Rabu, 20 November 2024

Malam Minggu Berkah

Intro: 

Ocehan ini adalah tanggapan pada ribut-ribut di Twitter sekian tahun lalu, saat ada orang yang di-bully banyak orang karena menyuruh-nyuruh orang lain cepat menikah. Aku menulis ocehan ini sambil ngobrol dengan beberapa teman yang kebetulan ketemu di tempat makan, jadi isinya mungkin kurang tertata atau kurang terfokus.

....
....

Aku tidak mendukung tindakan bullying itu, tentu saja. Tapi aku juga harus mengakui bahwa aku senang karena mendapati makin banyak orang menyadari hal ini. Bahwa kawin adalah urusan privat orang per orang; pilihan yang (seharusnya) tidak dirusuhi orang lain. #MalamMingguBerkah

Mungkin tweet perempuan itu dimaksudkan untuk bercanda (atau bisa jadi pula dia memang ingin cepat kawin). Tapi warga Twitter tampaknya telah sampai pada kesadaran bahwa "bercanda" menyuruh orang cepat kawin itu perbuatan yang tercela. Jadi dia pun di-bully. #MalamMingguBerkah

Ngoceh soal ini, membuatku ingat kejadian tempo hari. Di Twitter, tempo hari, ada seorang perempuan yang di-bully warga Twitter—hingga dia menghapus akunnya—gara-gara tweet yang bertendensi menyuruh orang cepat kawin. Kalian tentu tahu yang kumaksud. #MalamMingguBerkah

Mayoritas orang (khususnya di sekeliling kita, mungkin) masih menganggap bahwa setiap orang wajib menikah. Jangankan orang-orang yang masih "terbelakang", bahkan orang-orang modern yang aktif di media sosial pun banyak yang masih punya pikiran seperti itu. #MalamMingguBerkah

Orang-orang yang doyan menyuruh-nyuruh orang lain cepat kawin mungkin merasa dirinya hebat. Padahal, di mata kami (orang yang mereka suruh cepat kawin), mereka tampak menggelikan, tak berpendidikan, dan terbelakang. Ini mungkin kasar, tapi harus ada yang mengatakan.

Aku bertanya pada teman-temanku—yang saat ini sedang makan—apa yang ada dalam pikiran mereka tiap nemu orang yang menyuruh-nyuruh kawin. 

Jawaban mereka:

"Risih."

"Jijik."

"Kasihan."

"Tidak nyaman."

"Kok mereka (orang yang nyuruh-nyuruh kawin) tidak malu, ya?"

Menyuruh, menyindir, memprovokasi, atau bercanda dengan tendensi agar orang cepat kawin, itu perbuatan yang tidak etis (tak beretika)—khususnya jika dilakukan orang-orang yang menganggap diri modern seperti kita. Itu salah satu ciri orang-orang "terbelakang". #MalamMingguBerkah

Hidup di tengah masyarakat yang menganggap perkawinan sebagai satu-satunya "syarat menjadi manusia normal", membuat kami jadi seperti alien—atau teralienasi—karena sudah dianggap layak untuk menikah tapi masih lajang. Padahal perkawinan cuma pilihan. #MalamMingguBerkah

Ucapan seorang teman yang sepertinya patut di-quote:

"Yang kutakutkan dari mendekati perempuan, bukan jika ditolak, tapi jika diterima. Dan yang kutakutkan dari menjalin hubungan (dengan perempuan), bukan putus di tengah jalan, tapi jika sampai ke pernikahan." #MalamMingguBerkah

Biasanya, kita akan benar-benar tahu arti kehadiran teman, jika rata-rata teman kita sudah menikah dan sibuk dengan keluarga masing-masing, lalu kita menemukan teman(-teman) yang masih lajang. Itulah yang kualami. #MalamMingguBerkah

Tadi keluar rumah dengan maksud mau makan, sambil istirahat sejenak. Tapi gara-gara malam Minggu, sekarang ketemu teman-teman—yang sama-sama ambyar—dan kayaknya bakal sampai pagi. #MalamMingguBerkah


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 September 2019.

Biasa Saja

Dalam percakapan suatu malam, seorang teman baik berkata, “Kalau kamu diminta mendeskripsikan dirimu dalam satu kata, apa kata itu?”

“Biasa,” saya menjawab.

Dia tersenyum. “Kalau dua kata?”

“Sangat biasa.”

Senyumnya makin lebar. “Kalau tiga kata?”

Saya ikut tersenyum. “Well... sangat biasa.”

Lalu kami menyulut rokok, dan melanjutkan percakapan.

....
....

Malam itu, tanpa diketahuinya, saya merasa lebih menjadi diri saya.

