Sabtu, 01 Maret 2025

Persoalan Mayoritas-Minoritas

Persoalan mayoritas-minoritas mungkin persoalan klasik. Tapi kapan pun mayoritas merasa mendapat/memiliki privilese karena menjadi bagian mayoritas, artinya ada masalah sistemik. Karena ketika keadilan benar-benar ditegakkan, mayoritas dan minoritas hanyalah soal statistik.

Sulit menutup mata dan mengatakan bahwa urusan mayoritas dan minoritas di Indonesia "baik-baik saja", karena nyatanya tidak. Sayangnya, pemerintah seperti menutup mata dari persoalan ini. Kenapa? Menurutku sederhana saja; karena pemerintah punya kepentingan di dalamnya.

Ada banyak aktivis dan organisasi yang gigih berusaha "mendamaikan" persoalan mayoritas-minoritas di Indonesia, dan kita berterima kasih pada mereka. Tapi bagaimana pun, kita butuh peran pemerintah, karena merekalah yang memiliki wewenang dan kuasa untuk membuat aturan tegas.

Saat ada sebagian orang melarang pembangunan rumah ibadah karena beda agama, misalnya, pemerintah bisa menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk memutuskan secara adil. Tapi kenyataannya pemerintah justru terkesan cuci tangan, dan membiarkan konflik horizontal terjadi. Kenapa?

Jika kita menempatkan diri pada posisi pemerintah, kita akan melihat dilema yang terjadi. Pertama, jika pemerintah benar-benar menegakkan keadilan dan ternyata hasilnya memenangkan minoritas, itu akan menjadi keputusan yang tidak populer. Mereka tentu tidak ingin itu terjadi.

Bagaimana pun, seperti yang disebut tadi, pemerintah punya kepentingan, setidaknya membutuhkan dukungan (suara) mayoritas. Ini negara demokrasi, remember? Pemilu, pilkada, atau sebut lainnya. Vox populi vox dei. Suara rakyat—yang mayoritas, tentu saja—adalah suara Tuhan.

Jadi, pemerintah akan sangat hati-hati menangani mayoritas, karena kekuasaan mereka sebenarnya ditopang oleh suara mayoritas. Politisi mana pun tidak akan berspekulasi dengan urusan semacam itu. Mending membiarkan macan mengaum di tempat jauh, daripada mengusik untuk cari mati.

Kedua, konflik horizontal antara mayoritas dan minoritas, sebenarnya "menguntungkan" pemerintah. Saat rakyat ribut dan sibuk sendiri dengan konflik antarmasyarakat, kontrol mereka pada pemerintah akan berkurang, karena pikiran sudah tersita untuk menghadapi konflik horizontal.

Bagaimana Belanda menundukkan dan menguasai Nusantara? Ya, mereka menciptakan politik devide et impera—pecah menjadi bagian-bagian kecil, agar mudah dikuasai dan dikendalikan. Kalau rakyat kini benar-benar bersatu, mayoritas dan minoritas, pemerintah bisa jadi akan khawatir.

Kadang-kadang aku berpikir, kita seperti diarahkan untuk meyakini bahwa musuh kita adalah sesama rakyat, hanya karena beda agama, atau beda keyakinan, atau bahkan hanya karena beda pilihan. Lalu kita berperang satu sama lain, sibuk dengan urusan yang sebenarnya remeh-temeh.

Padahal yang terus menumpuk utang adalah pemerintah, yang memangkas subsidi adalah pemerintah, yang menaikkan iuran dan menarik pajak adalah pemerintah, yang menciptakan aneka kebijakan adalah pemerintah. Kita merasa hidup makin susah, tapi yang disalahkan justru sesama rakyat.

Kondisi semacam ini mengingatkan kita pada film The Dark Knight Rises. Bane, si penjahat, tahu bahwa ketika masyarakat Gotham dibiarkan saling ribut dan berperang sendiri, mereka tidak menyadari bahwa akar masalah sebenarnya adalah Bane, si penjahat yang merancang keributan itu.

