Minggu, 20 Juli 2025

Dari Cukai Plastik sampai Ledakan Populasi

Lama gak ngoceh. Sambil nunggu udud habis, aku ingin ngoceh.

Isu cukai plastik kembali mengemuka, dan kita akan diminta membayar setiap lembar plastik yang kita gunakan. Isu ini berawal dari isu sampah plastik. Dan isu sampah plastik berawal dari...? Well, kita perlu mencari tahu, tidak hanya ho’oh setiap kali disodori isu apa pun.

Cukai kantong plastik, juga isu sedotan plastik, sebenarnya menunjukkan satu hal yang sama: Industri yang menciptakan kesalahan, tapi masyarakat (kita semua) yang harus menanggung akibatnya. Begitu pula dengan isu lain yang pernah panas; global warming—podo wae asal usule.

Bahwa bumi mengalami pemanasan global—itu benar! Tidak ada orang waras yang bisa menyangkal. Tapi bagaimana narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” atau bahkan membelokkan isu pemanasan global itulah yang perlu dicermati, karena adanya kepentingan-kepentingan.

Begitu pula dengan isu [sampah] plastik. Bahwa bumi penuh sampah plastik—itu benar! Tak peduli kau orang ilmiah dan enviromental atau tidak, kau pasti setuju sampah plastik ada di mana-mana. Tapi narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” isu itulah yang perlu diperhatikan.

Yang jadi masalah di sini, isu global warming maupun sampah plastik punya keterkaitan langsung dengan lingkungan, dan sebagian besar orang akan merasa dirinya hebat jika “membela kelestarian lingkungan”. Tidak masalah, itu bagus. Cuma, perhatikan narasi yang “memanfaatkannya”.

Kalangan yang menolak cukai plastik itu bukan orang-orang yang tidak sadar lingkungan atau ingin merusak alam dengan lebih banyak menimbun sampah plastik. Yang mereka persoalkan sebenarnya narasi yang digunakan untuk “menunggangi” sampah plastik (sekaligus mengeksploitasinya).

Sama saja dengan para ilmuwan yang menolak isu pemanasan global. Sebenarnya, bukan faktanya yang mereka tolak—wong mereka ilmuwan, yang jelas lebih pintar dari kita. Yang mereka persoalkan adalah narasi yang memanfaatkan sekaligus mengeksploitasi isu demi kepentingan tertentu.

Bagiku, melihat “isu-isu lingkungan” ini sebenarnya cukup jelas, khususnya kalau kita melihat alur dan kronologinya secara komprehensif (bukan sekadar melihat penyu yang hidungnya kemasukan sedotan!) Intinya sih sederhana; industri menciptakan masalah, dan kita yang disalahkan!

Well, pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan isu pemanasan global yang tempo hari begitu ramai diberitakan di dunia? Langkah-langkah besar apa yang sekiranya telah dilakukan berbagai negara untuk mengatasi isu raksasa itu? Dan bagaimana hasilnya, dan seterusnya?

Kalau kau cukup belajar, kau pasti akan heran. Isu yang luar biasa besar itu tiba-tiba hilang sendiri. Padahal, ketika isu digulirkan pertama kali, dunia seperti diberitahu bahwa kiamat akan datang besok pagi. Tapi isu yang spektakuler itu pun kini hilang dan reda sendiri.

Jika mau melihat contoh yang lebih klasik, coba pelajari isu ledakan populasi. Sebelum dunia mengenal isu pemanasan global, planet ini pernah diguncang isu ledakan populasi. Bahwa kalau populasi tidak terkendali, maka akan bla-bla-bla dan seterusnya, dan seterusnya.

Banyak negara, di masa itu, menerapkan program yang membatasi kelahiran, bahkan Indonesia pernah sukses menerapkan program serupa di zaman Orde Baru. Tetapi, kini, isu ledakan populasi tidak memiliki gaung sama sekali, dan bayi-bayi di bumi terus lahir setiap milidetik!

