Senin, 20 Januari 2025

Solusi Objektif dan Solusi Subjektif

Buku di bawah ini, kalau aku tidak salah duga—dan hampir bisa dipastikan benar—diterjemahkan dari salah satu buku Karl Popper, berjudul All Life is Problem Solving. 

[Tweet buku Karl Popper—tidak tersemat di tweet-ku, jadi sulit cari arsipnya] 

Apakah isinya bagus? Menurutku sangat bagus. Dan semoga buku terjemahannya sebagus bahasa aslinya.

Popper tampaknya sangat serius memikirkan solusi. Salah satu kalimatnya yang terkenal, terkait solusi, “... no way to demonstrate the truth or, at least, high probability of our theories; the theory that we obtain our general theories by inductive generalization from experience.”

Berdasarkan ocehan Karl Popper yang mungkin terdengar absurd [tapi sangat penting] itu, aku jadi gatal ingin ngoceh soal solusi...

Sambil nunggu udud habis.

Solusi adalah jalan keluar untuk mengatasi masalah. Ada solusi yang bersifat objektif, ada pula solusi yang bersifat subjektif. 

Solusi objektif adalah solusi berbasis penelitian ilmiah, sementara solusi subjektif adalah solusi—yang sering kali—berbasis pengalaman pribadi.

Solusi objektif, yang berbasis penelitian ilmiah, umumnya dapat digunakan untuk hampir semua orang. 

Contoh, solusi mengatasi sakit kepala adalah mengonsumsi obat sakit kepala. Obat sakit kepala adalah solusi berbasis penelitian ilmiah, dan itu bisa digunakan kebanyakan orang.

Sebaliknya, solusi subjektif adalah solusi berbasis pengalaman/keyakinan pribadi, yang mungkin dapat digunakan diri sendiri dan beberapa orang, tapi belum tentu sesuai untuk semua orang. 

Di titik ini, kita kadang kesandung dalam “memaksakan suatu solusi” pada orang lain.

Kalau kita memaksakan suatu solusi pada orang lain, dan orang yang diberi solusi malah jengkel, bisa jadi karena solusi yang kita berikan adalah solusi subjektif yang kita anggap tepat atau manjur (karena kita menganggapnya begitu), tapi belum tentu akan cocok untuk semua orang.

Agar penjelasan ini tidak menyinggung siapa pun, aku akan menggunakan diri sendiri (yang kulakukan) sebagai contoh. 

Salah satu solusiku ketika stres adalah pergi (ziarah) ke Wonobodro (desa di atas bukit yang masuk kawasan Batang, Jawa Tengah). Itu tempat yang sangat terkenal.

Di atas bukit Wonobodro, ada makam orang-orang terkenal—masyarakat menyebut mereka wali—salah satunya adalah makam Ki Ageng Wonobodro, orang yang mendirikan Pekalongan. Kalau pas haul, kompleks pemakaman itu dikunjungi ribuan orang dari mana-mana.

Tapi aku lebih suka ziarah ke Wonobodro di hari-hari biasa, sehingga bisa menikmati keheningan di sana. 

Karena berada di atas bukit, suasana di sana begitu adem, tenang, sunyi, dan, setiap berada di sana, aku merasakan ketenteraman sekaligus keheningan yang mendamaikan.

Di sana juga ada aliran air alami, semacam got tapi airnya bersih dan sangat jernih. Kalau aku membasuh muka dengan air di sana, aku merasa sedang membasuh muka dengan mata air surga, saking segarnya. 

Wonobodro adalah tempat sempurna bagi penyuka kesendirian sepertiku.

Jadi, seperti kubilang tadi, aku selalu ziarah ke Wonobodro setiap kali stres. Sering kali bersama teman, yang juga suka berziarah. Kalau pas tidak ada teman, aku ke sana sendirian. 

Selama berada di Wonobodro, menikmati hening, aku merasa seperti baterai yang di-charge ulang.

Karenanya, begitu pulang dari Wonobodro, aku merasa stresku jauh berkurang, energiku bertambah, pikiranku lebih jernih, bahkan hatiku lebih damai, dan aku pun merasa lebih mampu melanjutkan hidup dengan segala problematikanya. Optimismeku meningkat.

