Selasa, 20 Agustus 2024

Bagaimana Kekeliruan Terwarisi Turun Temurun

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, dan baru sadar ini malam Minggu. Lalu kepikiran untuk ngasih “catatan kaki” untuk ocehan ini.



Ada orang mengatakan, “Sebelum kita lahir, kita ditanya apakah mau dilahirkan ke dunia atau tidak. Jadi kelahiran kita sudah mendapat kesepakatan kita.”

Aku sudah tahu doktrin itu sejak tsanawiyah (SMP), dan sepertinya semua (atau sebagian besar) muslim juga tahu ajaran itu.

Terkait doktrin-doktrin semacam itu, aku berpegang pada kenyataan bahwa “doktrin-doktrin yang terkesan sangar”—semoga kau paham maksudku—biasanya muncul akibat salah tafsir, atau karena adanya kekacauan silsilah/penyampaian.

Mari ambil contoh beberapa yang terkenal. Ada hadist yang menyatakan larangan memasang gambar/lukisan di rumah, karena “malaikat tidak akan mendatangi rumah yang ada gambar makhluk hidup di dalamnya.”

Hadist itu sahih, tapi “bermasalah” (butuh penjelasan lebih lanjut).

Hadist itu sahih, tapi maksud hadist itu dipahami secara keliru. “Rumah” yang dimaksud dalam konteks hadist itu adalah rumah Nabi, bukan rumah kita. Artinya, hadist itu hanya berlaku untuk rumah Nabi. (Hadist ini berawal dari istri Nabi yang memasang taplak meja bergambar hewan).

Itu contoh hadist sahih yang dipahami secara keliru. Ada pula ajaran terkenal yang sebenarnya berasal dari hadist bermasalah. Contohnya adalah mengazani telinga bayi yang baru lahir. Itu ajaran terkenal yang dilakukan muslim di mana-mana, padahal asal usulnya tidak jelas.

Untuk soal itu (asal usul ajaran mengazani telinga bayi yang baru lahir), kalian bisa membaca uraiannya langsung secara jelas dan detail di sini (kalau tertarik, tentu saja): Kritik: Anjuran Adzan Di Telinga Bayi

Ada pula contoh ajaran terkenal yang berasal dari kekeliruan/kekacauan. Misalnya menganggap hari raya Idul Fitri sebagai “Hari Suci” (dimaknai Kembali Suci) atau waktu untuk saling memaafkan. Itu keliru, dan kekeliruan itu berawal dari orang yang keliru mengartikan “idul fitri”.

Arti “idul fitri” yang benar adalah “hari raya makanan” (waktu untuk kembali menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa). Tidak ada hubungannya sama sekali dengan maaf-maafan! Urusan maaf-maafan ini muncul gara-gara mengartikan “idul fitri” secara ngawur campur sotoy.

Dalam bahasa Arab, “idul fitri” memang sekilas punya arti “kembali suci”—padahal bukan! Sebagian orang mengira “fitri” dalam Idul Fitri berasal dari kata “fithrah”, padahal berasal dari kata “fithr”. Sekilas, “fithr” dan “fithrah” tampak sama, tapi memiliki arti jauh berbeda.

“Fithrah” menggunakan ta’ marbutoh pada akhir kata, dan memiliki arti “suci” atau “kesucian”. Sementara “fithr” (dalam idul fitri) tidak menggunakan ta’ marbutoh, dan artinya “makan” atau “makanan”. Dua arti/makna yang jelas jauh berbeda!

Itulah kenapa belajar nahwu dan shorof itu penting, agar tidak asal mangap, khususnya terkait bahasa Arab. Itu bisa diumpamakan seperti memahami tenses dan regular/irreguler verb dalam bahasa Inggris.

Begitu pula dengan “ied” yang jadi asal kata “iedul fithri”. Sebagian orang mengira “Ied” pada “Idul Fitri” berasal dari kata “ya’udu”, yang artinya “kembali”. Padahal itu keliru. Dalam perspektif ilmu shorof, bahasa Arab untuk “kembali” adalah ‘aada–ya’uudu–‘audatan.

Sekilas memang terdengar seperti “ied”, tapi jelas bukan! Karenanya, “orang yang kembali” tidak disebut “ied”, melainkan “audah”. Karena “ied” dalam “Idul Fitri” bermakna “hari raya”, yang—jika dijamakkan—menjadi “a’yad”. So, arti “Idul Fitri” ya "Hari Raya Makanan".