Kini, populasi penduduk di dunia sudah tak terkendali, dan nyaris tidak ada satu pihak pun—katakanlah WHO—yang berupaya menyerukan bahaya yang mungkin akan terjadi. Padahal ledakan populasi jauh lebih berbahaya daripada sampah plastik atau pemanasan global!

Sekarang, coba pikirkan pertanyaan yang menggelisahkan ini: Kenapa sampah plastik dan pemanasan global dipermasalahkan, tapi ledakan populasi tidak dipermasalahkan?

Haruskah kuberi tahu jawabannya? 

Industri, fellas, jawabannya adalah industri!

Industri membutuhkan pekerja, sebagaimana mereka membutuhkan aneka produksinya terus terjual. Dalam hal pekerja; semakin banyak “stok”, semakin murah harganya. Dalam hal penjualan; semakin banyak yang membutuhkan, semakin mahal harga suatu barang. Sesederhana itu rumusnya.

Industri tidak akan mempermasalahkan berapa banyak anak-anakmu, karena mereka akan menjadi para pekerja berupah murah, sekaligus pasar besar yang akan menyerap aneka produk mereka, meski harus banting tulang demi bisa memilikinya. Industri bahkan ingin kau punya banyak anak!

Industri juga sadar bahwa mereka telah menciptakan polusi serta aneka kerusakan lingkungan. Karenanya, sebelum kau sadar apa yang telah terjadi, mereka pun menudingkan jari ke arahmu, bahwa kaulah sumber penyebab sampah plastik dan berbagai kerusakan alam yang terjadi saat ini.

Jadi mereka menciptakan aneka macam polusi serta mencemari udara dari banyak produk yang mereka hasilkan, tapi kita yang harus bertanggung jawab. Jadi mereka menghasilkan limbah dan sampah plastik di seluruh planet ini, tapi kita yang harus membayar cukai. Aturan keparat apa ini?

Dan kalian terus beranak pinak dengan riang gembira, tanpa menyadari anak-anak kalian hanya akan menjadi budak-budak industri berupah murah, sekaligus terus mencemari dan merusak planet ini. Thanos sudah mengingatkan kita semua soal ini, tapi kita malah menuduhnya bajingan!

Kalau kita mau serius melestarikan bumi, caranya bukan dengan memberi cukai pada plastik! Itu seperti minum obat pusing untuk mengatasi kanker! Ora ilmiah blas! Akar semua masalah di bumi adalah terlalu banyak manusia, jadi itulah yang mestinya dibereskan. Kendalikan populasi!

Tapi kenapa justru tidak ada yang menyeru agar kita mengendalikan populasi? Ya masalahnya sepele, sih. Isu mengendalikan populasi sama sekali tidak seksi, sulit dijual, dan bertentangan dengan kepentingan industri! Lebih dari itu, kita (maksudnya kalian) memang budak evolusi!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Juli 2019.

Orang-Orang Tercerahkan

Semula, Galileo Galilei percaya bahwa Bumi adalah pusat alam semesta, sebagaimana keyakinan umum masyarakatnya. Tapi kepercayaan itu sirna, ketika ia mengenal teleskop. Menggunakan teleskop, yang merupakan teknologi luar biasa di zamannya, Galileo akhirnya mengetahui dan menyadari bahwa Bumi hanyalah kerikil di antara Matahari yang menjadi pusat alam semesta.

Sejak itu, Galileo tahu bahwa pengetahuan atau keyakinan masyarakatnya sebenarnya keliru. Bukan Bumi yang jadi pusat alam semesta, tapi Matahari. Apa yang harus dilakukan Galileo?

Sebagai pembelajar, Galileo tahu ia harus menyatakan kebenaran yang diketahuinya, agar orang-orang menyadari kekeliruan mereka. Tetapi, kejujuran yang ia lakukan membuatnya menerima hukuman. 

Galileo hanya satu di antara banyak orang lain yang menghadapi dilema serupa di berbagai zaman, dan latar belakang itulah yang lalu memunculkan aneka kode rumit, petanda dan petunjuk samar, yang sengaja dibuat orang-orang zaman kuno... untuk ditemukan orang-orang di masa depan, yang mampu memecahkannya.

