Setiap tahun baru, aku tidak pernah meniup terompet.
Bukan karena apa-apa, selain karena
MEMANG AKU TIDAK INGIN MELAKUKAN.
Tiap kali pergantian tahun baru, kita tergoda untuk bikin resolusi. Dari yang spesifik sampai yang umum. Sebagian resolusi itu mungkin tercapai, sementara sebagian lain tidak tercapai karena berbagai alasan dan latar belakang. Yang jelas, kita sering tergoda untuk bikin resolusi lagi ketika tahun baru tiba, berharap bisa mencapai resolusi itu, atau, paling tidak, sebagiannya.
Kini tahun 2022 datang, menggantikan 2021 yang telah habis. Saya juga tergoda untuk bikin resolusi, dan kali ini resolusi saya sederhana saja; saya ingin menjalani tahun 2022 dengan lebih baik dibanding tahun 2021. Lebih baik dalam belajar, lebih baik dalam bekerja, lebih baik dalam menggunakan waktu, dan semacamnya.
Resolusi sederhana ini muncul dalam pikiran saya, ketika suatu hari—sekian waktu lalu—seorang teman lama, bernama Arif, menghubungi saya, dan menanyakan apakah saya di rumah. “Aku ingin dolan,” katanya.
Saya sedang di rumah, waktu itu, dan mempersilakannya datang. Jadi, dia pun lalu datang, dan kami mengobrol di rumah saya.
Arif adalah teman yang berasal dari kampus. Dia sebenarnya adik angkatan saya, tapi kami berteman akrab sejak dulu. Bertahun yang lalu, Arif dan saya sering menghabiskan waktu bersama, sebagaimana teman akrab. Di masa kuliah dulu, dia malah sering menginap di rumah saya.
Ketika kemudian Arif menikah, ditambah punya anak, hubungan kami tidak sedekat dulu. Bagaimana pun, waktu dia sudah habis untuk bekerja, dan mengurusi keluarganya. Ini kisah klasik yang terjadi pada banyak orang, di mana-mana, termasuk pada kehidupan saya dan teman-teman. Sejak itu pula, Arif dan saya mulai jarang ketemu, hingga akhirnya benar-benar lost contact sampai beberapa tahun.
Hingga suatu hari dia mengubungi saya, dan menyatakan ingin dolan. Saya tentu senang, dan dia benar-benar datang. Kami mengobrol santai hingga berjam-jam, sambil menikmati teh hangat dan udud.
Arif kini punya usaha pengolahan daging ayam, dan karena itu pula dia sekarang punya cukup waktu luang—sesuatu yang tadinya tidak ia miliki ketika masih bekerja sebagai pegawai. Waktu luang yang ia miliki kemudian ia manfaatkan untuk “menyambung pertemanan dengan teman-teman lama”. Saya termasuk “teman lama” yang dikunjunginya, dan sejak itu pula kami kembali aktif berkomunikasi lewat ponsel, juga sering bertemu secara langsung.
Melalui Arif, saya jadi tahu kabar teman-teman lama kami; sebagian mereka ada yang jadi anggota dewan, ada yang jadi juragan pakaian, jadi bos ekspedisi, jadi pengusaha properti, jadi pemimpin pondok pesantren, dan lain-lain, dan ada pula beberapa teman kami yang ternyata bercerai dengan pasangan mereka. Saya kaget mendengar kabar terakhir; saya menikah saja belum, mereka sudah bercerai.
Seiring kebersamaan kembali saya dengan Arif, teman-teman dari masa lalu bermunculan satu per satu. Ini seperti menemukan mata rantai. Ketika satu mata rantai tertemukan, puluhan mata rantai lain akan ikut tertemukan, karena satu rangkaian. Arif sedang mengobrol di rumah saya, lalu Si B meneleponnya, dan bertanya ada di mana. Arif menjawab sedang di rumah saya, dan Si B ikut datang. Lain waktu, ketika Si B sedang di rumah saya, Si C meneleponnya dan bertanya lagi ada di mana. Si B menjawab sedang di rumah saya, dan Si C ikut datang. Dan begitu seterusnya, hingga teman-teman dari masa lalu bisa saling terhubung kembali.