Penyakit Orang Kawin

Sebagian orang kawin atau telah menikah mengidap penyakit yang sama. Rata-rata mereka hidup susah, menyedihkan, tapi berharap orang lain mengikuti mereka agar juga hidup susah. 

Karenanya, mereka pun sangat hobi menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat kawin, dengan segala macam bujukan, ledekan, cemoohan, dan seribu satu cara lain. Intinya cuma satu; mereka berharap orang lain sama susah seperti mereka.

Sengsara kok ngajak-ngajak!

Lagi Stres

Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang masuk akal di dunia ini.

Kodok

Kodok?

....
....

*Nyulut rokok*

*Mikir*

....
....

Kodok?

....
....

*Isap rokok*

*Mikir serius*

....
....

Kodok?

....
....

*Mengerutkan kening*

....
....

Ternyata kodok.

....
....

*Ngikik*

*Isap rokok*

....
....

Ternyata kodok.

Ya ampun, ternyata kodok!

....
....

*Misuh-misuh*

Sometimes adalah Sometime

Oh, oh.

YTMBBJTBTJSJCDTG

Begitu.

Tidak Punya Waktu

Sebagai bocah, aku tidak punya waktu memikirkan pemilu dan tetek-bengeknya. Aku terlalu sibuk mengurusi hidupku dan segala masalahnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Rame

O, rame.

Kamis, 14 November 2024

15 Tahun Menulis Blog

Bagaimana cara agar konsisten melakukan sesuatu yang sama terus menerus? Jika pertanyaan itu diajukan kepada saya, jawabannya “senang melakukannya”. Jika kita menyenangi yang kita lakukan, kita akan mampu melakukan terus menerus, konsisten, tanpa henti. Setidaknya, itulah yang saya alami saat menulis di blog ini.

Saat catatan ini di-publish, blog ini berusia 15 tahun. Bukan waktu yang sebentar, tentu saja. Dan jika saya perhatikan, saya cukup konsisten melakukannya, dengan bukti tulisan yang selalu ada setiap bulan dan setiap tahun, meski kadang naik turun. Mengapa saya mampu melakukannya, sementara banyak blogger lain memilih berhenti dan menyerah?

Karena saya senang melakukannya.

Saya menyenangi yang saya lakukan. Jika saya menulis di blog dengan tujuan uang, sejak lama saya sudah menyerah, wong blog ini tidak menayangkan iklan atau apapun yang menghasilkan uang! Jika saya menulis di blog dengan tujuan popularitas, saya juga sudah berhenti sejak lama, karena bertahun-tahun ngeblog toh saya tetap bukan siapa-siapa. 

Jadi, saya ngeblog semata-mata karena senang melakukannya, dan memang ingin melakukannya. Dan kalau kita senang melakukan sesuatu, kita pasti tidak terpikir macam-macam, yang penting asyik melakukannya. Wong senang, kok!

Ada orang senang memancing, misalnya. Dia bisa seharian memegangi joran di pinggir sungai, tanpa merasa capek atau bosan. Malah ada yang sampai bela-belain mancing semalaman, tidak tidur, begadang sambil megang joran sampai tengah malam atau dini hari. Padahal belum tentu dapat ikan. Kalaupun dapat, belum tentu hasilnya memuaskan. Tapi kapan pun ada waktu luang, mereka melakukannya, dan terus melakukannya. Karena menyukai yang mereka lakukan.

Dalam hal ini, kesukaan saya kebetulan bukan mancing ikan. Tapi belajar. Saya senang mempelajari apa saja, khususnya belajar lewat buku atau bacaan. Hasil dari belajar bertahun-tahun tanpa henti adalah pengetahuan yang menumpuk dalam pikiran. Banyaknya pengetahuan mendorong saya terus aktif berpikir, berkontemplasi, dan kegiatan itu menghasilkan sesuatu yang saya sebut kristal kegelisahan.

Kristal kegelisahan, dalam perspektif saya, adalah pemikiran yang dihasilkan dari pengalaman hidup, yang bersatu dengan tumpukan pengetahuan dan wawasan yang kita pelajari. Saat seseorang memiliki kristal kegelisahan, dia pasti ingin “menumpahkannya”—karena tidak mungkin memendamnya terus menerus dalam pikiran. Dalam hal ini, saya memilih menulis sebagai sarana menumpahkan kegelisahan dalam pikiran. 

Menulis, bagi saya, adalah cara terbaik untuk mengeluarkan pemikiran tentang apapun, tanpa mengganggu siapa pun. Kalau saya mengeluarkan pemikiran pada teman, misalnya, bisa jadi dia bosan mendengarkannya. Tapi dengan menulis, saya hanya perlu menulis, mengeluarkan apapun yang ada dalam pikiran, dan tidak mengganggu siapa pun.

