Kalau pemerintah menyatakan sesuatu, tugas kita hanya satu;
mempertanyakan apakah itu benar?
—John Walcott
John Walcott adalah editor Knight Ridder, salah satu jaringan media terbesar di AS, sosok yang selalu memastikan semua tulisan yang terbit di medianya memang benar, tanpa secuil pun keraguan. Investigasi adalah ayat suci baginya, yang tak bisa diganggu gugat.
Ketika AS, di bawah George W. Bush, hendak menginvasi Irak—sebagai buntut balas dendam kasus 9/11—semua media di AS mengikuti apa pun yang dikatakan pemerintah. Bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal, itulah yang mereka tulis, tanpa investigasi dan verifikasi.
Bahkan media-media besar AS, semacam The New York Times, pun “membeo” pada pernyataan pemerintah. Pada waktu itu, bisa dibilang, media-media Amerika—yang dilansir media-media mainstream internasional—mendukung/membenarkan ocehan pemerintah AS. Kecuali Knight Ridder.
Jadi, sementara media-media di AS dan dunia bertempik sorak—oh, well, aku suka istilah ini—atas penyerangan AS ke Irak, Knight Ridder seperti berdiri sendirian. Mereka menjadi satu-satunya pihak yang menentang penyerangan itu, karena meragukan motifnya (senjata pemusnah massal).
Ironisnya, waktu itu, berita-berita yang ditulis Knight Ridder—yang dihasilkan kerja keras investigasi—justru dipandang sebelah mata, bahkan dituduh sebagai berita bohong (hoax), sementara media yang tinggal mentranskrip ocehan pemerintah justru dianggap benar dan terpercaya.
Jalan yang ditempuh Knight Ridder, sebagai media, benar-benar sulit. Karena mereka bekerja dalam arti sesungguhnya, dengan investigasi yang melelahkan, mengorek-ngorek setiap fakta yang bisa dikumpulkan, dan hasilnya menjadi media paling kritis terkait penyerangan AS ke Irak.
Tetapi, seperti yang disebut tadi, kerja keras mereka justru menghasilkan cibiran masyarakat luas, karena dianggap minoritas, dan tidak sesuai “kebenaran” versi mayoritas. Bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal, itulah kebenaran yang dipercaya mayoritas dunia.
Sementara pasukan AS menghancurleburkan Irak, Knight Ridder menghadapi serangan di negaranya sendiri. Media-media lain menyindir, masyarakat menuduhnya menyebarkan berita bohong, reporter mereka diteror, sementara pemerintah AS menganggap Knight Ridder tak pernah ada.
Lalu antiklimaks terjadi. Setelah Irak hancur lebur, dan Saddam Hussein tewas digantung, akhirnya terbukti bahwa Irak tidak memiliki dan tidak menyimpan senjata pemusnah massal. Yang dikatakan Knight Ridder sejak awal ternyata benar, sementara semua media lain ternyata bohong!
Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan bubur sudah terlalu basi untuk dimakan. Lima ribu tentara AS tewas, untuk sesuatu yang tidak jelas. Atas hal itu, The New York Times sampai meminta maaf untuk “kesalahan yang kami buat.” Sementara George W. Bush ngoceh dan berdalih tidak jelas.
Kasus itu tidak hanya membenturkan jurnalisme pada batu yang amat keras, tapi juga menyadarkan para pekerja media bahwa fakta di lapangan jauh lebih bisa dipercaya daripada ocehan pemerintah. Tergantung kita mau mengambil kebenaran yang minor, atau sekadar membeo dan cari aman.
Andai sejak awal media-media di AS, khususnya, bekerja seperti Knight Ridder, mungkin sejarah akan berbeda. Pressure yang keras dari banyak media, bagaimana pun, bisa membuat pemerintah AS pikir-pikir untuk menyerang Irak, dan lima ribu tentara mereka tidak akan tewas sia-sia.
Tapi semua telah terjadi, kita tahu. Irak sudah hancur, Saddam sudah terkubur, meski tuduhan awal penyerangan tak pernah terbukti. Ribuan orang tewas, jutaan lainnya menderita, lalu organisasi teroris bermunculan, dan peperangan merembet ke mana-mana. Betapa besar dosa media....
Footnote:
Kalau cukup kritis, ocehan cukup panjang ini sebenarnya menunjukkan sesuatu yang sangat aneh. Terutama, bagaimana bisa The New York Times “dikibuli” pemerintah dengan mudah? Bocah-bocah yang bekerja di koran itu bukan bocah kemarin sore, tapi kok bisa dikibuli?
Menurutku, mereka sebenarnya sadar bahwa ocehan pemerintah—terkait senjata pemusnah massal di Irak—cuma ngibul. Tapi mereka sengaja menerima kibulan itu mentah-mentah, bahkan mengamplifikasinya dengan gegap gempita, hingga dunia mendengar, dan... oh, well, bertempik sorak!