Akhirnya, terkait mayoritas-minoritas, mungkin kita—khususnya yang mayoritas—perlu mempelajari sejarah Islam di Andalusia, Spanyol. Delapan ratus tahun Islam menjadi mayoritas di sana, tapi kemudian musnah. Mengapa? Kita akan tahu, kalau berhenti berperang, dan mulai belajar.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Januari 2020.

Urusan Sampah Plastik

Omong-omong soal sampah plastik...

Entah orang-orang memperhatikan atau tidak. Dulu, pemanasan global menjadi isu besar di dunia, termasuk di Indonesia. Isu itu belum (bahkan tidak) selesai, tapi lalu surut. Setelah itu, muncul isu sampah plastik.

Terkait urusan sampah plastik, selama ini kebanyakan orang hanya meributkan remah-remahnya, tapi melupakan sumbernya. Pandangan lebih ditujukan kepada konsumen, tapi produsen dilupakan. Padahal keberadaan sampah plastik berasal dari produsen, bukan semata dari konsumen.

Setiap hari, jutaan mi instan diproduksi dan dikonsumsi, dan artinya ada jutaan sampah plastik yang akan terbuang. Apakah kita meributkan mi instan? Tidak! Kalau pun meributkan, yang kita ributkan adalah pihak konsumen, tapi tidak ada yang menudingkan jari pada produsen. Aneh?

Jadi kita terus menerus meributkan genteng bocor yang membuat air hujan masuk rumah, dan yang kita lakukan hanya terus menerus mengepel dan mengeringkan lantai, tapi tidak membenahi genteng yang bocor! Ini benar-benar tolol campur asu, karena kita dikibuli kebodohan diri sendiri.

Sampah plastik memang berbahaya, itu fakta. Penggunaan plastik perlu dibatasi, itu bagus! Tapi jangan lupakan produsen yang saban hari menggelontorkan plastik baru untuk jadi sampah, karena itulah inti persoalan sebenarnya! Jika konsumen perlu tanggung jawab, produsen pun sama!

Kalau kita mau ngemeng sampah plastik secara adil dan proporsional, minta produsen turun tangan. Produsen mi instan, misalnya, harus punya tanggung jawab (moral dan sosial) untuk membersihkan sampah plastik dari produk yang mereka hasilkan—tidak semata dibebankan pada konsumen!

Sedari awal, bagiku, ribut-ribut soal sampah plastik ini sudah aneh, karena semua fokus ditujukan pada konsumen, tapi melupakan produsen. Konsumen disalah-salahkan, tapi semua bungkam terhadap ulah produsen. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 April 2019.

Korban Pertama Konspirasi

Ada banyak orang yang mungkin saking pintarnya, sama sekali tidak percaya kalau di dunia ini ada konspirasi. 

Lha isu-isu global yang mereka telan mentah-mentah itu apa namanya kalau bukan konspirasi? 

Ironisnya, korban pertama konspirasi adalah orang yang tidak percaya konspirasi!

Terkait "omong kosong konspirasi" ocehan ini mungkin bisa sedikit menyegarkan pikirkan. Asal tidak dibaca sambil ngantuk atau sambil mabuk. 




*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 April 2019.

Perspektif Pembunuhan

Pengantar:

Catatan ini saya tulis pertama kali pada 2022 silam, terkait kasus pembunuhan yang pernah menghebohkan Indonesia. Kasus itu sudah dianggap selesai, para pelakunya sudah dijatuhi hukuman, tapi ada... sesuatu yang membuat saya masih “gatal” memikirkannya.

Saya sempat lupa pernah menulis catatan ini, dan file catatan ini pun “terkubur” di antara tumpukan dokumen dan file lain di komputer. Kemarin, tanpa sengaja saya menemukan catatan ini, membacanya kembali, dan saya masih merasakan “gatal” yang sama. Meski mungkin catatan ini sudah tidak relevan, saya merasa perlu mengunggahnya di blog sebagai pengarsipan atas sesuatu yang [pernah] saya pikirkan.