Dulu, sebelum internet digunakan masyarakat secara luas, saya hanya menuliskan pemikiran-pemikiran di buku tulis atau diary, yang saya baca sendiri. Tidak ada orang lain yang membaca, selain saya. Dan saya terus melakukannya, karena memang senang melakukannya.

Lalu internet dikenal masyarakat luas, dan lahir blog. Banyak orang menganggap blog sebagai “diary online”, yang memungkinkan siapa pun menulis di blog sebagaimana menulis di buku diary. Bedanya, kalau di blog, orang lain bisa ikut membaca tulisan kita. Sebagian penulis blog bahkan membuka kolom komentar, sehingga pembaca bisa ikut mengomentari tulisannya di blog.

Saya adalah satu di antara ribuan pengguna internet di Indonesia yang ikut membuat blog. Dan sama seperti para penulis blog yang lain, saya juga menuliskan hal-hal keseharian, serta hal-hal yang saya pikirkan. Bisa dibilang sama seperti ketika saya menulis di buku diary, namun kali ini orang-orang lain—lewat sarana internet—bisa ikut membaca.

Sejak awal bikin blog ini, saya hanya terpikir untuk “memindahkan” catatan diary saya ke internet. Jadi, sejak awal pula, saya tidak terobsesi dengan popularitas atau semacamnya. Pikir saya, kalau ada orang lain yang ikut membaca tulisan saya di blog, ya monggo. Kalau tidak ada yang membaca, ya tidak apa-apa, wong saya cuma melakukan yang ingin saya lakukan. 

Dan “melakukan yang ingin saya lakukan” itu belakangan terus berlangsung sampai lima belas tahun. Saya sendiri agak kaget, sebenarnya. Kok tahu-tahu sudah 15 tahun. Tidak terasa. Mungkin itulah cinta. Kita hanya ingin melakukan, dan terus melakukan, karena memang menyukai yang kita lakukan. 

Ke depan, saya akan terus mengisi blog ini sebagaimana dulu saya rutin menulis diary. Entah sampai kapan, saya tidak tahu. Yang jelas, prinsip saya terkait blog ini tidak akan berubah; ada yang ikut baca ya silakan, tidak ada yang membaca ya tidak apa-apa. 

Minggu, 10 November 2024

Kemampuan Orang-orang Kuno

Ada banyak kemampuan manusia yang sangat penting, tapi hilang, karena tak pernah digunakan. Manusia yang hidup saat ini, sebenarnya, jauh berbeda dengan manusia yang hidup ribuan tahun lalu. Ada banyak kemampuan orang kuno yang sudah tidak dimiliki orang modern.

Contoh paling sederhana; orang-orang di zaman kuno tidak dimanjakan kendaraan bermesin, lift, atau semacamnya. Mau tidak mau, mereka menggunakan kaki, dan itu menjadikan tubuh mereka jauh lebih sehat sekaligus kuat, dibanding rata-rata orang modern seperti kita.

Jika contoh itu diteruskan, pada akhirnya kita akan masuk pada bagian-bagian penting lain pada diri manusia, dari kemampuan insting sampai telepati. Tapi kemampuan-kemampuan itu sudah hilang, bersama peradaban kuno yang runtuh, dan orang-orangnya yang musnah.

Belakangan, sebagian orang—ilmuwan—berpikir, bagaimana jika kita “hidupkan” kembali kemampuan-kemampuan orang kuno itu di zaman sekarang? Caranya tentu tidak bisa alami, mengingat kehidupan modern yang sudah jauh berbeda dengan kehidupan kuno. 

Berdasarkan pemikiran itu, mereka lalu merancang pelatihan yang khusus ditujukan untuk membentuk seseorang agar memiliki kemampuan seperti orang-orang kuno, meski hidup di zaman modern. Formulanya sederhana; tempatkan mereka pada kondisi mengancam/berbahaya.

Uraian ini bisa panjang sekali, dan mungkin baru selesai tahun 9452. Tapi mari gunakan contoh yang bisa kita pahami bersama, karena diilustrasikan lewat film yang bisa ditonton siapa pun.

Bagaimana Jason Bourne—dalam Bourne Identity—bisa tahu bahwa 100 meter di depannya akan ada jalan menurun, padahal dia belum pernah ada di sana? Jawabannya sederhana; insting. Itu kemampuan hebat orang-orang kuno yang tidak dimiliki orang modern.