Contoh lain lagi yang sama terkenal adalah ayat soal imbauan menikah (An-Nuur: 32), “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu ... Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Merujuk Kitab Tafsir Ibnu Katsir, makna ayat itu adalah “kecukupan”—bahwa Allah akan “mencukupkan” orang yang menikah. Yang namanya “cukup” itu ya tidak kurang dan tidak lebih, meski sifat manusia biasanya terus merasa kurang. Tapi inti ayat itu adalah soal kecukupan!

Tapi kemudian sebagian orang menyelewengkan makna ayat itu dengan mengartikannya seenak udelnya sendiri. Mereka mengartikan ayat itu sebagai “jaminan Allah bahwa orang yang menikah akan kaya dan lancar rezeki.” Itu ngawur dan menyesatkan orang yang tidak tahu.

Tidak hanya mengartikan seenaknya sendiri, mereka bahkan menggunakan ayat itu sebagai senjata untuk memprovokasi orang-orang agar cepat kawin, dengan iming-iming kaya atau lancar rezeki. Inilah asal usul doktrin sesat perkawinan yang terkenal dalam kehidupan kita.

Akibat mengartikan ayat itu seenaknya, banyak orang yang “termakan hoax”, lalu buru-buru kawin tanpa persiapan, dan meyakini bahwa orang menikah akan kaya dan lancar rezeki. Hasilnya, karena kawin tanpa persiapan, mereka malah keblangsak dan anak-anaknya telantar.

Itu contoh-contoh betapa ajaran yang terkesan “sangar”—sekarang kau mungkin paham maksudku—sering kali berasal dari riwayat bermasalah, atau riwayat yang benar tapi dimaknai secara bermasalah. Dalam ajaran (masyarakat) Islam, banyak sekali hal seperti ini kalau mau membongkarnya.

Cukup untuk soal itu. Jika ocehan ini kuteruskan, mau tak mau kita akan terus masuk ke dalam, dan hasilnya adalah hal-hal “mencengangkan”, yang bisa jadi belum tentu dapat diterima sebagian besar orang. 

Kalau ingin tahu lebih lanjut, gimana? Ya belajar! Mau gimana lagi?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2019.

Hening yang Kupeluk

Kesunyian adalah rumahku. Keraguan adalah temanku. Kerinduan adalah hening yang kupeluk dalam tidur gelisahku.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Mei 2014.  

Paling Sulit

Yang paling sulit adalah menjelaskan kebenaran kepada orang yang menganggap dirinya paling benar.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Mei 2014.  

Beribadah Itu Mudah

Beribadah itu mudah. Yang sulit adalah tekun menjalankan ibadah tanpa berpikir bahwa dirinya lebih baik dari orang yang tidak beribadah.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Mei 2014.  

Sama Buruknya

Beragama atau tidak beragama, kadang-kadang sama buruknya.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Mei 2014.  

Memalukan

Ada banyak orang pintar yang sombong, dan itu memalukan. Tapi jauh lebih memalukan orang bodoh yang sombong.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Mei 2014.  

Penduduk Bawah Tanah Gemetar

Baru tahu.

Budeg

BUDEG KUPINGE.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 Mei 2020.

Ada Nggak?

Ada yang kangen aku, nggak? Nggak ada, ya? 

Ya udah. *balik baca buku lagi*

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Mei 2014.  

Mbeko

Iyo.

Noffret’s Note: Oknum

Kenapa kalo polisi melakukan kekerasan dibilang OKNUM? Padahal kekerasan banyak, rutin, dan sistematis dilakukan. Sementara demonstran merusak tidak dibilang OKNUM? —@AlghifAqsa

Lagian oknum itu mestinya cuma satu dua. Kalau puluhan apalagi sampai ratusan, mosok disebut oknum semua? —@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Oktober 2020.

Sabtu, 10 Agustus 2024

Orang Beracun

Jadi kepikiran.

Omong-omong soal orang beracun...

Sambil nunggu udud habis.

Kasus "Vicky Prasetyo KW" ini feed-nya masih muncul di TL-ku. Semoga sender yang jadi korban orang toxic itu sadar bahwa yang ia hadapi adalah orang beracun.

Salah satu ciri orang toxic atau beracun adalah tidak mau mengakui kesalahan, dan berusaha memutarbalikkan fakta hingga seolah pihak lain yang salah. Contohnya terlihat gamblang pada kasus "Vicky Prasetyo KW" yang viral itu. Dia salah, tapi justru pasangannya yang merasa salah.