Tidak selalu manusia siap menerima pengetahuan baru, karena sifat dasar Homo sapiens lebih memilih tenteram daripada gelisah, lebih memilih status quo daripada menerima kebenaran asing. Karena itu pula, Orang-Orang Tercerahkan sejak zaman dulu lebih memilih hidup di kesunyian, menyimpan pengetahuannya dalam petunjuk samar, sambil berharap petunjuk yang mereka tinggalkan bisa ditemukan orang-orang di masa depan.

Saat ini, kita bisa enteng mengatakan bahwa Matahari adalah pusat alam semesta, dan tidak ada pihak mana pun yang mengamuk. Karena modernisasi dan ilmu pengetahuan pada akhirnya—mau tak mau—membuka mata manusia untuk melihat kebenaran. 

Kenyataan yang kita hadapi sekarang berbeda jauh dengan kenyataan yang dulu dihadapi Galileo atau para pembelajar sezamannya. Mereka tidak/belum bisa sebebas kita hari ini, karena ada orang-orang yang merasa menjadi otoritas pemegang kebenaran, yang tak boleh digugat.

Tapi pada masa Galileo atau pada masa kini, selalu ada Orang-Orang Tercerahkan yang tak mau tunduk pada perbudakan kebodohan. 

Tidak Percaya Blas

Akhirnya ada orang berkompeten yang mengatakannya dengan jelas. Dari dulu, aku juga TIDAK PERCAYA BLAS pada hal absurd yang disebut indigo. Itu sebelas dua belas dengan fenomena "disunat jin" padahal yang terjadi hanya masalah medis. Orang memang senang mendramatisir sesuatu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2019.

Hidup Cuma Sekali

Hidup cuma sekali. Isine mung ngapusi.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 15 Maret 2019.

Kerekereo

“Dk hnneri werucvcvtyyt xvciuer3n 345jhnfmd soda soda soda sdfkdhsf sfaouwer wqrhkqhrjrw shah shah shah... s sofdifu sdpoi opsdfjskjkdfjkf... yoya yoya...”

Lha kok kerekereo!

Hujan Masih Turun

Kirain hujan udah nggak musim. Ternyata masih juga turun.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Mahal dan Kemahalan

Mungkin seleraku memang mahal. Tapi yang pasti aku tidak mau membayar apa pun yang kemahalan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Februari 2012.

Salah Satu Kenikmatan Hidup

Salah satu kenikmatan hidup adalah menikmati makanan yang benar-benar kita suka. Kebalikannya adalah siksa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 Maret 2012.

Para Perusak Manusia

Di TL-ku sedang ada cowok tolol yang dikeroyok cewek-cewek pintar. Senang melihatnya. 

Cowok-cowok tolol (kau tahu yang kumaksud), tidak hanya ada di medsos, khususnya Twitter, ada jauh lebih banyak di dunia nyata. Mereka menatap hidup, pernikahan, dan pasangan, dengan sangat naif. Sementara itu, ada banyak bangsat yang mengompori mereka agar cepat kawin.

Kenyataan itulah yang membuatku miris. Selain cowok tolol, di dunia ini juga ada cewek-cewek yang sama tololnya, yang menatap hidup dan perkawinan dengan sama tolol. Mereka bisa dibilang "belum tahu apa-apa". Dan mereka dikompori agar segera kawin. Dasar tolol, mereka pun kawin!

Ketika sepasang orang tolol kawin dan beranak-pinak, apa yang terjadi? Kau tahu jawabannya, dan itulah dasar serta alasan kenapa kita harus memerangi bangsat-bangsat yang doyan memprovokasi orang lain cepat kawin. Bangsat-bangsat itulah perusak manusia dalam arti sesungguhnya.

Orang tolol yang belum kawin selalu ada kemungkinan untuk bisa disadarkan, karena hidup serta pikirannya masih luas. Mari bantu mereka. Tapi orang tolol yang sudah kawin dan beranak pinak, mereka sudah "tak terselamatkan", karena pikiran serta hidup mereka sudah sangat sempit.