Ziarah adalah obat stresku.

Ziarah ke Wonobodro adalah solusi bagiku ketika stres dan lelah. Tapi itu solusi berbasis pengalaman pribadi. 

Artinya, solusi itu mungkin cocok bagiku—dan bagi sebagian orang lain—tapi belum tentu cocok untuk semua orang. Nyatanya ada orang-orang yang justru tak suka ziarah.

Jadi kalau misal ada orang lagi stres dan aku menyodorkan solusi “ziarah ke makam wali”, solusi itu akan terasa dan terdengar benar bagiku, tapi belum tentu akan benar pula baginya. Karena terkait solusi berbasis pribadi, orang per orang juga punya cara sendiri yang bisa berbeda.

Hal itu berbeda dengan solusi berbasis penelitian ilmiah, yang contohnya tadi obat sakit kepala. 

Kalau misal ada orang lagi sakit kepala, dan aku menyarankan, “Coba minum Oskadon.” Dia tidak akan marah, karena Oskadon memang telah diakui secara umum sebagai obat sakit kepala.

Kalaupun ternyata dia tidak cocok dengan Oskadon, paling-paling jawabannya, “Aku lebih suka minum Bodrex,”—misalnya. 

Solusi berbasis penelitian ilmiah bisa disampaikan pada semua orang, tapi belum tentu dengan solusi berbasis pengalaman pribadi. Ini sepele, tapi sangat penting.

Sekalian, mumpung ingat, dan kayaknya relate dengan ocehan ini, catatan baru di blog: Terdengar Benar dan Terasa Benar, tapi Belum Tentu Benar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 22 November 2022.

Kita Berubah Seiring Waktu

Ocehan di Twitter ini memang kadang bisa bermasalah, karena kita ngoceh sewaktu-waktu berdasarkan yang kita rasakan atau pikirkan "waktu itu". Padahal "yang kita pikirkan/rasakan waktu itu" bisa saja kini telah berubah, karena diri dan hidup kita juga tentu telah berubah.

Sepertinya sih rata-rata orang begitu—termasuk aku, tentu saja. Bisa jadi, saat ini kita ngetwit secara bijak, kalem, dan santun, sementara dulu isi twit kita cuma sange, ngewe, sange, ngewe, dan begitu seterusnya. Menurutku sih wajar-wajar saja, karena orang selalu bisa berubah.

Bisa jadi yang dulunya memang nakal, kini telah insaf dan benar-benar berusaha menjadi pribadi yang (lebih) baik. Kehidupan manusia selalu bisa berubah, diri serta cara berpikir orang per orang juga selalu bisa berubah. Itu hal biasa, dan kita tidak perlu repot menyangkalnya.

Jangankan twit yang bersifat ocehan spontan, bahkan tulisan di blog pun kadang tidak lagi sesuai pikiran dan kehidupan penulisnya. Ada banyak tulisanku di blog tujuh tahun lalu, misalnya, yang saat ini sudah tidak relevan dengan cara berpikirku. Dan itu, sekali lagi, hal biasa.

Susahnya, tulisan di Twitter atau di blog selalu tetap (tidak berubah), padahal kehidupan dan cara berpikir kita terus berubah. Sesuatu yang kita anggap keren sekian tahun lalu bisa jadi kita anggap konyol sekarang. Pikiran kita berubah, tapi twit/tulisan kita dulu masih ada.

Secara pribadi, aku tidak merisaukan hal-hal semacam itu, bahkan twit/tulisanku yang dulu jadi semacam cermin bahwa aku yang sekarang memang (semoga) lebih baik dari aku yang dulu. Jadi kalau umpama ada yang mengorek-ngorek twit lamaku, paling-paling aku cuma tertawa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Januari 2020.

Musik Jatuh Hati

Kebiasaan memutar suatu lagu secara terus menerus saat jatuh cinta atau saat patah hati memiliki sebutan ilmiah; music-evoked autobiographical memory.

Musik itu ajaib. Bukan hanya keindahannya, tapi juga karena mampu membantu kita mengelola emosi, khususnya saat jatuh cinta atau patah hati. Saat mendengarkan musik indah ketika jatuh cinta, tubuh kita akan melepaskan banyak dopamin, dan itu memberi rasa bahagia.