Padahal masalahnya jelas dan gamblang. Si cowok selingkuh. Bahkan iblis di neraka akan setuju kalau itu salah!

Tapi si cowok tipe orang toxic (beracun). Alih-alih mengakui perbuatannya salah, dia malah berusaha memojokkan pasangannya, hingga si pasangan yang merasa bersalah.

Cara orang beracun memutarbalikkan fakta bisa menggunakan apa saja. Dalam kasus cowok toxic tadi, dia membuat kata-kata yang mungkin ia harapkan terdengar indah, tapi hasilnya malah konyol ["...merangkai mahligai dengan tertata rapi pada setiap letaknya."]

Ada pula orang beracun yang berusaha memutarbalikkan fakta dengan menggunakan ayat suci, hadist Nabi, dan lain-lain. Itu benar-benar rusak sekaligus merusak! Sudah jelas salah, tidak mau mengakui kesalahan, malah bawa-bawa ayat suci untuk membenarkan perilaku salahnya.

Padahal, terkait kasus cowok selingkuh tadi, ada cara yang lebih baik dan elegan, kalau dia memang masih ingin balikan pada pacarnya. Caranya sederhana; akui kesalahan, meminta maaf secara tulus, berjanji tidak akan mengulangi, dan menyerahkan keputusan final pada pacarnya.

Jika aku menempati posisi cowok goblok tadi, inilah yang akan kulakukan dan kukatakan:

"Aku telah selingkuh, dan itu kesalahan besar. Apa pun yang kukatakan, itu tidak akan mengurangi kadar kesalahanku. Jadi, aku minta maaf setulusnya atas perbuatanku yang pasti menyakitimu...

"Kalau kamu mau memaafkan, aku bersumpah tidak akan mengulangi perbuatanku. Aku akan belajar menjadi pribadi yang lebih baik, berusaha menjadi pasangan yang lebih setia. Tapi kalau pun kamu tidak mau memaafkan, itu hakmu, dan aku bisa memahami, karena telah sangat menyakitimu."

Manusia—atau dalam kasus ini, wanita—akan lebih mudah menerima kata-kata tulus semacam itu, daripada kalimat berbunga-bunga tapi berbau busuk dan beracun. Jika kalimat tulus semacam itu yang dikatakan si cowok, peluangnya akan lebih besar untuk bisa balikan dengan pacarnya.

Karena, dari kalimat tadi, si wanita akan melihat beberapa poin penting. Pertama, si cowok telah mengaku salah. Kedua, berjanji tidak akan mengulangi. Ketiga, berusaha akan jadi pribadi lebih baik. Keempat, si cowok tidak memaksakan apa pun, dan memberi hak penuh pada si wanita.

Jika kita melakukan kesalahan pada orang lain, dan mau melakukan poin-poin penting tadi—dengan tulus dan penuh empati (pengakuan bahwa kita telah bersalah dan menyakitinya)—kesalahan kita akan dimaafkan. Kalau pun tidak, setidaknya kita telah lepas dari kemungkinan bahaya.

Karena bahkan pendendam paling berbahaya—yang mungkin akan melakukan pembalasan bertahun-tahun setelah orang melakukan kesalahan kepadanya—akan memikirkan ulang rencana balas dendamnya, jika kita mau mengakui kesalahan dan meminta maaf secara tulus, dan tidak memaksakan apa pun.

Ini mungkin terdengar mudah dalam teori, tapi tidak setiap orang mampu melakukan. Meminta maaf, mengakui kesalahan, itu mudah saat diteorikan. Tapi tidak setiap orang bisa mempraktikkannya. Seperti cowok toxic dari kasus tadi. Wong tinggal minta maaf, malah mahligai-mahligai.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 19 Desember 2022.

Dalih Orang Beracun

Orang beracun selalu bisa menemukan cara untuk memutarbalikkan fakta, untuk menutupi kesalahannya, sekaligus untuk menyalahkan pihak lain.

Mari gunakan ilustrasi sederhana, hingga siapa pun akan dapat memahami bagaimana pola beracun terjadi, dan siapa tahu kita juga beracun.

Ada orang sedang ngobrol, lalu kita nguping. Karena nguping, hasil percakapan yang kita dapat pasti tidak lengkap, karena hanya berdasarkan telinga kita yang nguping, yang bisa jadi salah dengar, atau kita yang salah paham. Lalu, kita menggunakan hasil nguping itu untuk ghibah.

