Senin, 10 April 2023

Wong Paling Konstruksi Sosial Wae Kok Ribut

Selamat malam Minggu, bagi yang merayakan. Yang tidak merayakan ya tidak apa-apa, karena “malam Minggu” hanyalah konstruksi sosial.

Omong-omong soal konstruksi sosial...

Sambil nunggu udud habis.

Dalam perspektifku sebagai bocah, konstruksi sosial—dan segala ubo rampe-nya—adalah upaya manusia fana untuk menciptakan kesan bahwa kehidupan punya makna. Jika kita menghilangkan separo saja konstruksi sosial yang kita kenal, kehidupan tak memiliki makna apa-apa.

Sebenarnya malam Minggu sama saja dengan malam-malam yang lain. Kita bisa kencan di malam Senin, malam Selasa, atau malam yang lain. Tapi kita menciptakan konstruksi sosial terkait malam Minggu, agar merasa punya makna kala kencan di malam itu.

Konstruksi sosial terkait malam Minggu sebenarnya tidak masalah. Sama tidak masalah ketika muda-mudi sibuk menyiapkan diri demi menyambut malam itu. Masalah dimulai ketika malam Minggu yang sebenarnya cuma konstruksi sosial dianggap sebagai ukuran wajar kemanusiaan.

Kalau kita berkencan dengan seseorang di malam Minggu, dan menikmatinya, lalu merasa memiliki hidup bermakna, itu bagus! Tapi tidak bagus lagi ketika kita mengukur orang lain hanya dari apakah dia menikmati malam Minggu atau tidak, apakah dia punya pasangan atau tidak, dst.

Begitu pula menikah dan punya anak. Menikah dan punya anak adalah (hanyalah) konstruksi sosial—aku sangat yakin tentang hal ini, hingga aku berani berdebat dengan Dajjal sekalipun. Secara alami, Homo sapiens butuh kawin, lalu kita menciptakan konstruksi sosial terkait hal itu.

Sekali lagi, itu tidak masalah—konstruksi sosial terkait perkawinan dan kepemilikan anak, dalam taraf tertentu, bahkan ikut menjaga eksistensi kehidupan manusia. Masalah mulai terjadi ketika konstruksi sosial itu digunakan untuk menilai “tingkat wajar kemanusiaan” orang lain.

Kalau kita menikah dan punya anak, lalu merasa hidup jadi bahagia dan bermakna, itu bagus! Tapi tidak bagus lagi jika kita menggunakan ukuran itu untuk mengukur orang-orang lain, lalu memaksa orang-orang lain untuk kawin dan beranak pinak dengan alasan “agar bahagia sepertiku”.

Menikah dan punya anak adalah konstruksi sosial. Tapi kebahagiaan dan kebermaknaan hidup adalah sesuatu yang subjektif—ia tak bisa lagi dikonstruksi, karena relatif dan sangat individual. Sesuatu yang membuat kita bahagia, tidak berarti juga akan membuat orang lain sama bahagia.

Ada orang-orang yang justru bahagia menikmati kebebasan sebagai lajang, karena bisa fokus menikmati kehidupan dan impian-impiannya. Ada pasangan yang justru bahagia dengan tak punya anak, karena bisa fokus pada kerja-kerja kemanusiaan yang mereka lakukan, misalnya. It’s fine.

Konstruksi sosial hanyalah kesepakatan tak tertulis, yang, sering kali, hanya relevan ketika kosntruks itu dibangun. Dan perubahan yang terjadi adalah bukti bahwa nalar kemanusiaan kita terus berkembang, tidak hanya berhenti di satu titik lalu berhenti. And then, itulah evolusi.

Selain malam Minggu, perkawinan, dan kepemilikan anak, ada berbagai konstruksi sosial lain yang kita kenal. Dan sama seperti konstruksi sosial terkait malam Minggu, perkawinan, dan kepemilikan anak, tidak apa-apa kalau kita berbeda. Hidup tak selalu harus sama dengan orang lain.

Ocehan ini, kalau kulanjutkan, masih panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9466. Tapi ududku habis. 

Terakhir, meski aku tidak merayakan malam Minggu, aku senang mengatakan ini untukmu: Selamat malam Minggu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Oktober 2021.

 
;