Sebaliknya, saat mendengarkan musik ketika patah hati, lagu sedih memicu pelepasan endorfin pada tubuh kita, dan itu meredakan stres serta membantu kita merasa lebih tenang. Jadi wajar kalau banyak dari kita suka mendengarkan musik tertentu saat jatuh cinta atau patah hati.

Mengingatkan Diri Sendiri

Aku selalu mengingatkan diri sendiri, setiap orang menghadapi masalahnya masing-masing, bahkan meski kita mungkin meyakini dia tak punya masalah.

Ada orang-orang yang tampak selalu senang dan gembira, tapi sebenarnya diam-diam sedang menghadapi masalah. Ada pula yang terang-terangan menunjukkan dia sedang menghadapi masalah. Tapi belum pernah aku kenal seorang pun yang tidak punya masalah apapun.

Hal Paling Pahit

Setiap kali berurusan dengan manusia, aku selalu mengingat ucapan Ali bin Abi Thalib, "Aku telah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia."

Jadi, setiap kali ada yang mempersulitku, aku akan bilang kepadanya, "Persetan denganmu!"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2020.

Belum Tentu

"Semakin sulit kamu mendapatkannya, semakin kamu akan menghargainya," kata orang-orang. 

Sayangnya, belum tentu. Ada hal-hal yang kudapatkan dengan sangat sulit, tapi belakangan cuma bikin aku membatin, "Ternyata cuma gitu..."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 9 Februari 2020.

Idiot di Dapur

Ketika memasuki dapur, aku mendapati tutup panci sedang bertanya pada termos, “Congkrahmu bagaimana?”

Sebelum termos sempat menjawab, aku bertanya, “Congkrah itu apa?”

Termos menyahut, “Kamu Homo sapiens tahu apa?”

Di hadapan benda-benda mati di dapur, aku merasa idiot.

Mikir Hewan Mikir Apa

Kalau lihat hewan-hewan bertingkah aneh atau lucu, aku mesti mikir, "Kira-kira apa yang mereka pikirkan?"


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Februari 2020.

Nikmat Sekali

Kalau habis makan bakso, terus minum segelas besar air putih, rasanya nikmat sekali.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Februari 2020.

Menggepuk Batu Bata Lagi

Ooh... menggepuk batu bata lagi.

Krum

Uwong kok dikrum.

Jumat, 10 Januari 2025

Orang-Orang Bodoh

Percakapan selalu diawali sesuatu, bisa peristiwa, berita terbaru, karena seseorang mencetuskan pikirannya, bisa pula karena kabar terkait salah satu tetangga. Apa pun bisa jadi percakapan. Yang membedakan adalah cara orang per orang menjadikan hal-hal itu sebagai percakapan.

Biasanya, orang-orang pintar membicarakan hal-hal esensial, yang penting, dan malas membicarakan hal-hal remeh yang tidak penting. 

Sebaliknya, orang-orang bodoh senang membicarakan hal-hal remeh yang tidak penting, karena mereka tidak mampu membicarakan hal-hal penting.

Contoh. Ada orang suka menyalakan lampu depan rumahnya pada sore hari, bukan setelah malam. Alasannya sepele, karena ia sering lupa menyalakan lampu depan rumah kalau malam. Jadi ia sengaja menyalakannya sore hari, bersamaan saat menyalakan lampu ruang tamu, agar tidak kelupaan.

Itu hal sepele, dan orang-orang pintar biasanya malas membicarakan hal-hal remeh seperti itu. 

Bagi orang pintar, kamu mau menyalakan lampu depan rumahmu pada sore hari atau malam hari, bodo amat! Wong itu lampu rumahmu sendiri, dan kamu sendiri pula yang bayar listriknya!

Tapi orang bodoh tertarik membicarakan hal remeh temeh seperti itu. Dengan kadar otaknya yang minim, mereka bisa saja membuat “teori” kenapa orang menyalakan lampu depan rumahnya sore hari. Lalu menyimpulkan, misalnya, “Ooh, mungkin karena dia ingin dianggap tidak di rumah.”

Apakah itu terdengar konyol? Jelas! Tapi orang bodoh tidak sadar kalau itu konyol. Sebaliknya, mereka merasa dirinya pintar, karena bisa menemukan “teori konyol” itu. 