Sejak itu, sampai kini, kami kembali menjalin komunikasi. Nomor-nomor ponsel lama yang telah hilang atau terhapus, kini diganti dengan nomor-nomor baru. Kami saling meng-update, saling memperbarui, dan jalinan pertemanan baru tersambung lagi.
Karena rata-rata kami sudah dewasa, obrolan kami pun kini lebih dewasa—jauh berbeda dibanding masa ketika kami masih kuliah dulu. Sebagian kami bahkan sudah menikah dan punya anak.
Dalam suatu obrolan beberapa orang sampai larut malam, seorang teman mengatakan, “Makin tua, kita makin menyadari...”
Saya buru-buru memotong, “Kita? Kalian aja yang makin tua. Aku tetap bocah!”
Setelah saling cengengesan, dia melanjutkan, “Oke, aku aja, dah. Makin tua, aku makin menyadari kalau hidupku makin realistis. Maksudku, sekarang aku tahu—benar-benar tahu—apa sebenarnya yang kuinginkan dalam hidup. Saat ini, misalnya, aku hanya ingin menjalani hidup dengan baik, bekerja dengan rajin, merawat keluarga sebaik yang aku bisa, dan menyaksikan anak-anakku tumbuh dengan baik. Dan di sela-sela waktu, menjalin hubungan baik dengan teman-teman yang dimiliki. Semua ini harta berharga dalam hidup kita—oke, dalam hidupku.”
Teman-teman yang lain juga setuju bahwa mereka kini “lebih realistis”. Berbeda dengan masa belia ketika pikiran masih mengawang-awang, kini tujuan hidup mereka sangat jelas. Terkait keluarga, anak-anak, diri mereka sendiri, dan, di luar itu, teman-teman baik yang bisa dipercaya. Kini waktu mereka hanya dihabiskan untuk hal-hal itu. Bekerja dengan baik, merawat keluarga dengan baik, dan, jika ada waktu luang, menjalin hubungan baik dengan teman-teman.
Yang mereka katakan—atau mereka harapkan—tentu sesuatu yang “biasa-biasa saja”, tapi saya terinspirasi. Saya memang tidak/belum menikah, apalagi punya anak. Tapi saya sama-sama memiliki kesibukan, pekerjaan, juga waktu, seperti yang mereka miliki. Karenanya, tak jauh beda dengan mereka, saya pun ingin sebaik mereka. Saya ingin belajar lebih baik lagi, bekerja lebih baik lagi, dan menggunakan waktu dengan lebih baik lagi.
“Waktu”, yang sekian tahun lalu seperti sesuatu yang tak berharga—hingga sering kami sia-siakan untuk hal-hal tak berguna—kini jadi terasa sebagai sesuatu yang sangat berharga, dan kami tak ingin lagi menyia-nyiakannya.
Itulah resolusi saya untuk tahun baru ini, dan semoga resolusi yang biasa-biasa saja itu tercapai seperti yang saya harapkan.
Belakangan, pertemuan saya dengan teman-teman di dunia nyata—sebagaimana yang diceritakan tadi—semakin intens, karena ada hal-hal baik yang ingin kami lakukan bersama, di antaranya merintis bisnis, yang sekarang juga sudah mulai jalan.
Karena kami seringnya mulai selo saat malam—setelah aktivitas harian selesai dikerjakan—kami pun sering bertemu dan berkumpul di malam hari. Latar belakang itulah yang menjadikan saya sekarang jarang ngoceh di Twitter seperti sebelumnya. Karena sekarang sering ada kawan atau tamu yang datang, dan kami bisa ngobrol sampai larut malam. Mungkin, sewaktu-waktu, saya akan ngoceh di Twitter kalau kebetulan selo, dan sedang tidak ada tamu.
Belakangan, saya memang kerap menikmati waktu hingga larut malam bersama teman-teman di dunia nyata. Setelah seharian bekerja, mengurusi berbagai kesibukan, bertemu dan ngobrol dengan teman-teman adalah hiburan yang menyenangkan.
Kegiatan yang biasa-biasa saja, tapi kami senang menikmatinya.