Aku jadi terpikir untuk membentuk organisasi atau komunitas, bernama Indonesia Tanpa Orang Tolol. Misinya adalah menyadarkan sesama, bahwa hidup tidak sesempit atau sependek selangkangan, dan bahwa tujuan hidup manusia bukan cuma untuk kawin dan beranak pinak lalu keblangsak.

Aku percaya, kelak di masa depan, akan tiba suatu masa ketika manusia menyadari bahwa kawin dan beranak pinak hanyalah pilihan, dan bahwa orang-orang yang suka memprovokasi orang lain cepat kawin dan beranak pinak tanpa persiapan adalah para penjahat kemanusiaan yang menjijikkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Maret 2019.

Lewat Amerika

Paling gitu aja harus lewat Amerika, Belanda, sampai Israel.

Ngingetin

Iin Nur Indah ini suaranya keren banget. Ngingetin pada Dolores O'Riordan The Cranberries. 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Yupu

He.

Kamis, 10 Juli 2025

Di Meja yang Sama

Dunia dibangun di atas pola, dan manusia menjalani kehidupan dengan terperangkap di dalam pola. Bisa jadi pola itu disadari atau sengaja dibentuk secara pribadi, bisa jadi pula terbentuk tanpa sadar karena kebiasaan alami. Hal itu pula yang terjadi terkait tempat makan malam yang biasa saya kunjungi.

Usai makan sendirian, malam itu, seperti biasa saya menyulut rokok, lalu menyandarkan tubuh dengan santai ke sandaran kursi. Biasanya, setelah rokok habis, saya akan mendatangi kasir, dan membayar. Tapi biasanya pula saya lebih lama di sana karena bertemu seseorang. 

Seperti malam tempo hari. Rokok di tangan hampir mencapai setengah ketika seseorang mendatangi meja tempat saya makan, kemudian berdiri di hadapan saya. Dengan suara yang telah saya kenal, dia berkata, “Jam yang sama, meja yang sama, menu yang sama. Aku curiga, kamu juga biasa melewati jalan yang sama.”

Saya tersenyum, dan menyahut, “Kita menyukai pola, atau terjebak dalam pola, dan aku juga mengenali pola dalam caramu berbicara. Elegan, intimidatif.”

Dia tertawa sambil menarik kursi, kemudian duduk di depan saya. Setelah menyulut rokok, dia berkata, “Beberapa hari terakhir, aku membaca arsip yang di dalamnya terdapat istilah yang tidak kupahami. Aku sudah mencoba googling, tapi jawaban yang kudapatkan tidak match. Istilah itu sepertinya lebih bersifat praktis daripada teoritis.”

Saya tertarik, “Dan apa istilah itu?”

“Kontraktor media.”

Saya mengangguk-angguk, dan memahami kenapa dia tidak bisa menemukan penjelasannya lewat googling.

“So,” dia berkata, “aku tahu kontraktor intelijen. Tapi apa itu kontraktor media?”

“Mirip kontraktor intelijen.”

Dia menatap saya dan berkata, “Kamu punya kemampuan menjelaskan sesuatu yang rumit jadi sederhana dan mudah dipahami. Jadi, mengulang pertanyaan tadi, apa itu kontraktor media?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Intelijen membutuhkan kontraktor saat mereka ingin melakukan sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. Begitu pun, media-media besar membutuhkan kontraktor saat mereka ingin meliput sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. So, kontraktor media adalah perantara tak dikenal yang memungkinkan media-media raksasa meliput hal-hal yang sulit mereka sentuh.”

Dia mengernyitkan kening, seperti berusaha mencerna sesuatu. “Sori, aku belum punya bayangan apa-apa. Tolong lanjutkan.”