____________________


TEMPO menulis berita panjang lebar dan kronologis terkait kasus pembunuhan yang pernah bikin geger di Indonesia. Jika benar, kronologi itu bisa dibilang runtut, dari sebelum pembunuhan sampai setelah pembunuhan. Tapi masih ada sesuatu yang sangat gelap; motif!

Apa motifnya? Pelecehan? Dugaan pelecehan telah dihapus karena tidak terbukti. Perselingkuhan? Pelecehan memang berbeda dengan perselingkuhan, tapi ada sesuatu yang tidak match di sini; antara kemungkinan motif (perselingkuhan) dan kasus pembunuhannya.

Dan jangan lupakan fakta bahwa sebelum terbunuh, dia sudah tahu akan dibunuh. Dia sempat menelepon pacarnya, bahkan konon sambil menangis, bahwa dia mendapat ancaman yang berpotensi pembunuhan. Keping puzzle masih berserakan!

Jika merujuk pada kronologi versi TEMPO, kasus pembunuhan itu tampak seperti insidental; sesuatu yang tiba-tiba muncul karena adanya suatu provokasi. Tapi rentetan peristiwa—yang tidak terkaver dalam kronologi versi TEMPO—menunjukkan hal lain.

Ia tewas terbunuh pada 8 Juli 2022. Tetapi, sejak Juni 2022, dia sudah mendapat ancaman pembunuhan, yang ia katakan kepada pacarnya. Bisa melihat sesuatu yang penting di sini? Itu tidak seperti kasus pembunuhan insidental, karena ada jeda sangat lama.

Dan, terus terang, yang sampai sekarang tidak kupahami—karena seperti menabrak logika—adalah lokasi pembunuhannya! 

Sebelum melangkah lebih jauh, sepertinya aku perlu ngoceh terlebih dulu soal “perspektif pembunuhan”, agar kita bisa melihat kasus ini dengan lebih jernih.

Terkait peristiwa pembunuhan, setidaknya ada empat macam kasus yang bisa terjadi. Pertama, aksidental. Kedua, insidental. Ketiga, terencana. Keempat, eksekusi. Empat macam kasus pembunuhan itu memiliki ciri berbeda, dan para kriminolog pasti bisa membedakannya.

“Aksidental” adalah kasus pembunuhan (hilangnya nyawa seseorang) akibat kecelakaan (accident). Misal seseorang mengalami kecelakaan di jalan raya—sebut saja, Si A tanpa sengaja menabrak Si B hingga tewas. Itu termasuk pembunuhan, yang berlatar ketidaksengajaan.

“Insidental” adalah kasus pembunuhan yang dilatari bela diri. Misal seseorang membegalmu di jalan, dan kamu melawan. Terjadi perkelahian, dan si begal tewas. Itu termasuk pembunuhan, karena menghilangkan nyawa orang, tapi dilatari alasan membela diri.

“Terencana” adalah kasus pembunuhan yang direncanakan. Penjelasannya bisa sangat panjang dan rumit, dan kalian bisa membacanya di novel-novel detektif. Biasanya, kasus-kasus yang dihadapi para detektif dalam novel kriminal adalah kasus-kasus pembunuhan terencana.

Terakhir, “eksekusi”. Misalnya kasus di Filipina; orang-orang yang terlibat narkoba dihabisi di mana-mana. Apa perbedaan pembunuhan terencana dengan eksekusi? Pembunuhan terencana biasanya akan diusahakan untuk disamarkan; berkebalikan dengan eksekusi.

Dalam pembunuhan terencana, si pelaku biasanya akan berusaha menyamarkan pembunuhan itu. Bisa jadi ia menenggelamkan korbannya ke sungai, atau menata TKP hingga seolah-olah korban mati karena bunuh diri, dan semacamnya. Beda dengan eksekusi.

Eksekusi adalah kasus pembunuhan yang terang-terangan dilakukan dan ditunjukkan sebagai pembunuhan. Sekarang, terkait kasus pembunuhan yang saat ini ramai dibicarakan, kira-kira jenis mana yang paling cocok? Mungkin “terencana” atau bahkan “eksekusi”!

