Kalian pasti pernah, atau bahkan sering, menemani teman berbelanja—entah belanja baju, sepatu, tas, atau yang lain. Pernah memperhatikan bagaimana cara teman berbelanja?
Saya juga kadang menemani teman berbelanja, misal beli baju, dan semacamnya. Ada teman saya yang “tipe gampangan”. Dari rumah, dia sudah niat beli celana, misalnya. Sesampai di swalayan, kami langsung menuju tempat penjualan celana, lalu milih yang cocok, coba di kamar pas, dan bayar di kasir. Selesai. Sebagai teman yang menemani, saya senang dengan tipe seperti ini, karena menemaninya belanja tidak menguras tenaga.
Sebaliknya, ada teman lain, yang sepertinya “sangat rewel” dalam urusan belanja. Dari rumah, dia juga sudah niat beli celana, misalnya. Sesampai di swalayan, kami memang mendatangi tempat penjualan celana, tapi dia tidak bisa langsung menentukan mana yang cocok.
Biasanya, kami akan mutar-mutar dulu di tempat itu, memelototi semua celana yang ada di sana, lihat dan periksa satu per satu, coba ke kamar pas, kembalikan, kurang cocok, cari lagi, dan begitu seterusnya... sampai akhirnya menemukan yang pas. Bahkan sudah begitu, kadang dia masih ragu, lalu mencoba yang lain, dan begitu seterusnya, sampai akhirnya selesai, dan membayar di kasir. Biasanya, begitu urusan belanja itu selesai, saya merasa mau semaput, saking capeknya.
Di antara dua tipe tersebut, tentu ada tipe-tipe lain dalam urusan belanja. Saya sendiri juga punya “kebiasaan”—yang mungkin lebih tepat disebut insting—tertentu.
Kalau berniat beli baju, misalnya, saya tentu akan mendatangi tempat penjualan baju. Di sana, saat memandangi baju-baju yang ada, saya akan tahu apakah suatu baju cocok untuk saya atau tidak, tanpa harus mencobanya. Kalau merasa tidak cocok, saya benar-benar tidak berminat. Sebaliknya, ketika menemukan yang cocok, saya akan langsung sreg, “Ini!”
Proses itu bisa jadi membawa saya masuk ke tempat penjualan pakaian, dan sama sekali tidak mampu menemukan satu pun pakaian yang saya anggap tepat. Saya pernah masuk mal yang menyediakan ribuan pakaian, tapi tidak ada satu pun yang mampu menarik minat. Intinya, kalau saya tidak suka, saya memang tidak suka. Saya tidak bisa dipaksa—atau dirayu—menyukai sesuatu, karena hasilnya tetap saja; saya tidak suka.
Sebaliknya, saya juga sering masuk swalayan, dan langsung menemukan baju yang pas. Jika sudah cocok dengan suatu baju, urusan selanjutnya sangat mudah. Saat dicoba di kamar pas, tinggal melihat apakah ukurannya sesuai atau tidak. Kalau sudah sesuai, langsung bawa ke kasir. Kalau kurang sesuai, tinggal ganti ukuran. Usai pembelian, saya sudah tak berminat melihat baju-baju lain, karena biasanya tidak akan membuat saya tertarik.
Saya tipe orang yang biasa berpikir, “Kalau aku sudah memilih sesuatu, artinya itu pilihan terbaik.”
Prinsip semacam itu juga terjadi dalam hal lain. Dari membeli sepatu, tas, aneka barang, dan lain-lain. Dalam hal itu, saya tidak pernah terpengaruh tren atau semacamnya. Artinya, ketika memilih sesuatu, pilihan itu murni karena selera pribadi, bukan karena pengaruh tren atau sekadar “sedang musim”. Sebenarnya, saya bahkan tidak peduli dengan tren.
Begitu pula saat jatuh cinta pada seseorang.
Saya menyadari, saya bukan orang yang mudah jatuh cinta. Mungkin saya bisa menyebutkan kriteria perempuan yang membuat jatuh cinta. Tetapi, ketika berhadapan dengan perempuan yang tepat seperti kriteria itu, tidak ada jaminan saya akan jatuh cinta. Ini soal hati—sesuatu yang sulit dideskripsikan. Intinya, ketika menemukan seseorang yang membuat jatuh cinta, saya akan “tahu” bahwa saya jatuh cinta kepadanya.
Dan ketika saya sudah jatuh cinta pada seseorang, saya pun tidak berminat pada yang lain.
Dulu, ketika masih pacaran dengan seseorang, saya sering menghadapi waktu-waktu tertentu yang memungkinkan saya bertemu dengan perempuan-perempuan yang bisa jadi lebih menarik dari pacar saya. Tapi saya sama sekali tidak tertarik. Oh, tertarik mungkin ya, tapi ya cuma sebatas itu. Karena saya sulit jatuh cinta.