Kalau kau lajang, hidup bahagia, dan tidak mengusik siapa pun, masyarakat akan terganggu. Sebegitu terganggu, sampai mereka terus mengusikmu, dan memprovokasimu agar cepat menikah. Agar kau tertarik, masyarakat tak segan berbohong dan berdusta.
Masyarakat akan menjanjikan aneka hal indah tentang betapa hebatnya menikah, tentang kebahagiaan, rezeki lancar, dan angin sorga lainnya. Tujuannya hanya satu; melihatmu cepat kawin dan beranak pinak! Perkara kau kemudian hidup keblangsak, itu bukan urusan mereka.
Masyarakat lebih suka melihatmu hidup menderita, asal kau kawin dan beranak pinak, daripada melihatmu bahagia tapi lajang dan hidup sendirian. Bagaimana hal aneh—atau busuk—semacam itu bisa terjadi?
Bagiku sederhana saja; hidup bersama orang buta harus sama buta.
Jadi masyarakat belum bisa tenang selama melihatmu masih lajang, meski kau tidak pernah mengusik mereka. Dan mereka akan senang saat melihatmu hidup keblangsak, asal kau menikah dan beranak pinak. Itulah kebejatan masyarakat kita, yang diam-diam tak kita sadari.
Kita, sebenarnya, hidup di zaman jahiliyah baru, di tengah masyarakat bejat yang sama sekali tidak menyadari diri mereka bejat, dan mereka menuntut semua orang harus sama, dan mendiskriminasi orang lain yang dianggap berbeda. Penyembah “berhala” abad modern.
Orang-orang jahiliyah kuno membuat berhala dalam bentuk patung, menamai dengan aneka sebutan, dan menyembahnya. Orang-orang jahiliyah modern membuat berhala dalam bentuk “budaya” dan menamainya dengan aneka sebutan, dan menyembahnya. Esensinya sama.
Apa pun yang disembah—dalam definisi semua orang harus sama—adalah berhala. Bentuknya bisa patung, kebudayaan, sistem keyakinan, atau memaksa semua orang harus menikah.
Menikah dan beranak pinak adalah soal pilihan. Jika dipaksakan, ia adalah berhala.