Rabu, 01 Januari 2025

Uang adalah Bagian Passion

Terlepas bahwa dia cenderung misoginis, arogan, dan “agak gila”, Andrew Tate orang yang cerdas dan berwawasan. Karenanya, saya juga kadang menyimak ocehan-ocehannya, khususnya ketika dia sedang “waras”—meski, sewaras-warasnya Tate, tetap saja agak gila.

Salah satu ocehan Tate yang frontal tapi membuat saya cekikikan adalah soal passion dalam bekerja. Dia mengatakan, “Kalau kau menawariku sejuta dolar untuk menggali sebuah lubang, aku akan menggali lubang itu dengan sepenuh hatiku, dengan segenap passion-ku!” 

Ketika ocehannya dibantah bahwa passion tidak sedangkal itu, Tate memberi contoh orang (tukang) pembuat beton. “Apakah kau berpikir dia (pembuat beton) memiliki passion terhadap pekerjaan membuat beton?” ujarnya. “No! Dia bekerja untuk menghasilkan uang!”

Ocehan Tate soal kerja, passion, dan uang, sebenarnya masih panjang, dan sangat bagus, tapi biar saya potong sampai di situ. Karena, ketika sampai pada ocehan tadi, saya introspeksi diri, dan—pada akhirnya harus mengakui—bahwa ocehan Tate memang ada benarnya.

Menulis, misalnya, adalah passion yang saya miliki. Saya suka menulis, karena dengan menulislah saya bisa “memindahkan” isi pikiran pada medium lain (tulisan). Saya bahkan telah menulis secara rutin di blog selama lima belas tahun, tanpa ada yang membayar. That’s passion!

Tetapi, jika ada dua orang yang menawari saya menulis hal sama (misal artikel dengan topik serupa), dan yang satu menawarkan 300 ribu sementara satunya menawarkan 3 juta... saya akan memilih yang bayarannya tiga juta!

Passion bukan berarti seseorang mau mengerjakan sesuatu untuk pihak lain tanpa dibayar atau dibayar murah. Passion, dalam perspektif saya, adalah kecintaan mengerjakan sesuatu, yang memungkinkan seseorang menghasilkan hal terbaik. Dan salah satu “hal terbaik” adalah uang!

Bertahun lalu, ada orang terkenal yang punya ide, dan mencari partner yang bisa membantu mewujudkan idenya. Banyak orang lalu menghubunginya, termasuk saya. 

[Sekadar catatan, saya ikut menghubunginya waktu itu bukan semata karena idenya, juga bukan karena dia orang terkenal, tapi karena momentumnya. Bagi saya, kunci penting menghasilkan kesuksesan suatu karya adalah momentum yang tepat. Saya telah belajar bahwa ide hebat akan percuma jika momentumnya tidak ada atau tidak tepat. Sebaliknya, ide yang biasa-biasa saja bisa menghasilkan kesuksesan luar biasa jika momentumnya tepat.]

Waktu itu, momentumnya tepat untuk orang tadi, hingga saya tertarik. Jadi, saya menghubunginya. Dan dia merespons, lalu kami ketemuan untuk membicarakannya lebih lanjut. 

Ada puluhan orang terkenal yang menghubunginya waktu itu. Kenapa dia memilih saya di antara yang lain?
 
Karena, ketika saya menghubunginya, inilah yang saya katakan, “Kalau kamu memilihku untuk mengerjakan proyek ini, kita tidak hanya akan mewujudkan impianmu, tapi juga akan menghasilkan uang dalam jumlah sangat besar!” 

Itu tawaran yang tidak bisa ditolak, dan benar-benar saya wujudkan.

Ketika proyek itu selesai, kami sama-sama tahu bahwa lebih dari 50 persen pekerjaan itu merupakan karya saya. Tapi saya mengatakan kepadanya, “Kamu boleh klaim semuanya sebagai hasil karyamu, dan aku tidak masalah. Kamu artisnya. Aku hanya butuh persentase bagianku.” 

Dia puas dengan hasil proyek itu, karena mendongkrak reputasi dan popularitasnya berkali-kali lipat, dan saya puas dengan bagian saya. 

That’s passion!

Nasihat Lama yang Relevan

Nasihat lama yang masih bisa dipakai, "Jangan memancing ikan dengan roti."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 April 2014.  