Kita sudah melakukan dua kesalahan di sini. Pertama, nguping percakapan orang lain. Kedua, ber-ghibah dari hasil nguping yang belum tentu lengkap dan benar.

Karena hasil nguping itu dijadikan bahan ghibah, orang yang di-ghibahi akhirnya sadar ada yang nguping percakapannya.

Ketika orang yang di-ghibahi kemudian marah karena kita nguping percakapannya, dan menjadikan hasil nguping itu sebagai bahan ghibah, kira-kira apa yang akan kita lakukan?

Jawaban atas pertanyaan itu akan menunjukkan apakah kita orang beracun atau tidak. Sesederhana itu.

Kalau kita bukan orang beracun, kita akan menyadari yang kita lakukan (nguping percakapan orang lain lalu menjadikannya sebagai bahan ghibah) itu salah. Lalu mengakui kesalahan itu secara tulus, dan meminta maaf pada orang yang menjadi korban nguping dan ghibah kita. Selesai.

Tapi kalau kita orang beracun, kita akan berusaha mencari pembenaran atas aksi nguping dan ghibah kita, untuk membenarkan kesalahan kita, misalnya dengan berdalih, "Ya salahmu sendiri karena ngobrol dengan suara keras."

Atau dalih lain, "Aku ber-ghibah sebenarnya niatku baik."

Dalih-dalih itu mungkin terdengar benar, tapi sebenarnya salah! Karena tak peduli orang ngobrol dengan suara sekeras apa pun, kita tidak punya hak untuk nguping. Kalau pun kita mendengar percakapan mereka, kita tidak punya hak untuk menyebarkannya pada orang lain. Sesimpel itu.

Karenanya, berurusan dengan orang jujur (dalam arti tidak beracun) itu jauh lebih mudah. Karena salah ya ngaku salah, tanpa pakai dalih macam-macam. Minta maaf, selesai.

Sebaliknya, berurusan dengan orang beracun itu melelahkan. Karena ketika salah, dia akan memakai aneka dalih.

Dan dalih yang dipakai orang beracun bisa macam-macam, dari memutarbalikkan fakta, merangkai kata berbunga-bunga, sampai menyalahgunakan hadist atau ayat suci demi membenarkan perbuatan salahnya.

Karenanya, menjauhi orang beracun itu bukan kesombongan; itu adalah kebijaksanaan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 19 Desember 2022.

Kangen Vicky Prasetyo

"... kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan hembusan cinta yang tulus guna merangkai mahligai dengan tertata rapi pada setiap letaknya."

Kedengarannya memang seperti Vicky Prasetyo. 

Baca gitu aja aku cekikikan gak habis-habis. Jadi kangen Vicky Prasetyo yang dulu. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 17 Desember 2022.

Cobalah Pacaran

Jika hidupmu terasa sangat membosankan, datar, dan tidak ada masalah, cobalah pacaran. Dalam waktu singkat, hidupmu langsung penuh masalah.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Mei 2014.  

Cara Mudah Bicara dengan Laki-laki

Wanita sering lupa bahwa lelaki adalah manusia biasa yang hanya paham bahasa manusia.

Cara mudah bicara dengan lelaki agar maksudmu bisa dipahami: Berbicaralah dengan bahasa manusia.

Sehebat apa pun lelaki, mereka tidak bisa membaca pikiran orang lain. Jika ingin menyatakan sesuatu pada mereka, gunakan kata-kata.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Mei 2014.  

Pikiran Wanita

Lebih baik aku diminta mengerjakan soal-soal fisika, atau menghafalkan rumus-rumus kimia, daripada disuruh memahami pikiran wanita.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 September 2012.

Memasukkan Hati ke Dalam Botol

Kadang-kadang aku ingin memasukkan hatiku ke dalam botol, dan melemparkannya ke lautan. Lalu membiarkan ombak menuntunnya hingga terdampar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Mei 2014.  

Obat Sakit Kepala Terbaik

Sudah habis empat butir pil, tapi kepala masih pusing. Mungkin obat sakit kepala terbaik memang berhenti berpikir.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Mei 2014.  

Terlalu Malas

Alam semesta, dengan caranya sendiri, memberikan banyak pelajaran. Manusia, bersama kebodohannya sendiri, terlalu malas untuk belajar.

  
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Mei 2014.  

Terkadang

Sesuatu yang kita pikir bisa memperindah diri kita, terkadang justru merusak pesona yang telah kita miliki. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Mei 2014.  

Bangun Pagi

Kayaknya aku memang nggak cocok bangun pagi. Sekalinya bangun pagi, langsung efeknya meriang begini.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Mei 2014.  