Kasus pembunuhan itu terjadi karena pelecehan atau perselingkuhan? Jika iya, pikirkan kenyataan sederhana ini; jauh lebih mudah “melenyapkan” si korban tanpa jejak. Tujuan tercapai; si korban tewas/hilang, semua pihak dapat melanjutkan hidup dengan relatif tenang.

Tapi bukan itu yang terjadi, dan di situlah letak keanehannya! Si korban dihabisi di rumah pelaku, didiamkan sampai tiga hari sebelum diumumkan, lalu skenario yang penuh bolong-bolong disebutkan sebagai latar belakang pembunuhan... dan puluhan orang diduga terlibat!

Kasus itu seperti “ledakan puzzle” tak beraturan yang terlempar ke mana-mana, dan masing-masing puzzle membawa tanda tanya. Dan, jika aku boleh mengatakan yang ada dalam pikiranku secara jujur, semua hal terkait kasus itu tampak “salah”. 

“Itu bukan seperti itu”.

Creepy

Membaca cerita panjang di bawah ini, aku bersyukur tidak punya pacar, dan tidak tertarik pacaran.

[Post tidak di-quote, jadi sulit ditemukan.]

Sebenarnya, yang creepy (baca: sakit jiwa) kayak gitu bukan cuma cowok. Ada pula cewek-cewek yang sama sakitnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Septmber 2019.

Membaca dengan Tendensius

Tampaknya, membaca dengan tendensius sama buruknya dengan menulis dengan tendensius. Sama-sama menyulitkan kita untuk berpikir jernih dan objektif.

Aku bingung dengan tweet di bawah ini. Yang dilakukan Detik itu sudah benar, dan judul yang digunakan juga sudah benar. Bahwa "Ma'ruf Amin menyurati DPR dan meminta RUU KUHP segera disahkan."

Yang ia minta ditunda itu RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), bukan RUU KUHP.

[Tweet tidak di-quote, jadi sulit ditemukan.]

Menggunakan kalimat yang lebih mudah dipahami, "Ma'ruf Amin (melalui MUI) mengirim surat kepada DPR, dan meminta agar RUU-KUHP segera disahkan, sekaligus meminta RUU-PKS ditunda."

RUU-KUHP dan RUU-PKS itu dua hal yang BERBEDA.

Kutipan dari artikel Detik, paragraf 3:

"Dalam surat tertanggal 12 Agustus 2019 itu, Ma'ruf Amin selaku Ketua MUI mendorong DPR agar segera mengesahkan RUU KUHP sebelum berakhirnya DPR periode 2014-2019."

Perhatian kalimat itu: AGAR SEGERA MENGESAHKAN RUU KUHP.

Dan ini kutipan dari artikel Detik, halaman 2, paragraf terakhir:

"Adapun terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, MUI meminta agar DPR tidak terburu-buru mengesahkan."

Yang diminta MUI agar "tidak terburu-buru mengesahkan" itu RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).

Kesalahan Detik, mungkin, memecah artikel berita singkat itu menjadi dua halaman, sehingga pembaca kehilangan fokus dari paragraf awal ke paragraf terakhir. Selain itu, penulisan beritanya juga "ngambang" atau tidak fokus (Jawa: kurang cetho), sehingga pembaca rentan salah paham.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Septmber 2019.

Yang Berat

Yang berat dilakukan bukan membela orang yang tertindas. Tapi membela orang tak dibela.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 16 Maret 2012.

Suara Ami Lee

Suaranya Ami Lee tuh bener-bener magic. Didengarkan kapan pun tetap asyik.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2012.

Dimensi Lain

Rumahku selalu sepi, timeline-ku selalu ramai. Tiap login ke Twitter, aku kadang merasa masuk ke dimensi lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Agustus 2019.

Pingine Turu

Awake kesel, pingine turu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Septmber 2019.

Tapuk

Ooh... tapuk.

 
;