Contoh lain. Ada orang yang seharian tidak keluar rumah, karena sangat sibuk, dan baru keluar saat larut malam.

Dia baru keluar rumah saat larut malam, karena mencari makan, setelah seharian mengurusi kesibukannya, hingga tidak ingat makan.

Itu hal remeh, kan?

Tapi orang bodoh senang mengurusi hal remeh. Karena melihat tetangganya baru keluar larut malam, dia pun menyusun “teori-teori”.

Menurut “teori” si orang bodoh, tetangganya seharian tidak keluar rumah, dan baru keluar setelah larut malam, karena ingin dikira sedang pergi. 

“Mungkin dia takut didatangi orang yang akan menagih utang,” pikirnya. Dia merasa hebat dengan teori itu, padahal salah, juga konyol!

Contoh lain lagi. Ada orang yang setiap hari sampai malam biasa membuka jendela kamarnya, dan jendela yang terbuka itu bisa terlihat dari depan rumah. 

Suatu waktu, orang itu menutup jendela kamarnya, karena nyamuk sangat banyak, atau karena cuaca dingin. Itu hal remeh, kan?

Tetapi, sekali lagi, orang bodoh suka memikirkan dan membicarakan hal-hal remeh. Hanya karena melihat jendela tertutup—padahal biasanya terbuka—dia pun menyusun “teori-teori”. Dan sama seperti sebelum-sebelumnya, “teori”-nya juga salah total, tapi dia merasa dirinya pintar!

Orang bodoh yang sadar dirinya bodoh itu baik, karena dari kesadaran itu dia bisa belajar, dan memperbaiki diri.

Yang bermasalah adalah orang bodoh yang merasa dirinya pintar, hingga tidak mau belajar, bahkan koar-koar bangga tentang “teori-teori” bikinannya ke orang-orang lain.

Sering kali, masalah sosial diawali hal-hal semacam ini, ketika ada orang bodoh merasa dirinya pintar, lalu menyusun “teori goblok” yang ia anggap hebat, lalu “mendiskusikan teori goblok” bikinannya ke orang-orang lain. 

Inilah awal mula sesuatu yang disebut ghibah.

Selalu ingat hal penting ini:

Orang pintar membicarakan ide, wawasan, atau perspektif mereka.

Orang biasa membicarakan berita atau peristiwa.

Sementara orang bodoh suka ber-ghibah, membicarakan orang lain, dengan tujuan menjelek-jelekkan. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffet, 16 Desember 2022.

Lupa dan Ingatan

Orang sering berpikir, “lupa” adalah kelemahan. Padahal “lupa” adalah kemampuan. Disebut kelemahan jika “pelupa” atau “mudah lupa”. Kalau sekadar “lupa”, itu kemampuan. Secara biologis, manusia memiliki kemampuan untuk lupa, agar bisa menjalani hidup normal.

Lupa adalah bagian dari sifat Homo sapiens. Sama seperti sifat-sifat lain, ada yang kadarnya rendah, sangat rendah, tinggi, hingga sangat tinggi. Kenyataan ini sering kita lupakan, hingga kita menilai atau mengharapkan orang-orang lain memiliki kadar lupa [atau kadar ingatan] yang sama seperti kita.

Ada orang yang mengalami kejadian hari ini, dan lusa atau beberapa hari ke depan sudah lupa. Tapi juga ada orang yang mengalami kejadian hari ini, dan bertahun-tahun kemudian tetap ingat—bukan hanya ingat, orang semacam itu bahkan biasanya bisa menyebutkan detail kejadian sesuai aslinya.

Dan mereka bisa mengingat kejadian bertahun lalu secara detail itu bukan karena berusaha mengingat—tapi semata-mata karena ingatan itu menempel begitu saja. Karenanya, seperti disebut tadi, manusia memiliki kemampuan untuk lupa, agar bisa menjalani hidup normal. 

Mungkin kita mengenal orang-orang yang mudah melupakan sesuatu di masa lalu, hingga enteng saja mengatakan, “Sing wis yo wis (yang sudah ya sudah).” 

Tapi tidak semua orang seperti itu, karena tidak semua orang bisa mudah melupakan sesuatu. Ada orang-orang yang “selalu ingat”.