Uang, Seks, dan Popularitas

Setidaknya ada tiga hal besar yang memotivasi orang untuk melakukan sesuatu. Yang pertama uang, yang kedua seks, dan yang ketiga popularitas. Tiga hal itulah yang menggerakkan banyak orang untuk melakukan aneka hal yang rasional sampai yang tak masuk akal.

Jutaan orang berangkat kerja pagi hari, lalu pulang sore atau malam hari, demi apa? Sederhana saja; uang. 

Banyak pula orang yang melakukan hal-hal konyol tak masuk akal agar viral di medsos—demi popularitas!

Di balik hal-hal tampak—seperti orang yang sibuk bekerja atau sibuk pansos—ada pria-pria yang rela menghabiskan banyak waktu demi nyepik para wanita, kadang sampai berhari-hari, kadang berbulan-bulan—demi apa? Seks! 

Secara sederhana, begitulah Homo sapiens.

Memang ada orang-orang yang melampaui tiga hal itu—jenis orang yang masuk dalam perspektif Abraham Maslow, yaitu orang yang “butuh aktualisasi diri”. Mereka mungkin tidak peduli popularitas, tidak peduli uang, juga tidak peduli seks. Asal hidup nyaman, sudah cukup.

Tapi akui saja, rata-rata kita tergolong orang biasa yang masih kesulitan menolak tiga hal tadi, khususnya jika kita diminta melakukan sesuatu. 

Uang, seks, dan popularitas. Itulah motivasi terbesar Homo sapiens. 

Kalau kamu ingin seseorang tertarik melakukan sesuatu yang kamu inginkan, tawarkan popularitas kepadanya. Jika dia tidak butuh popularitas, tawarkan seks. Jika tidak mungkin menawarkan seks, hanya ada satu cara lain: Tawarkan uang—maksudku, uang yang banyak!

Resep Sehat yang Sulit Dibantah

Tidur siang 1 jam [dan invoice cair Rp 100 juta] bisa membantu menyegarkan tubuh dan pikiran.

Rutin olah raga [dan rutin mendapat pemasukan Rp 100 juta] bisa membantu kita mengelola stres.

Minum air putih 8 gelas per hari [dan penghasilan Rp 100 juta per bulan] bisa membantu menyehatkan tubuh dan pikiran.

Waktu Berlalu, Pikiran Bisa Berubah

Kalau introspeksi, banyak pemikiranku sekarang yang berbeda dengan pemikiranku sepuluh tahun yang lalu. Menurutku itu biasa saja, bahkan menunjukkan kalau aku—sebagai pribadi—terus berkembang. Justru aneh kalau aku sekarang masih sama seperti aku sepuluh tahun lalu.

Orang yang aktif di media sosial semacam Twitter atau blog, biasa menuliskan pemikiran-pemikirannya. Sangat riskan kalau kita mengambil tulisan/pemikirannya sekian tahun lalu untuk mengonfrontasikannya dengan pemikiran dia sekarang. Waktu berlalu, pikiran bisa berubah.

Jangankan waktu hitungan tahun, bahkan dalam hitungan hari pun pikiran seseorang bisa berubah. Karenanya sangat aneh kalau misal aku ngetwit sesuatu, misalnya, lalu ada orang mengonfrontasikan twit lamaku, atau tulisanku di blog, yang berbeda dengan pemikiranku sekarang.

Kalau kita ketemu teman SMA, dan dia tampak menua sementara kita masih seperti anak SMA, dia pasti heran, dan bertanya, “Kenapa kamu masih sama seperti dulu?” 

Kita percaya wujud fisik orang harus berubah seiring usia, tapi kita heran ketika pikiran mereka berubah. 

Ironis!

Bisa Berubah

Aku belajar bahwa pikiran manusia bisa berubah, sebagaimana hati yang bisa berubah, atau kehidupan yang juga bisa berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2014.  

Biasanya Memang Begitu

Jika sesuatu tidak memiliki alasan yang masuk akal, biasanya memang begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2014.  

Usai Mandi

Usai mandi. Secangkir cokelat panas, sebatang rokok, selembar hening, dan setangkup kegalauan. Sempurna.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2014.  

Tak Pasti

Lemah rasa kakiku melangkah pergi. Menuju ke destinasi tak pasti. #nyanyi


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Mei 2014.  

Langkah dan Perjalanan

Karena perjalanan satu mil, kata pepatah, dimulai dari langkah pertama.

 
;