Anak Manis

Minum obat, habis itu tidur, ya. 

Iya. 

*anak manis*

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Mei 2014.  

Kamis, 01 Agustus 2024

Sulit Jatuh Cinta

Kalian pasti pernah, atau bahkan sering, menemani teman berbelanja—entah belanja baju, sepatu, tas, atau yang lain. Pernah memperhatikan bagaimana cara teman berbelanja?

Saya juga kadang menemani teman berbelanja, misal beli baju, dan semacamnya. Ada teman saya yang “tipe gampangan”. Dari rumah, dia sudah niat beli celana, misalnya. Sesampai di swalayan, kami langsung menuju tempat penjualan celana, lalu milih yang cocok, coba di kamar pas, dan bayar di kasir. Selesai. Sebagai teman yang menemani, saya senang dengan tipe seperti ini, karena menemaninya belanja tidak menguras tenaga.

Sebaliknya, ada teman lain, yang sepertinya “sangat rewel” dalam urusan belanja. Dari rumah, dia juga sudah niat beli celana, misalnya. Sesampai di swalayan, kami memang mendatangi tempat penjualan celana, tapi dia tidak bisa langsung menentukan mana yang cocok. 

Biasanya, kami akan mutar-mutar dulu di tempat itu, memelototi semua celana yang ada di sana, lihat dan periksa satu per satu, coba ke kamar pas, kembalikan, kurang cocok, cari lagi, dan begitu seterusnya... sampai akhirnya menemukan yang pas. Bahkan sudah begitu, kadang dia masih ragu, lalu mencoba yang lain, dan begitu seterusnya, sampai akhirnya selesai, dan membayar di kasir. Biasanya, begitu urusan belanja itu selesai, saya merasa mau semaput, saking capeknya.

Di antara dua tipe tersebut, tentu ada tipe-tipe lain dalam urusan belanja. Saya sendiri juga punya “kebiasaan”—yang mungkin lebih tepat disebut insting—tertentu.

Kalau berniat beli baju, misalnya, saya tentu akan mendatangi tempat penjualan baju. Di sana, saat memandangi baju-baju yang ada, saya akan tahu apakah suatu baju cocok untuk saya atau tidak, tanpa harus mencobanya. Kalau merasa tidak cocok, saya benar-benar tidak berminat. Sebaliknya, ketika menemukan yang cocok, saya akan langsung sreg, “Ini!” 

Proses itu bisa jadi membawa saya masuk ke tempat penjualan pakaian, dan sama sekali tidak mampu menemukan satu pun pakaian yang saya anggap tepat. Saya pernah masuk mal yang menyediakan ribuan pakaian, tapi tidak ada satu pun yang mampu menarik minat. Intinya, kalau saya tidak suka, saya memang tidak suka. Saya tidak bisa dipaksa—atau dirayu—menyukai sesuatu, karena hasilnya tetap saja; saya tidak suka.

Sebaliknya, saya juga sering masuk swalayan, dan langsung menemukan baju yang pas. Jika sudah cocok dengan suatu baju, urusan selanjutnya sangat mudah. Saat dicoba di kamar pas, tinggal melihat apakah ukurannya sesuai atau tidak. Kalau sudah sesuai, langsung bawa ke kasir. Kalau kurang sesuai, tinggal ganti ukuran. Usai pembelian, saya sudah tak berminat melihat baju-baju lain, karena biasanya tidak akan membuat saya tertarik.

Saya tipe orang yang biasa berpikir, “Kalau aku sudah memilih sesuatu, artinya itu pilihan terbaik.”

Prinsip semacam itu juga terjadi dalam hal lain. Dari membeli sepatu, tas, aneka barang, dan lain-lain. Dalam hal itu, saya tidak pernah terpengaruh tren atau semacamnya. Artinya, ketika memilih sesuatu, pilihan itu murni karena selera pribadi, bukan karena pengaruh tren atau sekadar “sedang musim”. Sebenarnya, saya bahkan tidak peduli dengan tren. 

Begitu pula saat jatuh cinta pada seseorang.

Saya menyadari, saya bukan orang yang mudah jatuh cinta. Mungkin saya bisa menyebutkan kriteria perempuan yang membuat jatuh cinta. Tetapi, ketika berhadapan dengan perempuan yang tepat seperti kriteria itu, tidak ada jaminan saya akan jatuh cinta. Ini soal hati—sesuatu yang sulit dideskripsikan. Intinya, ketika menemukan seseorang yang membuat jatuh cinta, saya akan “tahu” bahwa saya jatuh cinta kepadanya.

