Jumat, 01 November 2024

Malam Minggu, Sebuah Percakapan

Malam Minggu, di tempat makan langganan, saya duduk di sebuah meja yang kosong, menikmati makan malam sendirian. Masing-masing meja di tempat makan itu memiliki empat kursi, tapi saya hampir selalu sendirian di salah satu meja.

Usai makan, saya menyesap minuman di gelas, lalu menyulut rokok. Semenit kemudian, seseorang mendatangi meja saya, dan kami saling sapa dengan ramah. Dia lalu duduk di salah satu kursi, dan kami bercakap-cakap. 

Seiring percakapan, kami membicarakan suatu fenomena yang sedang ramai di mana-mana, dan dia mengeluarkan ponselnya. Dia membuka suatu halaman di layar ponsel, lalu menyodorkannya di atas meja.

Di layar ponsel, saya melihat foto seseorang yang tidak asing. “Kamu pasti mengenal orang ini,” dia berujar.

“Ya,” saya mengangguk.

“Aku telah memindai ribuan catatan yang kamu tulis di internet—di blog, di media sosial, juga di situsmu—dan tidak satu kali pun kamu pernah menyebut nama orang ini. Padahal ada banyak orang yang meributkannya, khususnya akhir-akhir ini, ketika muncul fenomena yang kita bicarakan tadi.”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu berkata, “Penjelasannya panjang.”

Dia tersenyum. “Kalau begitu, mari kita mulai sebelum tempat makan ini tutup.”

Saya ikut tersenyum, lalu berkata perlahan, “Dulu, waktu aku masih SMP, ada seorang pria yang meninggal dunia. Seperti biasa, pria yang meninggal itu dimandikan oleh seseorang yang disebut ‘lebe’ (modin). Ketika Pak Lebe sedang memandikan jenazah tersebut, datang seorang pria tetangga si jenazah, dan mendekati tempat pemandian. Dia, si pria tetangga itu, tiba-tiba meletakkan uang koin di pusar si jenazah. Setelah itu dia pergi begitu saja.”

“Dan siapa orang yang meninggal itu?”

“Aku tidak tahu siapa orang yang meninggal itu. Tetapi, orang yang meletakkan koin di pusarnya—si pria tetangganya—adalah orang di foto ini.”

Dia melihat ke ponselnya, memperhatikan foto yang masih terpampang di sana, lalu berkata dengan bingung, “Jadi, orang ini datang ke rumah tetangganya yang meninggal, yang waktu itu sedang dimandikan, lalu—tanpa babibu—dia meletakkan uang koin di pusarnya, begitu?”

“Ya,” saya mengangguk.

Dia menatap saya dengan bingung. “Kenapa dia melakukan itu? Maksudku, kenapa dia tiba-tiba mendatangi tetangganya yang meninggal, lalu meletakkan uang koin begitu saja di pusarnya?”

“Aku tidak tahu.”

“Kamu tidak terpikir mengonfirmasi hal itu ke Pak Lebe yang memandikan jenazah?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Mari kita lihat latar peristiwanya. Pertama, waktu itu aku masih SMP. Kedua, peristiwa itu terjadi di tempat yang cukup jauh, dan aku merasa tidak punya kepentingan apapun. Ketiga, orang yang fotonya ada di ponselmu—yang meletakkan koin di pusar si jenazah yang sedang dimandikan—waktu itu dikenal sebagai orang yang... yeah, aneh.”

“Jadi, ketika peristiwa itu terjadi, dia belum seterkenal sekarang?”

“Sama sekali belum! Waktu itu dia cuma dikenal sebagai orang kampung biasa, yang tingkahnya kadang dianggap aneh.”

Dia mengangguk-angguk. “Uhm, bagaimana cerita tadi—soal dia meletakkan koin di pusar jenazah—bisa tersebar hingga kamu tahu?”

“Itu peristiwa yang tidak lazim, dan hal-hal semacam itu biasanya mengalir dari satu percakapan ke percakapan lain. Di masa itu, kebetulan aku berteman dengan seseorang yang punya hubungan dengan orang-orang di sekitar orang aneh tadi, dan aku mendengar kisah aneh itu dari temanku. Tapi kisah itu memang terkonfirmasi, dalam arti memang benar terjadi, dan para tetangga di sana tahu semua.”

Dia kembali mengangguk-angguk. “Menurutmu sendiri... apa yang sebenarnya terjadi terkait peristiwa aneh itu?”

“Aku tidak yakin. Tapi menurutku, dia mungkin punya masalah semacam halusinasi, dan itu menjelaskan banyak hal yang kemudian terjadi, yang belakangan menempatkannya sebagai orang terkenal dan... kontroversial seperti sekarang.”

Lalu percakapan kami masuk ke topik itu secara intens, menggali peristiwa demi peristiwa, yang foto-foto dan beritanya telah ia siapkan di ponselnya. Ada banyak foto dan video, ada banyak peristiwa, ada banyak berita dan wawancara, dan semuanya melibatkan orang yang sama. Penelusuran itu akhirnya membawa kami pada kesimpulan yang sama.

Setengah jam kami membicarakan itu, dan akhirnya dia berkata, “Jadi itu penyebab kenapa kamu sama sekali tidak pernah menyebutnya dalam tulisanmu?”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, lalu menyahut, “Memangnya apa yang harus kukatakan? Dan kalaupun aku menjelaskannya, siapa yang akan percaya?”

“Jadi, terkait fenomena yang akhir-akhir ini terjadi...”

Dia sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, tapi saya paham maksudnya. “Iya, fenomena itu sebenarnya telah dimulai sejak berpuluh tahun lalu, dan yang sekarang terjadi adalah ledakannya.”

Sekali lagi, percakapan kami masuk secara intens ke dalam banyak peristiwa, dan sekali lagi dia membuka banyak dokumentasi di ponselnya. Ketika semuanya terkuak, dan dia memahami segalanya, kata yang keluar dari mulutnya adalah, “Ini semua sungguh gila...”

“Memang,” saya mengangguk, “dan itulah kenapa selama ini aku memilih diam saja.”

Pelayan lewat, dan kami memesan dua minuman baru. Ketika gelas-gelas minuman diantarkan, kami menyesapnya, lalu kembali menyulut rokok.

Saya menyandarkan punggung ke sandaran kursi, dan orang di depan saya tampak kembali membuka ponselnya.

Sesaat kemudian, dia berkata, “Ganti topik. Ada temanku di Semarang yang sangat ingin mendengar penjelasanmu soal ini, karena dia yakin kamu tidak menjelaskan semuanya di sini.” 

Dia menyodorkan ponselnya, dan saya mendapati tulisan saya sendiri di situs BSM. Sambil tersenyum, saya menyahut, “Kita sama-sama tahu apa artinya.”

Dia ikut tersenyum. “Kamu bersedia menjelaskannya? Dia bersedia membayar untuk itu.”

“Ya? How much?”

Dia menyebutkan sejumlah angka, dan saya mengangguk. “Deal.” 

Dia tersenyum senang. “Jadi, kapan kamu bisa menemui temanku? Aku akan mengantarmu.”

“Setelah uangnya masuk ke rekeningku.” 

Dia menelepon temannya, dan mereka bercaka-cakap. Lalu dia meminta nomor rekening saya, dan saya menyodorkan ponsel kepadanya. Dia mendiktekan nomor-nomor yang tertera di ponsel saya, dan sesaat kemudian dia menutup ponselnya.

“Cek rekeningmu,” ujarnya kepada saya.

Saya membuka ponsel, mengecek rekening, dan mengangguk puas.

Keesokan siangnya, kami pergi ke Semarang.

 
;