Orang-orang kuno memiliki insting sangat hebat, khususnya untuk bertahan hidup, karena kehidupan masih primitif, penuh ancaman dan bahaya. Belakangan, ketika dunia makin modern, dan ancaman serta bahaya terus menurun, kemampuan (insting) itu perlahan hilang.

Karenanya, dalam pelatihan—yang dirancang para ilmuwan tadi—seseorang harus ditempatkan pada bahaya dan ancaman terus menerus, agar kemampuan insting alaminya muncul. Dan itu ilmiah. Saat dihadapkan pada ancaman dan bahaya, insting akan terasah.

Tetapi, seperti yang disebut tadi, kemampuan hebat terkait insting tidak bisa ditumbuhkan secara alami, karena kehidupan modern tidak mendukung kemampuan spesial itu. Karenanya, harus ada “simulasi” yang benar-benar menempatkan seseorang dalam bahaya.

Dalam kisah Jason Bourne, pelatihan yang dijalaninya, di antaranya, tidak tidur 7 hari 7 malam (di dunia nyata mungkin 3 hari 3 malam), dan selama waktu-waktu itu dia terus dihadapkan pada berbagai ancaman dan bahaya yang benar-benar bisa membunuhnya. Hanya ada dua pilihan; bertahan hidup, atau mati.

Pelatihan mengerikan itu disebut “tangki” (benar-benar ada di dunia nyata, tapi disangkal/dirahasiakan), merujuk pada tangki berisi air yang digunakan untuk membuat subjek terus terjaga. Ketika si subjek mulai kelelahan dan hampir tertidur atau pingsan, instruktur akan membenamkan kepalanya ke dalam air, hingga kembali terjaga.

Di bawah tekanan semacam itu, mau tak mau, secara “alamiah”, insting Jason Bourne akan terasah... dan jadilah dia sosok hebat yang kemudian kita saksikan dalam film. Tetapi, karena kehebatannya tidak tumbuh alami, ada efek samping; dia sering menderita sakit kepala.

Melewati Kesakitan

Di antara Batang-Semarang, ada cukup banyak kelab malam, bar, dan tempat karaoke. Aku pernah ke salah satu kelab di sana; bukan untuk kelabing, tapi karena diundang pemiliknya. Si pemilik kelab itu punya suatu proyek, dan mengundangku ke sana untuk membicarakannya.

Karena urusan itu, aku pun beberapa kali datang ke sana, sengaja malam hari sambil cuci mata. Suatu malam, kami berbicara di ruang privat; si pemilik kelab, aku, dan satu pria yang waktu itu belum aku kenal. Ruangan itu kedap suara, jadi kami bisa berbicara dengan nyaman.

Pria asing itu teman si pemilik kelab, dan punya kemampuan menakjubkan. Setelah kami membicarakan hal-hal penting, dan mulai mengobrol hal-hal ringan, pria asing itu dengan ramah menyentuh tanganku. Selama dia menyentuh tanganku, dia seperti “mengisap” semua hal tentangku.

Waktu itu kami baru ketemu, tidak saling kenal, dan dia sama sekali tidak tahu siapa aku. Sebenarnya, si pemilik kelab yang mengundangku pun tidak mengenalku. Dia hanya mendapat namaku dari seseorang. Tapi begitu pria asing itu menyentuhku, dia tahu semua hal tentangku.

Jadi, sambil menyentuh tanganku, waktu itu, dia bisa tahu siapa aku, bahkan bisa menceritakan bagaimana kehidupanku, seperti apa kepribadianku, bagaimana sikapku menghadapi aneka hal yang terjadi, sampai hal-hal penting yang ada dalam pikiranku. 

Dan aku tercengang.

Aku mencoba “mengetes” dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu, dan dia menjawab sesuai yang ada dalam pikiranku. Diam-diam aku berpikir, pria asing itu sengaja disiapkan di sana untuk “menguji” apakah aku orang yang tepat untuk bekerja sama dengan pemilik kelab.

Sejak itu, kalau aku ke sana, kami sering mengobrol, dan dia teman bercakap yang menyenangkan. Aku bertanya, bagaimana dia bisa memiliki kemampuannya yang luar biasa, tapi dia seperti keberatan menjelaskannya. Aku memaklumi dan menghargai sikapnya atas hal itu.

Orang-orang yang memiliki kemampuan menakjubkan, dalam apa pun bentuknya, biasanya pernah melewati “kesakitan”, dan ada sebagian dari mereka yang tidak ingin membahasnya dengan orang lain. Karenanya, ketika dia tidak mau menceritakan, aku pun menghargai pilihannya.