Dan orang-orang yang “selalu ingat” itu akan terus membawa ingatannya sampai kapan pun. Kita melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu kepadanya, dan bertahun-tahun yang akan datang kita mungkin sudah lupa—tapi dia akan tetap ingat. Kita terus menua, tapi dia akan tetap ingat. 

“Ingatan itu seperti pisau tajam, Hannibal,” kata Lady Murasaki pada Hannibal Lecter. 

Dia benar, tentu saja. Tetapi, sayang, Hannibal Lecter tak pernah lupa.

Preferensi Pasangan

Umumnya, orang punya preferensi pribadi terkait pasangan yang ingin dimiliki. Dari tampilan fisik sampai kebiasaan. Kalau boleh menyarankan, sebaiknya cari pasangan yang benar-benar sesuai preferensi pribadimu, dan jangan berpikir kamu akan bisa mengubahnya seiring waktu.

Misal, kalau kamu perempuan dan ingin pasangan yang tidak merokok, sebaiknya sejak awal cari pria yang memang tidak merokok. Jangan pernah berpikir kamu akan bisa mengubah dan menghentikan kebiasaan merokoknya, karena itu tidak akan terjadi, dan membuatmu makan hati.

Pria mungkin memang mau dan mampu mengubah kebiasaannya, dalam hal ini kebiasaan merokok. Tapi sering kali itu berdasar kesadaran pribadi, bukan karena dipaksa-paksa pasangannya. Jadi tidak usah bermimpi jadi “bidadari penyelamat” yang akan bisa mengubah pasanganmu.

Me Irl

Dari pengalaman kopdar, akun yg twitnya gahar, ceplas ceplos, cenderung asik di real world. Yang twitnya pencitraan? No comment —@SilkSp3ctr3

Me irl.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2020.

Reuni

Tadi ketemu teman yang bercerita tentang reuni SMP yang didatanginya. Reuni itu terjadi 2 tahun lalu, dan sejak itu semua orang yang datang membuat grup di WhatsApp untuk melanjutkan komunikasi—atau istilah mereka; menjalin silaturrahmi antarkawan SMP.

Tiga bulan setelah gabung dengan grup WA itu, teman saya keluar. Alasannya, seperti yang tadi ia katakan, “Sungguh menakjubkan, betapa waktu puluhan tahun telah mengubahku begitu banyak, hingga jauh berbeda... tapi sama sekali tidak mengubah mereka.” 

Hujan Bikin Lapar

Nyeruput cokelat hangat dan udud, jadi ingin ngoceh.

Hujan ini membuatku mudah kelaparan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 17 Januari 2020.

Untung Gak Ketiduran

Barusan turun dari kamar dan kaget, dan baru sadar, tempatku ternyata banjir. Untung tadi gak ketiduran.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Januari 2020.

Terdengar Magis tapi Merusak

Dan tiba-tiba aku ingat, betapa seringnya mendengar kalimat itu, "Ya udah, jalannya begini." 

Kalimat yang terdengar manis dan terkesan magis, padahal sering kali merusak.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 28 Januari 2020.

Mari Hapus Istilah Diamankan

Sampai sekarang, media-media di Indonesia masih menggunakan istilah “diamankan” untuk menyebut atau mengganti istilah “ditangkap”. Padahal istilah “diamankan” itu sering kali tidak relevan, ambigu, konotatif, dan eufemistik—sesuatu yang mestinya dijauhi dalam kerja jurnalistik.

“Diamankan” itu istilah warisan Orde Baru, ketika segala hal sengaja dibuat eufemistik untuk menjauhkan kesadaran dari realitas. 

Pemerintah

Dalam pikiranku, pemerintah adalah pihak yang paling sibuk membuat berbagai aturan, tapi menjadi pihak pertama yang lupa pada aturannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Juni 2014.  

Paham Dua

Paham.

Rabu, 01 Januari 2025

Uang adalah Bagian Passion

Terlepas bahwa dia cenderung misoginis, arogan, dan “agak gila”, Andrew Tate orang yang cerdas dan berwawasan. Karenanya, saya juga kadang menyimak ocehan-ocehannya, khususnya ketika dia sedang “waras”—meski, sewaras-warasnya Tate, tetap saja agak gila.