“Bayangkan kamu petinggi media massa berpengaruh, semacam TIME. Kamu ingin meliput skandal besar sekaligus sensitif yang terjadi di sebuah negara—sebut saja Negara X. Kamu telah menemukan whistleblower yang siap mengungkap apa yang terjadi. Sebagai petinggi media, kamu tentu tinggal mengirim jurnalis ke Negara X, mengumpulkan liputan, lalu mengungkapkannya di mediamu. Right? Masalahnya, Negara X telah mengantisipasi hal itu, dan telah melakukan scanning terhadap orang-orang yang berprofesi jurnalis, dan nama-nama para jurnalis akan menyalakan alarm begitu terdeteksi di bandara. Jadi, apa yang akan kamu lakukan jika menghadapi kenyataan semacam itu?”

Dia mengangguk-angguk, dan tampaknya mulai memahami. 

Saya melanjutkan, “Di situlah peran kontraktor. Ada lembaga, atau biro, atau apa pun sebutannya, yang menyediakan orang-orang untuk mengerjakan tugas-tugas peliputan ketika para jurnalis resmi tidak mungkin melakukannya. Orang-orang itu memiliki kemampuan jurnalistik tapi bukan jurnalis. Identitas mereka tidak bisa dilacak ke media mana pun. Saat mereka masuk ke sebuah negara, misalnya, mereka hanya akan dianggap turis atau traveler biasa, dan alarm di bandara tidak akan menyala. Orang-orang tak dikenal itulah yang disebut kontraktor media. Mereka menemui para saksi, whistleblower, mengumpulkan liputan, menulis hasilnya secara lengkap, lalu menyerahkan pada biro yang mempekerjakannya. Biro kemudian menyerahkan hasil kerja itu pada media yang menyewa mereka.” 

Dia mengisap rokoknya, terdiam seperti mencerna penjelasan saya, kemudian berkata, “Sejujurnya, aku baru tahu soal ini.”

“Memang bukan pengetahuan umum.” Kemudian, sambil tersenyum, saya menambahkan, “hingga Google juga tidak tahu.”

Pelayan lewat. 

Dia memesan minuman untuk dirinya dan untuk saya, sambil memberi tahu kalau dia pindah meja.

Setelah pelayan berlalu, dia berkata, “Soal kontraktor media tadi... siapa saja penggunanya?”

“Hampir semua media besar internasional menggunakan jasa mereka. Kamu pikir ada media yang cukup gila mengirimkan jurnalisnya ke Korea Utara, misalnya?”

“I see.” Dia kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Korea Utara sangat ketat dalam pemeriksaan di gerbang masuk. Sepertinya mereka juga memiliki database identitas para jurnalis di seluruh dunia, dan jurnalis bisa bermasalah jika nekat masuk ke sana. Selama ini aku berpikir, bagaimana ada media bisa menjelaskan kondisi di Korea Utara secara detail, sementara nyaris tidak ada jurnalis yang bisa masuk ke sana? Jadi itu pekerjaan para kontraktor...”

Ucapannya terhenti saat pelayan datang membawakan minuman.

Setelah pelayan berlalu, dia kembali berkata, “Para kontraktor itu tentunya bukan orang-orang sembarangan—mereka pasti orang-orang cerdas dengan keberanian luar biasa. Bagaimana biro-biro yang mempekerjakan mereka bisa menemukan orang-orang semacam itu?”
 
“Sama seperti intelijen,” saya menjawab, “mereka mencarinya di kampus-kampus, atau di lembaga-lembaga tertentu. Kandidat terbaik biasanya yang sangat cerdas atau genius, dan tidak terikat hubungan konvensional.”

“Kenapa orang-orang cerdas bahkan genius mau menjadi kontraktor, yang bisa dibilang tidak akan terkenal?”

“Sederhana saja, bayarannya sangat besar. Lagi pula, tidak semua orang ingin terkenal.”

Dia mengangguk-angguk, lalu tersenyum. “Selalu ada hal-hal baru setiap kali ngobrol denganmu.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, dan menyahut, “Senang mendengarnya.”

Kami lalu menyesap minuman, dan saya menyalakan rokok baru. Percakapan kami pun berlanjut dengan menyenangkan seperti biasa. 

