Selasa, 20 Agustus 2024

Bagaimana Kekeliruan Terwarisi Turun Temurun

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, udud, dan baru sadar ini malam Minggu. Lalu kepikiran untuk ngasih “catatan kaki” untuk ocehan ini.



Ada orang mengatakan, “Sebelum kita lahir, kita ditanya apakah mau dilahirkan ke dunia atau tidak. Jadi kelahiran kita sudah mendapat kesepakatan kita.”

Aku sudah tahu doktrin itu sejak tsanawiyah (SMP), dan sepertinya semua (atau sebagian besar) muslim juga tahu ajaran itu.

Terkait doktrin-doktrin semacam itu, aku berpegang pada kenyataan bahwa “doktrin-doktrin yang terkesan sangar”—semoga kau paham maksudku—biasanya muncul akibat salah tafsir, atau karena adanya kekacauan silsilah/penyampaian.

Mari ambil contoh beberapa yang terkenal. Ada hadist yang menyatakan larangan memasang gambar/lukisan di rumah, karena “malaikat tidak akan mendatangi rumah yang ada gambar makhluk hidup di dalamnya.”

Hadist itu sahih, tapi “bermasalah” (butuh penjelasan lebih lanjut).

Hadist itu sahih, tapi maksud hadist itu dipahami secara keliru. “Rumah” yang dimaksud dalam konteks hadist itu adalah rumah Nabi, bukan rumah kita. Artinya, hadist itu hanya berlaku untuk rumah Nabi. (Hadist ini berawal dari istri Nabi yang memasang taplak meja bergambar hewan).

Itu contoh hadist sahih yang dipahami secara keliru. Ada pula ajaran terkenal yang sebenarnya berasal dari hadist bermasalah. Contohnya adalah mengazani telinga bayi yang baru lahir. Itu ajaran terkenal yang dilakukan muslim di mana-mana, padahal asal usulnya tidak jelas.

Untuk soal itu (asal usul ajaran mengazani telinga bayi yang baru lahir), kalian bisa membaca uraiannya langsung secara jelas dan detail di sini (kalau tertarik, tentu saja): Kritik: Anjuran Adzan Di Telinga Bayi

Ada pula contoh ajaran terkenal yang berasal dari kekeliruan/kekacauan. Misalnya menganggap hari raya Idul Fitri sebagai “Hari Suci” (dimaknai Kembali Suci) atau waktu untuk saling memaafkan. Itu keliru, dan kekeliruan itu berawal dari orang yang keliru mengartikan “idul fitri”.

Arti “idul fitri” yang benar adalah “hari raya makanan” (waktu untuk kembali menikmati makanan, setelah sebulan berpuasa). Tidak ada hubungannya sama sekali dengan maaf-maafan! Urusan maaf-maafan ini muncul gara-gara mengartikan “idul fitri” secara ngawur campur sotoy.

Dalam bahasa Arab, “idul fitri” memang sekilas punya arti “kembali suci”—padahal bukan! Sebagian orang mengira “fitri” dalam Idul Fitri berasal dari kata “fithrah”, padahal berasal dari kata “fithr”. Sekilas, “fithr” dan “fithrah” tampak sama, tapi memiliki arti jauh berbeda.

“Fithrah” menggunakan ta’ marbutoh pada akhir kata, dan memiliki arti “suci” atau “kesucian”. Sementara “fithr” (dalam idul fitri) tidak menggunakan ta’ marbutoh, dan artinya “makan” atau “makanan”. Dua arti/makna yang jelas jauh berbeda!

Itulah kenapa belajar nahwu dan shorof itu penting, agar tidak asal mangap, khususnya terkait bahasa Arab. Itu bisa diumpamakan seperti memahami tenses dan regular/irreguler verb dalam bahasa Inggris.

Begitu pula dengan “ied” yang jadi asal kata “iedul fithri”. Sebagian orang mengira “Ied” pada “Idul Fitri” berasal dari kata “ya’udu”, yang artinya “kembali”. Padahal itu keliru. Dalam perspektif ilmu shorof, bahasa Arab untuk “kembali” adalah ‘aada–ya’uudu–‘audatan.

Sekilas memang terdengar seperti “ied”, tapi jelas bukan! Karenanya, “orang yang kembali” tidak disebut “ied”, melainkan “audah”. Karena “ied” dalam “Idul Fitri” bermakna “hari raya”, yang—jika dijamakkan—menjadi “a’yad”. So, arti “Idul Fitri” ya "Hari Raya Makanan".

Contoh lain lagi yang sama terkenal adalah ayat soal imbauan menikah (An-Nuur: 32), “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu ... Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Merujuk Kitab Tafsir Ibnu Katsir, makna ayat itu adalah “kecukupan”—bahwa Allah akan “mencukupkan” orang yang menikah. Yang namanya “cukup” itu ya tidak kurang dan tidak lebih, meski sifat manusia biasanya terus merasa kurang. Tapi inti ayat itu adalah soal kecukupan!

Tapi kemudian sebagian orang menyelewengkan makna ayat itu dengan mengartikannya seenak udelnya sendiri. Mereka mengartikan ayat itu sebagai “jaminan Allah bahwa orang yang menikah akan kaya dan lancar rezeki.” Itu ngawur dan menyesatkan orang yang tidak tahu.

Tidak hanya mengartikan seenaknya sendiri, mereka bahkan menggunakan ayat itu sebagai senjata untuk memprovokasi orang-orang agar cepat kawin, dengan iming-iming kaya atau lancar rezeki. Inilah asal usul doktrin sesat perkawinan yang terkenal dalam kehidupan kita.

Akibat mengartikan ayat itu seenaknya, banyak orang yang “termakan hoax”, lalu buru-buru kawin tanpa persiapan, dan meyakini bahwa orang menikah akan kaya dan lancar rezeki. Hasilnya, karena kawin tanpa persiapan, mereka malah keblangsak dan anak-anaknya telantar.

Itu contoh-contoh betapa ajaran yang terkesan “sangar”—sekarang kau mungkin paham maksudku—sering kali berasal dari riwayat bermasalah, atau riwayat yang benar tapi dimaknai secara bermasalah. Dalam ajaran (masyarakat) Islam, banyak sekali hal seperti ini kalau mau membongkarnya.

Cukup untuk soal itu. Jika ocehan ini kuteruskan, mau tak mau kita akan terus masuk ke dalam, dan hasilnya adalah hal-hal “mencengangkan”, yang bisa jadi belum tentu dapat diterima sebagian besar orang. 

Kalau ingin tahu lebih lanjut, gimana? Ya belajar! Mau gimana lagi?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2019.

 
;