Salah satu ocehan Tate yang frontal tapi membuat saya cekikikan adalah soal passion dalam bekerja. Dia mengatakan, “Kalau kau menawariku sejuta dolar untuk menggali sebuah lubang, aku akan menggali lubang itu dengan sepenuh hatiku, dengan segenap passion-ku!” 

Ketika ocehannya dibantah bahwa passion tidak sedangkal itu, Tate memberi contoh orang (tukang) pembuat beton. “Apakah kau berpikir dia (pembuat beton) memiliki passion terhadap pekerjaan membuat beton?” ujarnya. “No! Dia bekerja untuk menghasilkan uang!”

Ocehan Tate soal kerja, passion, dan uang, sebenarnya masih panjang, dan sangat bagus, tapi biar saya potong sampai di situ. Karena, ketika sampai pada ocehan tadi, saya introspeksi diri, dan—pada akhirnya harus mengakui—bahwa ocehan Tate memang ada benarnya.

Menulis, misalnya, adalah passion yang saya miliki. Saya suka menulis, karena dengan menulislah saya bisa “memindahkan” isi pikiran pada medium lain (tulisan). Saya bahkan telah menulis secara rutin di blog selama lima belas tahun, tanpa ada yang membayar. That’s passion!

Tetapi, jika ada dua orang yang menawari saya menulis hal sama (misal artikel dengan topik serupa), dan yang satu menawarkan 300 ribu sementara satunya menawarkan 3 juta... saya akan memilih yang bayarannya tiga juta!

Passion bukan berarti seseorang mau mengerjakan sesuatu untuk pihak lain tanpa dibayar atau dibayar murah. Passion, dalam perspektif saya, adalah kecintaan mengerjakan sesuatu, yang memungkinkan seseorang menghasilkan hal terbaik. Dan salah satu “hal terbaik” adalah uang!

Bertahun lalu, ada orang terkenal yang punya ide, dan mencari partner yang bisa membantu mewujudkan idenya. Banyak orang lalu menghubunginya, termasuk saya. 

[Sekadar catatan, saya ikut menghubunginya waktu itu bukan semata karena idenya, juga bukan karena dia orang terkenal, tapi karena momentumnya. Bagi saya, kunci penting menghasilkan kesuksesan suatu karya adalah momentum yang tepat. Saya telah belajar bahwa ide hebat akan percuma jika momentumnya tidak ada atau tidak tepat. Sebaliknya, ide yang biasa-biasa saja bisa menghasilkan kesuksesan luar biasa jika momentumnya tepat.]

Waktu itu, momentumnya tepat untuk orang tadi, hingga saya tertarik. Jadi, saya menghubunginya. Dan dia merespons, lalu kami ketemuan untuk membicarakannya lebih lanjut. 

Ada puluhan orang terkenal yang menghubunginya waktu itu. Kenapa dia memilih saya di antara yang lain?
 
Karena, ketika saya menghubunginya, inilah yang saya katakan, “Kalau kamu memilihku untuk mengerjakan proyek ini, kita tidak hanya akan mewujudkan impianmu, tapi juga akan menghasilkan uang dalam jumlah sangat besar!” 

Itu tawaran yang tidak bisa ditolak, dan benar-benar saya wujudkan.

Ketika proyek itu selesai, kami sama-sama tahu bahwa lebih dari 50 persen pekerjaan itu merupakan karya saya. Tapi saya mengatakan kepadanya, “Kamu boleh klaim semuanya sebagai hasil karyamu, dan aku tidak masalah. Kamu artisnya. Aku hanya butuh persentase bagianku.” 

Dia puas dengan hasil proyek itu, karena mendongkrak reputasi dan popularitasnya berkali-kali lipat, dan saya puas dengan bagian saya. 

That’s passion!

Nasihat Lama yang Relevan

Nasihat lama yang masih bisa dipakai, "Jangan memancing ikan dengan roti."


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 April 2014.  

Uang, Seks, dan Popularitas

Setidaknya ada tiga hal besar yang memotivasi orang untuk melakukan sesuatu. Yang pertama uang, yang kedua seks, dan yang ketiga popularitas. Tiga hal itulah yang menggerakkan banyak orang untuk melakukan aneka hal yang rasional sampai yang tak masuk akal.