Satu-satunya Cara Melawan Iblis

Jika diminta memilih hidup normal—menikah, punya keluarga, berketurunan, dan terus menua lalu mati—atau hidup abadi sampai ribuan tahun, tapi tak pernah menikah dan tak berkeluarga hingga tak punya keturunan... aku memilih yang kedua. Itu satu-satunya cara mengalahkan evolusi.

Orang awam kadang berpikir, dan dengan innocent mengatakan, “Kalau umurmu sangat panjang, kamu akan kesepian. Karena teman-temanmu sudah mati, kamu masih hidup. Orang-orang yang kamu kenal sudah mati, kamu masih hidup. Pasti tidak menyenangkan hidup seperti itu.”

Itu pikiran cemen khas orang awam. Kalau kamu memiliki keabadian yang memungkinkanmu hidup ribuan tahun, kamu sudah tidak lagi berpikir apakah punya teman atau tidak, tak lagi berpikir apakah ada orang yang mengenalmu atau tidak. Pikiranmu sudah jauh melampaui semua itu.

Bayangkan kamu hidup sejak ribuan tahun lalu, dan akan tetap hidup sampai ribuan tahun mendatang. Kamu akan punya waktu belajar yang sangat panjang, dan evolusi tidak bisa membunuhmu. Dan itulah satu-satunya cara melawan iblis bernama evolusi.

Bocah Mbuh

Aku bertanya pada seorang bocah, “Kamu tahu siapa aku?”

Bocah itu menjawab, “Tidak.”

“Aneh sekali, karena kupikir semua orang tahu siapa aku.”

....
....

Di lain waktu, aku bertemu bocah lain, dan bertanya, “Kamu tahu siapa aku?”

“Tentu saja aku tahu!” jawab bocah itu. “Semua orang tahu siapa kamu!”

“Aneh sekali, karena aku bahkan tidak tahu siapa aku.”

Manusia dan Sistem

Ketika kehidupan rusak, siapakah yang patut disalahkan? Manusia, atau sistem yang memerangkap manusia? Perdebatannya bisa sepanjang “telur dan ayam lebih dulu mana?”. Kabar baiknya, sekarang kita sudah tahu jawabannya, bahwa ayam lebih dulu ada sebelum munculnya telur.

Terkait manusia dan sistem, perbandingannya bisa seperti ayam dan telur. Mula-mula, ayam ada, lalu memproduksi telur. Ketika dierami, telur menetas menjadi anak ayam, dan begitu seterusnya. Manakah yang mengendalikan? Ayam atau telur? Jawabannya kompleks, dan bisa keduanya.

Tuntutan Skenario

Dalam film Romeo and Juliet, Claire Danes dan Leonardo DiCaprio (dua pemeran utamanya) tidak akur di lokasi syuting. Mereka hanya bersama dan bercakap-cakap [bahkan tampak mesra] selama proses syuting, karena tuntutan skenario, dan setelah itu saling menghindari. 

Lucy Liu dan Bill Murray terlibat syuting bersama dalam film Charlie's Angels, dan mereka saling tidak menyukai, bahkan sampai tahap bermusuhan. Belakangan, Bill Murray bahkan sangat senang ketika dia digantikan Bernie Mac di film kedua... demi tidak bertemu Lucy Liu.

Serial X-Files, yang sangat terkenal, dibintangi dua sosok yang pasti telah dihafal para penontonnya; Gillian Anderson dan David Duchovny. Di film, mereka tampak akrab dan baik-baik saja, tapi sebenarnya saling membenci. Di luar urusan syuting, mereka saling menghindari.

Anthony Daniels dan Kenny Baker terlibat dalam syuting Star Wars: A New Hope, tapi keduanya saling menghindari. Saat break syuting, mereka saling menjauh, dan tidak pernah terlihat saling menyapa, apalagi lebih dari itu. Permusuhan mereka bahkan populer di Hollywood.

Akhirnya, dalam waralaba Fast & Furious, Vin Diesel dan Dwayne Johnson juga saling tidak menyukai. Ini penjelasan selengkapnya: Mungkinkah Ada Orang Tak Disukai Justru karena Baik?

Ndilalah

"Ndilalah" adalah istilah Jawa yang sarat pesan. Dalam setiap "ndilalah" biasanya memang ada sesuatu yang bisa kita temukan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 3 April 2012.

Topeng

Kita semua mengenakan topeng, karena tak sempurna. Sebagian orang sadar mengenakan topeng, sebagian lain menganggap topeng itu wajahnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Agustus 2013.

Silakan Kalau Percaya

Orang kaya yang mengatakan dirinya bisa kaya karena rajin beribadah, sama seperti wanita cantik yang bilang dia jadi cantik karena rajin wudhu.