Sejak pertama kali melihat dia datang, saya tahu itu bukan tanpa alasan. Dia orang sibuk yang enggan membuang-buang waktu untuk percakapan-percakapan tidak penting. Karenanya dia biasa menggunakan pola komunikasi yang khas; sopan, elegan, tapi intimidatif, karena dia tidak mau buang-buang waktu untuk basa-basi tidak penting atau komunikasi yang mutar-mutar tidak jelas. Orang yang to the point, dan saya menyukai gayanya.

Di tengah jeda percakapan, dia mengambil ponselnya, membukanya beberapa saat, kemudian menyodorkannya ke arah saya. “Kenal orang ini?”

Saya melihat foto seseorang di layar ponsel, lalu menjawab, “Aku kenal dia, tapi dia tentu tidak mengenalku.”

“Dia mengenalmu.”

“Really?”

Dia menutup ponselnya, lalu berkata perlahan, “Dia sedang mengerjakan sesuatu, dan butuh bantuan orang yang benar-benar tahu proyek yang sedang dikerjakannya. Dia tahu kamu, tapi tidak yakin apakah kamu tertarik, mengingat kalian tidak saling kenal. So, aku mencoba membantu dengan menyampaikan ini ke kamu. Kalau kamu tertarik, itu akan jadi kabar gembira buat dia. Tapi kalau kamu tidak tertarik, tidak apa-apa.”

“Aku lagi butuh cashflow sekarang. Dan, ya, aku tertarik.”

Dia berbinar. “Bagus sekali!”

.....
.....

Empat hari kemudian, saya duduk dengan seseorang di kota lain.

Orang Muda Berjiwa Bocah

Ada orang tua berjiwa muda, aku orang muda berjiwa bocah.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Thunderbolts Sampah!

Seorang teman ngamuk-ngamuk setelah menonton Thunderbolts, karena menurutnya itu “film sampah”. Sebegitu buruk, menurutnya, hingga “siapa pun yang mengatakan film itu bagus pasti buzzer!”

Dia berkata, “Di X, banyak orang bilang itu film bagus. Aku yakin seratus persen kalau mereka cuma buzzer, terbukti argumen mereka terkesan ngarang-ngarang!”

Saya sudah lama tidak masuk X, jadi tidak tahu soal itu. Cuma, saya memang mendapati banyak reviu terkait Thunderbolts yang menyebut film itu jelek. Banyak orang sepertinya juga tidak terima dengan rating film itu yang terlalu tinggi, mencapai 7 lebih. Menurut mereka, rating yang tepat untuk Thunderbolts adalah 3. Maksimal 5, kalau kamu memang fans berat Marvel.

Saya juga sudah nonton Thunderbolts, dan setuju dengan pendapat mereka semua. Itu film Marvel paling buruk sekaligus paling membosankan yang pernah saya tonton. Disebut film drama tidak bisa, disebut film action tidak ada action-nya, disebut film superhero juga tidak jelas siapa superhero-nya.

Film-film Marvel biasanya memiliki keunggulan yang khas; jalan cerita memikat yang mudah dipahami, tokoh-tokoh menawan dengan karakter unik, pertarungan yang memukau, dan... selalu ada mbakyu!

Dalam Thunderbolts, semua itu tidak ada! Jalan ceritanya tidak jelas, tokoh-tokohnya tidak menarik, pertarungannya membosankan, dan tidak ada mbakyu!

Film itu memiliki durasi 2 jam lebih, dan itu adalah 2 jam yang sangat mengesalkan, membosankan, tidak ada faedahnya. Untuk ukuran Marvel, Thunderbolts memang benar-benar sampah!

Yaris Berstiker Winnie the Pooh

Tadi lihat Yaris berstiker Winnie the Pooh besar di kaca belakang, dan aku jadi teringat sesuatu. 

Sambil nunggu udud habis.

Dulu, aku pernah menghadiri suatu acara, yang melibatkan banyak orang, termasuk banyak temanku. Aku datang sendirian, dan di sana ketemu banyak teman, dan... biasalah, kami ngobrol-ngobrol, sebagian minum, sebagian lain udud. Meski introver, aku juga kadang ikut kumpul-kumpul.