Jutaan orang berangkat kerja pagi hari, lalu pulang sore atau malam hari, demi apa? Sederhana saja; uang. 

Banyak pula orang yang melakukan hal-hal konyol tak masuk akal agar viral di medsos—demi popularitas!

Di balik hal-hal tampak—seperti orang yang sibuk bekerja atau sibuk pansos—ada pria-pria yang rela menghabiskan banyak waktu demi nyepik para wanita, kadang sampai berhari-hari, kadang berbulan-bulan—demi apa? Seks! 

Secara sederhana, begitulah Homo sapiens.

Memang ada orang-orang yang melampaui tiga hal itu—jenis orang yang masuk dalam perspektif Abraham Maslow, yaitu orang yang “butuh aktualisasi diri”. Mereka mungkin tidak peduli popularitas, tidak peduli uang, juga tidak peduli seks. Asal hidup nyaman, sudah cukup.

Tapi akui saja, rata-rata kita tergolong orang biasa yang masih kesulitan menolak tiga hal tadi, khususnya jika kita diminta melakukan sesuatu. 

Uang, seks, dan popularitas. Itulah motivasi terbesar Homo sapiens. 

Kalau kamu ingin seseorang tertarik melakukan sesuatu yang kamu inginkan, tawarkan popularitas kepadanya. Jika dia tidak butuh popularitas, tawarkan seks. Jika tidak mungkin menawarkan seks, hanya ada satu cara lain: Tawarkan uang—maksudku, uang yang banyak!

Resep Sehat yang Sulit Dibantah

Tidur siang 1 jam [dan invoice cair Rp 100 juta] bisa membantu menyegarkan tubuh dan pikiran.

Rutin olah raga [dan rutin mendapat pemasukan Rp 100 juta] bisa membantu kita mengelola stres.

Minum air putih 8 gelas per hari [dan penghasilan Rp 100 juta per bulan] bisa membantu menyehatkan tubuh dan pikiran.

Waktu Berlalu, Pikiran Bisa Berubah

Kalau introspeksi, banyak pemikiranku sekarang yang berbeda dengan pemikiranku sepuluh tahun yang lalu. Menurutku itu biasa saja, bahkan menunjukkan kalau aku—sebagai pribadi—terus berkembang. Justru aneh kalau aku sekarang masih sama seperti aku sepuluh tahun lalu.

Orang yang aktif di media sosial semacam Twitter atau blog, biasa menuliskan pemikiran-pemikirannya. Sangat riskan kalau kita mengambil tulisan/pemikirannya sekian tahun lalu untuk mengonfrontasikannya dengan pemikiran dia sekarang. Waktu berlalu, pikiran bisa berubah.

Jangankan waktu hitungan tahun, bahkan dalam hitungan hari pun pikiran seseorang bisa berubah. Karenanya sangat aneh kalau misal aku ngetwit sesuatu, misalnya, lalu ada orang mengonfrontasikan twit lamaku, atau tulisanku di blog, yang berbeda dengan pemikiranku sekarang.

Kalau kita ketemu teman SMA, dan dia tampak menua sementara kita masih seperti anak SMA, dia pasti heran, dan bertanya, “Kenapa kamu masih sama seperti dulu?” 

Kita percaya wujud fisik orang harus berubah seiring usia, tapi kita heran ketika pikiran mereka berubah. 

Ironis!

Bisa Berubah

Aku belajar bahwa pikiran manusia bisa berubah, sebagaimana hati yang bisa berubah, atau kehidupan yang juga bisa berubah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 April 2014.  

Biasanya Memang Begitu

Jika sesuatu tidak memiliki alasan yang masuk akal, biasanya memang begitu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2014.  

Usai Mandi

Usai mandi. Secangkir cokelat panas, sebatang rokok, selembar hening, dan setangkup kegalauan. Sempurna.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 Mei 2014.  

Tak Pasti

Lemah rasa kakiku melangkah pergi. Menuju ke destinasi tak pasti. #nyanyi


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 2 Mei 2014.  

Langkah dan Perjalanan

Karena perjalanan satu mil, kata pepatah, dimulai dari langkah pertama.

 
;