyelesaikan banyak hal dengan cepat, tapi tampilannya tetap sederhana. Sepertinya, itu pula filosofi hidupku.

Dan, ya, ocehan mbuh ini disponsori oleh kompie Cor2Duo yang lama tak terpakai, yang kini terpaksa kupakai kembali, karena komputer utama lagi ngadat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Maret 2018.

Selamat Merayakan Tahun Baru

Selamat merayakan tahun baru, bagi yang merayakan. Kalau pun tidak merayakan, tidak apa-apa. Karena tahun baru adalah hal yang biasa saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 Januari 2015.

 
;