Senin, 10 Januari 2022

Bumi yang Terluka

Sesekali, kita mengalami demam dan merasakan tubuh yang sangat tidak enak. Demam adalah upaya tubuh untuk menghalau virus yang masuk, sekaligus memperbaiki diri agar kembali sehat. Hal serupa terjadi pada bumi yang kita tinggali. Dan “demam” bumi adalah bencana yang menimpa kita.

Bumi mengalami “demam” akibat kerusakan yang terjadi. Iklim yang kacau, pemanasan global, badai yang menghancurkan, gelombang air pasang, tsunami, tanah longsor, semua adalah upaya bumi “memperbaiki diri sendiri”. Tapi kita terus merusak tanpa henti, dan bumi tidak juga sembuh.

Kita memang telah berupaya mengendalikan polusi dan kerusakan lingkungan—itu bagus. Tapi kerusakan yang kita timbulkan di bumi masih jauh lebih besar daripada upaya perbaikan yang kita lakukan. Akibatnya, kita seperti berupaya mengatasi kanker hanya dengan kerokan. Gak ngaruh.

Jika ingin ilustrasi yang lebih mudah dan sederhana—hingga anak SD pun mestinya bisa paham—bayangkan sebuah bola bundar padat, yang terus berputar (berotasi). Di dalam bola terdapat tanah padat, dan putaran atau rotasi bola akan terpengaruh oleh tanah padat (beban) di dalamnya.

Jika kita mengambil sedikit tanah padat di dalam bola, putaran bola akan semakin cepat, karena beban yang lebih ringan. Semakin banyak tanah di dalamnya yang diambil, putaran bola akan terus semakin cepat, karena beban yang makin ringan. Dan itulah yang terjadi pada [bola] bumi.

Perubahan rotasi bumi, sekecil apa pun, akibat ketidakseimbangan isi kandungan perut bumi yang terkuras, menimbulkan berbagai masalah yang lalu kita sebut bencana. Gempa bumi, banjir, mencairnya gletser, kekeringan, hancurnya ekosistem, kepunahan flora-fauna—sebut lainnya.

Dan kita tidak juga berhenti melakukan perusakan, itulah inti masalahnya! Kita menebangi hutan, mencemari lautan, merusak udara dengan aneka polusi, mengeruk kandungan bumi, dan—di atas segalanya—kawin dan beranak-pinak tanpa mikir, hanya untuk mewariskan perusakan dan kerusakan.

Hutan hujan pernah meliputi 14% permukaan bumi. Sekarang hanya tersisa 6%. Dalam 40 tahun ke depan, diperkirakan sisa 6% itu akan habis. Saat ini, boleh percaya boleh tidak, setiap detik ada 1 hektar hutan hujan lenyap, sebagai akibat pembangunan negara industri dan berkembang.

Saat ini, hampir separo dari semua jenis flora, fauna, dan mikroorganisme, terancam punah akibat menyusutnya hutan hujan. Para ilmuwan memperkirakan, setiap hari kita kehilangan 137 jenis tanaman, hewan, dan serangga—atau 50.000 jenis setiap tahun—karena penebangan hutan hujan.

Pada tahun 2030, populasi penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8,3 miliar. Pada tahun 2030 pula, sekitar 18% dari gugusan karang laut akan lenyap karena perubahan iklim dan lingkungan. Lalu tahun 2040, laut di Kutub Utara akan mengalami musim panas yang pertama tanpa es.

Terkait rusaknya bumi, ada fakta mengerikan yang mungkin tidak pernah kita dengar. Saat ini, luas padang pasir di permukaan bumi terus mengalami peningkatan, karena naiknya suhu bumi. Pada akhir tahun 2007 kemarin saja, Australia kehilangan 25% produksi pangan karena hal ini.

Dan kerusakan-kerusakan itu tidak akan berhenti, selama manusia masih terus bereproduksi. Hasilnya, bumi kian tidak ramah ditinggali, dan manusia tidak hanya terancam berbagai bencana alam tapi juga terancam kelaparan. Sumber daya bumi [akan] semakin tidak imbang dengan populasi.

Bagaimana solusinya? Solusinya tentu menghentikan perusakan alam! Tetapi manusia—yang disebut khalifah fil ardh, pemimpin di muka bumi, oh, well—justru memiliki bakat mengerikan dalam merusak bumi. Karenanya, solusi akhir memang membiarkan Thanos mengumpulkan Infinity Stones.

“Alam semesta terbatas. Sumber dayanya juga terbatas. Jika populasi tak terkendali, kehidupan akan punah. Semua harus diperbaiki!” —Thanos

Nyanyian Bumi » http://bit.ly/15Zqqqp 

Satu-satunya Kepunahan yang Bermanfaat bagi Bumi Hanyalah Kepunahan Manusia » http://bit.ly/133XjvI 


*) Ditranksrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2019.

 
;