Fakta penting lain yang terlewat dari perhatian banyak orang terkait penyerangan AS ke Irak adalah sosok Donald Rumsfeld, yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan AS. Dialah yang paling keras memaksakan penyerangan AS ke Irak, dengan dalih “senjata pemusnah massal”.
Kenapa Donald Rumsfeld punya kepentingan terkait penyerangan AS ke Irak? Jawabannya bisa kita lihat melalui film Angel Has Fallen (kalau kau cukup pintar, kau akan paham maksudku). Kenyataan itu pula yang menjadikan dunia tak pernah damai, karena “selalu ada kepentingan”.
Jika kita tarik ke belakang, ada “tempik sorak” lain yang juga sengaja diciptakan untuk menghancurleburkan Irak. Ingat Perang Teluk zaman kita masih balita? Waktu itu, Irak dibombardir rudal-rudal pasukan AS dan sekutunya, hingga menjadi negara yang hancur dan mengerikan.
Perang Teluk berkaitan dengan penyerangan Irak ke Kuwait. Dalam sejarah yang sekarang dibaca anak-anak sedunia, Amerika dan sekutunya menyerang Irak dalam Perang Teluk, karena Irak menginvasi Kuwait yang lemah. Kedengarannya seperti superhero atau pahlawan dunia, eh?
Tapi Amerika menyerang Irak sebenarnya bukan untuk membela Kuwait, dan kenyataan busuk itu baru terbongkar setelah investigasi mengungkap konspirasi yang licik di baliknya. Asal usulnya bisa ditelusuri pada kesaksian seorang anak perempuan bernama Nayirah al-Sabah.
Nayirah al-Sabah adalah anak perempuan yang dihadapkan pada Congressional Human Rights Caucus, dan disebut sebagai “saksi kebiadaban pasukan Irak di Kuwait”. Peristiwa kesaksian itu tidak lama setelah Irak menginvasi Kuwait, yang sebenarnya “hanya perang biasa”.
Di hadapan Kongres, Nayirah berbicara sambil bercucuran air mata, dan mengatakan pada semua orang bahwa dia menyaksikan tentara Irak memindahkan ratusan bayi Kuwait dari inkubator, dan membiarkan mereka mati di lantai-lantai rumah sakit. Kedengarannya sangat tragis dan kejam.
Kesaksian itu seketika membuat dunia marah, dan tidak ada satu orang pun yang tak percaya atau meragukan kesaksian Nayirah—karena Nayirah masih anak-anak, dan anak-anak tidak mungkin berbohong! Kesaksian itu pula yang “melegitimasi” Amerika menyerang Irak.
Dengan adanya kesaksian “peristiwa biadab” yang dilakukan tentara Irak—sebagaimana yang dituturkan Nayirah di hadapan Kongres—dunia seperti memberi restu pada Amerika untuk mengamuk di Irak. Lalu Bush Senior mengirim pasukan AS ke Irak, dan pecahlah Perang Teluk.
Belakangan terungkap, Nayirah adalah putri Duta Besar Kuwait di AS saat itu. Beberapa bulan sebelum memberikan kesaksian menghebohkan tadi, Nayirah telah “dikursuskan” secara privat untuk bermain peran secara meyakinkan—plus dengan air mata bercucuran—hingga dunia marah.
Terbongkarnya kenyataan itu menjadi skandal yang memalukan bagi banyak pihak, tapi tujuan konspirasi sudah tercapai... Irak hancur lebur. Karenanya, kalau kau tidak percaya konspirasi, lihat dan pelajari kasus-kasus ini. Dan perang Irak hanya secuil dari banyak konspirasi lain.
Karenanya pula, kadang aku geli campur miris kalau menyaksikan orang-orang yang “terlalu realistis” dan menganggap semua peristiwa secara “apa adanya” sambil mencibir kemungkinan konspirasi. In fact, konspirasi itu benar-benar ada, meski mungkin tidak seperti yang kita kira.
Ada banyak peristiwa di dunia yang terjadi sebagai hasil skenario konspirasi. Tetapi, karena pikiran kita sudah mengalami distorsi terhadap definisi “konspirasi”, kita pun mengabaikan kemungkinan itu, dan berusaha seperti “orang normal” umumnya yang tidak percaya konspirasi.
Kalau kita tidak percaya konspirasi, kita perlu tahu bahwa salah satu tujuan penciptaan konspirasi adalah “agar kita tidak percaya konspirasi”. Jadi, kalau kau tidak percaya konspirasi, artinya kau sudah menjadi korban konspirasi, karena itulah salah satu tujuan konspirasi.
End note:
Aku ingin bertempik sorak. Appppeeeeuuhhh...
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19-20 Desember 2019.