Dan ketika saya sudah jatuh cinta pada seseorang, saya pun tidak berminat pada yang lain. 

Dulu, ketika masih pacaran dengan seseorang, saya sering menghadapi waktu-waktu tertentu yang memungkinkan saya bertemu dengan perempuan-perempuan yang bisa jadi lebih menarik dari pacar saya. Tapi saya sama sekali tidak tertarik. Oh, tertarik mungkin ya, tapi ya cuma sebatas itu. Karena saya sulit jatuh cinta.

Soal Wanita

"Umpama ujian," katanya, "fisik wanita itu seperti pilihan ganda. Sedang hatinya seperti soal esai."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 September 2012.

Fokus Pada yang Disukai

“Kamu kok cuma me-retweet dan memfavoritkan tweet-tweet yang kamu sukai?” 

Lha kalau tidak suka, kenapa di-retweet dan difavoritkan? 

Sebagian orang sepertinya lebih fokus pada hal-hal yang tidak mereka sukai, hingga heran melihat orang lain yang fokus pada hal-hal yang mereka sukai. 

Kita tidak bisa memilih kehidupan, karena nyatanya toh kita sudah ada di sini. Tapi kita bisa memilih hal-hal yang ada dalam kehidupan. Dalam hal ini, aku memilih untuk [lebih] fokus pada hal-hal yang kusukai. Di antaranya tweet yang kusukai.

Ada banyak akun Twitter, jutaan jumlahnya. Tapi kita tidak mem-follow semua. Kita hanya mengikuti akun-akun yang kita sukai dan kita anggap cocok [dan sudah kita temukan]. Kalau ada yang mengikuti akun-akun yang tidak disukai, itu justru aneh. Tidak suka, tapi mengikuti.

Seorang pria tertarik hingga jatuh cinta pada seorang wanita [atau sebaliknya], tentu yang dia sukai. Sangat aneh kalau ada pria jatuh cinta pada wanita yang justru tidak dia sukai. Lha suka saja tidak, bagaimana bisa tertarik hingga jatuh cinta?

Ocehan Bocah

Saat cewek tahu didekati cowok, dan dia bermaksud menerima cowok tersebut, kebanyakan cewek berpikir, “Aku mau jadi pacarmu. Tapi kamu harus melakukan ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, ini, dan kamu harus begini, begini, begini, begini, begini, begini, begini...” 

Intinya, si cewek akan mempersulit si cowok terlebih dulu, sebelum menerimanya. Tentu saja itu hak mereka.

Cuma, kalau kebetulan aku yang jadi si cowok, dan aku dipersulit seperti itu, aku akan berpikir, “Kenapa kamu mengira aku mau melakukannya? Wong kamu tidak jadi pacarku pun, SAMA SEKALI BUKAN MASALAH bagiku. Aku memang jatuh cinta kepadamu. Tapi aku tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal tolol seperti itu.”

Mengubah

Aku tidak bisa mengubah sikapmu kepadaku. Tapi aku bisa mengubah perasaanku kepadamu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Februari 2012.

Tempat Kita Memijak

Tempat kita memijakkan kaki sekarang bukan hanya batas depan dan belakang, kenangan dan harapan, tapi juga yang terhapus dan akan menjelang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Januari 2012.

Rintik Gerimis

Rintik gerimis menerpa jendela kaca. 

Tik. Tik. Tik. 

Seseorang meringkuk di sampingku. Matanya lelap. 

Wajahnya milikku. Tapi bukan aku.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2012.

Yang Paling Menyenangkan

Yang paling menyenangkan di dunia ini adalah melakukan yang kaucintai. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Juli 2012.

Menyelamatkanku

Hanya ketika sibuk bekerja, aku bisa melupakan diriku sendiri. Sesulit apa pun, pekerjaan telah menyelamatkanku dari tekanan depresi.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Membaca Majalah yang di Dalamnya Ada Halaman Dua Puluh Tiga

Judul catatan ini sangat jelas. 

Sebegitu jelas, hingga sangat tidak jelas!

Kontroversi Hati

RT ah, biar tidak kontroversi hati. RT @VickyPrasetyo_ rinduku tersistemisasi dan kutulis di jurnal yang berkurikulum kasih cintamu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 September 2012.

Sempit

Dunia memang sempit, Ma'am.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 September 2012.

 
;