Kalau ada yang percaya ya silakan saja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 1 September 2021.

Berbaring di Sampingmu

Aku kadang membayangkan... berbaring di sampingmu, dan berbisik, “Bagaimana kamu bisa tahu algoritma Facebook?”

Ini Sebab Saya Menulis Tanpa Sebab

Ya. Sebab.

Begini, Begini

Begini, begini.

Jumat, 01 November 2024

Malam Minggu, Sebuah Percakapan

Malam Minggu, di tempat makan langganan, saya duduk di sebuah meja yang kosong, menikmati makan malam sendirian. Masing-masing meja di tempat makan itu memiliki empat kursi, tapi saya hampir selalu sendirian di salah satu meja.

Usai makan, saya menyesap minuman di gelas, lalu menyulut rokok. Semenit kemudian, seseorang mendatangi meja saya, dan kami saling sapa dengan ramah. Dia lalu duduk di salah satu kursi, dan kami bercakap-cakap. 

Seiring percakapan, kami membicarakan suatu fenomena yang sedang ramai di mana-mana, dan dia mengeluarkan ponselnya. Dia membuka suatu halaman di layar ponsel, lalu menyodorkannya di atas meja.

Di layar ponsel, saya melihat foto seseorang yang tidak asing. “Kamu pasti mengenal orang ini,” dia berujar.

“Ya,” saya mengangguk.

“Aku telah memindai ribuan catatan yang kamu tulis di internet—di blog, di media sosial, juga di situsmu—dan tidak satu kali pun kamu pernah menyebut nama orang ini. Padahal ada banyak orang yang meributkannya, khususnya akhir-akhir ini, ketika muncul fenomena yang kita bicarakan tadi.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Penjelasannya panjang.”

Dia tersenyum. “Kalau begitu, mari kita mulai sebelum tempat makan ini tutup.”

Saya ikut tersenyum, lalu berkata perlahan, “Dulu, waktu aku masih SMP, ada seorang pria yang meninggal dunia. Seperti biasa, pria yang meninggal itu dimandikan oleh seseorang yang disebut ‘lebe’ (modin). Ketika Pak Lebe sedang memandikan jenazah tersebut, datang seorang pria tetangga si jenazah, dan mendekati tempat pemandian. Dia, si pria tetangga itu, tiba-tiba meletakkan uang koin di pusar si jenazah. Setelah itu dia pergi begitu saja.”

“Dan siapa orang yang meninggal itu?”

“Aku tidak tahu siapa orang yang meninggal itu. Tetapi, orang yang meletakkan koin di pusarnya—si pria tetangganya—adalah orang di foto ini.”

Dia melihat ke ponselnya, memperhatikan foto yang masih terpampang di sana, lalu berkata dengan bingung, “Jadi, orang ini datang ke rumah tetangganya yang meninggal, yang waktu itu sedang dimandikan, lalu—tanpa babibu—dia meletakkan uang koin di pusarnya, begitu?”

“Ya,” saya mengangguk.

Dia menatap saya dengan bingung. “Kenapa dia melakukan itu? Maksudku, kenapa dia tiba-tiba mendatangi tetangganya yang meninggal, lalu meletakkan uang koin begitu saja di pusarnya?”

“Aku tidak tahu.”

“Kamu tidak terpikir mengonfirmasi hal itu ke Pak Lebe yang memandikan jenazah?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Mari kita lihat latar peristiwanya. Pertama, waktu itu aku masih SMP. Kedua, peristiwa itu terjadi di tempat yang cukup jauh, dan aku merasa tidak punya kepentingan apapun. Ketiga, orang yang fotonya ada di ponselmu—yang meletakkan koin di pusar si jenazah yang sedang dimandikan—waktu itu dikenal sebagai orang yang... yeah, aneh.”

“Jadi, ketika peristiwa itu terjadi, dia belum seterkenal sekarang?”

“Sama sekali belum! Waktu itu dia cuma dikenal sebagai orang kampung biasa, yang tingkahnya kadang dianggap aneh.”

Dia mengangguk-angguk. “Uhm, bagaimana cerita tadi—soal dia meletakkan koin di pusar jenazah—bisa tersebar hingga kamu tahu?”

“Itu peristiwa yang tidak lazim, dan hal-hal semacam itu biasanya mengalir dari satu percakapan ke percakapan lain. Di masa itu, kebetulan aku berteman dengan seseorang yang punya hubungan dengan orang-orang di sekitar orang aneh tadi, dan aku mendengar kisah aneh itu dari temanku. Tapi kisah itu memang terkonfirmasi, dalam arti memang benar terjadi, dan para tetangga di sana tahu semua.”

Dia kembali mengangguk-angguk. “Menurutmu sendiri... apa yang sebenarnya terjadi terkait peristiwa aneh itu?”

“Aku tidak yakin. Tapi menurutku, dia mungkin punya masalah semacam halusinasi, dan itu menjelaskan banyak hal yang kemudian terjadi, yang belakangan menempatkannya sebagai orang terkenal dan... kontroversial seperti sekarang.”

Lalu percakapan kami masuk ke topik itu secara intens, menggali peristiwa demi peristiwa, yang foto-foto dan beritanya telah ia siapkan di ponselnya. Ada banyak foto dan video, ada banyak peristiwa, ada banyak berita dan wawancara, dan semuanya melibatkan orang yang sama. Penelusuran itu akhirnya membawa kami pada kesimpulan yang sama.

Setengah jam kami membicarakan itu, dan akhirnya dia berkata, “Jadi itu penyebab kenapa kamu sama sekali tidak pernah menyebutnya dalam tulisanmu?”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, lalu menyahut, “Memangnya apa yang harus kukatakan? Dan kalaupun aku menjelaskannya, siapa yang akan percaya?”

“Jadi, terkait fenomena yang akhir-akhir ini terjadi...”

Dia sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, tapi saya paham maksudnya. “Iya, fenomena itu sebenarnya telah dimulai sejak berpuluh tahun lalu, dan yang sekarang terjadi adalah ledakannya.”

Sekali lagi, percakapan kami masuk secara intens ke dalam banyak peristiwa, dan sekali lagi dia membuka banyak dokumentasi di ponselnya. Ketika semuanya terkuak, dan dia memahami segalanya, kata yang keluar dari mulutnya adalah, “Ini semua sungguh gila...”

“Memang,” saya mengangguk, “dan itulah kenapa selama ini aku memilih diam saja.”

Pelayan lewat, dan kami memesan dua minuman baru. Ketika gelas-gelas minuman diantarkan, kami menyesapnya, lalu kembali menyulut rokok.

Saya menyandarkan punggung ke sandaran kursi, dan orang di depan saya tampak kembali membuka ponselnya.

Sesaat kemudian, dia berkata, “Ganti topik. Ada temanku di Semarang yang sangat ingin mendengar penjelasanmu soal ini, karena dia yakin kamu tidak menjelaskan semuanya di sini.” 

Dia menyodorkan ponselnya, dan saya mendapati tulisan saya sendiri di situs BSM. Sambil tersenyum, saya menyahut, “Kita sama-sama tahu apa artinya.”

Dia ikut tersenyum. “Kamu bersedia menjelaskannya? Dia bersedia membayar untuk itu.”

“Ya? How much?”

Dia menyebutkan sejumlah angka, dan saya mengangguk. “Deal.” 

Dia tersenyum senang. “Jadi, kapan kamu bisa menemui temanku? Aku akan mengantarmu.”

“Setelah uangnya masuk ke rekeningku.” 

Dia menelepon temannya, dan mereka bercaka-cakap. Lalu dia meminta nomor rekening saya, dan saya menyodorkan ponsel kepadanya. Dia mendiktekan nomor-nomor yang tertera di ponsel saya, dan sesaat kemudian dia menutup ponselnya.

“Cek rekeningmu,” ujarnya kepada saya.

Saya membuka ponsel, mengecek rekening, dan mengangguk puas.

Keesokan siangnya, kami pergi ke Semarang.

Hidayah dan Playboy

[Respons pada klaim seseorang di Twitter yang menyebut perusahaan yang menerbitkan Majalah Hidayah adalah perusahaan sama yang menerbitkan Majalah Playboy Indonesia dan Tabloid POP.]

Maaf, ini keliru. Majalah Hidayah tidak terkait dengan Playboy, juga tidak terkait dengan Tabloid POP. Banyak orang salah paham karena nama perusahaan yang mirip. Perusahaan yang menaungi Hidayah adalah PT Variapop Group. Sedangkan yang menaungi POP adalah PT Varia Pop Nusantara.

Dan perusahaan yang menerbitkan Playboy edisi Indonesia adalah PT Velvet Silver Media.

Tambahan: Majalah yang satu grup dengan Hidayah, di antaranya Paras, Anggun, Muslimah, dan Berita Indonesia (yang terakhir ini hanya beredar di Malaysia, dan dikonsumsi orang kita di sana).

Kalau-kalau ada yang penasaran dan bertanya-tanya kenapa aku bisa tahu soal ini, karena topik ini sebenarnya terkait dengan "pertempuran media" pada awal 2000-an. Waktu itu Indonesia booming media cetak, dan "perang besar" terjadi. Ceritanya panjang. Ntar malam aja, kalau selo.

[Ceritanya sudah kutulis di sini: Perang di Booming Balik Media Cetak Era 2000-an.]


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Agustus 2019.

Hanyalah Debu

Kau dan aku hanyalah 2 dari 7 miliar manusia, dan manusia hanyalah 1 dari 9 juta spesies di bumi, dan bumi hanyalah 1 dari 8 planet yang mengitari matahari, dan matahari hanyalah 1 dari 300 sextilliun (miliar triliun) bintang yang ada di alam semesta.

Kau dan aku hanyalah debu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juni 2019.

Manusia Berpikir, Tuhan Tertawa

Di utara Kosta Rika, dekat Tenorio Volcano National Park, ada sungai luar biasa indah bernama Rio Celeste. Sungai ini berwarna biru langit.

Bagaimana sungai itu bisa memiliki warna biru langit seindah itu? Kalau kita tanya masyarakat lokal, jawabannya sangat mencengangkan.

 “Setelah Tuhan menciptakan dunia dan seisinya,” menurut legenda setempat, “dan setelah selesai melukis langit dengan warna biru cemerlang, Tuhan lalu mencuci kuas-Nya di Sungai Kosta Rika yang indah. Karena itulah, sungai di sana memiliki warna yang sama dengan biru langit.”

Karena hal itu pula, Rio Celeste menjadi sungai yang dihormati sebagai tempat suci oleh masyarakat yang tinggal di sana.

Tapi benarkah Tuhan mencuci kuas-Nya di sana? Sebenarnya, warna biru di sungai itu “cuma” reaksi kimia antara uap sulfur dan kalsium karbonat di dasar sungai.

Imajinasi manusia memang luar biasa, kalau dipikir-pikir. Saat mereka menghadapi kenyataan yang sulit dipahami akal, mereka pun mengarang sendiri jawabannya, dan meyakini sepenuh hati bahwa itulah jawabannya. Karena itulah, mungkin, “manusia berpikir, dan Tuhan tertawa.”


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Juni 2019.

Hal Terpenting yang Seharusnya Dilakukan Anak Muda Indonesia

Apa hal terpenting yang seharusnya dilakukan anak muda Indonesia saat ini?
—@VICE_ID


Belajar. (Bahkan para malaikat di surga akan sepakat denganku.)
—@noffret


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Juli 2019.

Sangat Sederhana

Kadang-kadang cinta sangat sederhana. Kau membuka akun Twitter atau FB seseorang, dan kemudian jatuh cinta kepadanya. Sesederhana itu.

Kadang-kadang hidup sangat sederhana. Kau menemukan seseorang yang tepat seperti yang kauimpikan, dan hidup berubah warna. Sesederhana itu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Mei 2014.  

Merindukan Keponakan

Keponakanku sekarang udah besar, dan aku merindukan saat-saat dia masih kecil dulu, saat masih cadel dan lucu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Juni 2019.

Dianggap Benar Padahal Salah

Kebiasaan yang dilakukan banyak orang, dan dianggap sebagai hal benar, padahal salah: Merasa lebih tahu tentang orang lain.

Orang lain melakukan sesuatu, dan kita berasumsi. Orang lain tidak melakukan sesuatu, dan kita berasumsi. Lalu kita meyakini asumsi kita benar. Padahal, sesuatu disebut asumsi justru karena ia tidak benar. Karena itulah asumsi sering dicibir sebagai "ass-u-me".

"Tapi aku tidak berasumsi..."

Lalu apa? Melakukan penelitian ilmiah? Menyandarkan pikiran/keyakinan pada perkiraan yang dasarnya rapuh (tidak kuat/tidak lengkap), itu namanya asumsi. Karena itulah karya ilmiah membutuhkan referensi/penelitian, untuk membedakannya dengan asumsi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Juni 2019.

Wong-wong Ora Ilmiah

Sudah ada perumahan islami, sekarang kita mungkin membutuhkan perumahan akademis, yaitu tempat orang-orang bisa hidup dengan damai, ilmiah, dan akademis, saling menghargai dan menghormati tapi tidak saling ngerusuhi.

Kalau ada perumahan semacam itu, aku mau beli.

Urip karo wong-wong ora ilmiah memang nggateli. Karena kita harus selalu sama seperti mereka. Bahkan mereka masuk ke lubang biawak, kita harus ikut masuk terjebak di lubang bawak. Hukum yang berlaku dalam kehidupan orang-orang tidak akademis cuma satu: Kau berbeda, kau salah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2019.

Never Rest

The best is never rest.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 5 Mei 2014.  

 
;