Salah satu temanku yang datang waktu itu bernama Adit. Tapi waktu itu Adit tidak gabung di mejaku—dia ngumpul dengan teman-teman yang lain. 

Lalu datang seorang teman lain, namanya Fadli. Si Fadli ini gabung di mejaku, dan semula tampak asyik-asyik saja.

Beberapa waktu kemudian, aku perlu ke toilet. Fadli ngikutin ke toilet. Dengan wajah gak enak dilihat, Fadli bilang, “Adit kenapa, dah.”

Aku tanya, “Emang dia kenapa?” 

“Dia langsung pergi, begitu aku datang,” jelas Fadli. (Fadli ngomong ini, karena tahu aku dekat dengan Adit).

Sebelumnya—maksudku, di waktu-waktu sebelumnya—Adit pacaran dengan seorang cewek, sebut saja namanya Karin. Lalu mereka putus. 

Berbulan-bulan kemudian sejak putus, Karin jadian dengan Fadli. Adit dan Fadli saling kenal, tapi dia tidak mempermasalahkan Fadli jadian dengan Karin.

Lalu mereka—Fadli dan Adit—berkesempatan bersua di acara yang juga kudatangi. Dan menurut Fadli, Adit segera pergi begitu Fadli datang.

“Gak enak banget,” kata Fadli di toilet waktu itu. “Kayak aku ngerebut pacarnya aja. Padahal kami jadian setelah dia lama putus dengan Karin!”

Waktu itu aku bilang ke Fadli, kalau Adit tidak mempermasalahkan dia jadian dengan Karin—aku percaya pengakuan Adit soal itu. 

Tapi aku juga bertanya-tanya, kenapa Adit langsung pergi begitu Fadli datang—kalau pengakuan Fadli memang benar. 

Biar fair, aku lalu menelepon Adit.

Di toilet yang sepi waktu itu, aku menelepon ponsel Adit, dan membuka loudspeaker agar Fadli ikut mendengarkan pembicaraan kami. 

Waktu telepon terhubung, aku tanya, “Kamu kenapa buru-buru pulang, Dit?” 

Di seberang sana, Adit menjawab, “Perutku tiba-tiba melilit tak karuan.”

Sama sepertiku, Adit juga punya masalah GERD, dan kadang kambuh dengan gejala yang relatif parah. Tadi mungkin dia memakan atau meminum sesuatu yang memicu penyakitnya. 

Lalu aku bilang, “Fadli ngerasa gak enak nih, karena katanya kamu langsung pergi begitu dia datang.”

Di luar dugaan, Adit menjawab, “Emang Fadli datang?”

Aku bilang, “Iya, dia datang. Katanya dia lihat kamu langsung pulang, begitu dia datang.”

“Apaan? Aku nggak lihat dia!”

Setelah percakapan mengalir cukup lama, Fadli dan aku akhirnya yakin, Adit memang tidak melihat Fadli.

Jadi, apa yang terjadi di sini? Fadli terjebak pada asumsi atau khayalannya sendiri—dia mengira [bahkan sampai pada tahap menuduh] Adit langsung pergi begitu dia datang, padahal Adit sama sekali tidak melihat Fadli di sana. Dia buru-buru pulang karena GERD-nya tiba-tiba kambuh.

Untung masalah itu segera selesai, dan hubungan Adit dengan Fadli tetap baik-baik saja. Bagaimana kalau umpama Fadli terjebak pada asumsi atau khayalannya sendiri, dan dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bisa jadi, sampai saat ini Fadli masih akan salah mengira.

Lalu apa hubungan kisah ini dengan Yaris berstiker Winnie the Pooh? 

Itu mobil Karin!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Agustus 2021.

Malas Berdebat

Dulu aku suka main catur, tapi sering kali tak sabar. Lawanku sering mikir bermenit-menit tiap akan menjalankan bidak catur, sementara aku cuma butuh satu detik. Kenyataan ini pula yang membuatku malas berdebat, khususnya di Twitter. Kelamaan mikir, tapi hasilnya tetap tak jelas.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 April 2019.

Terang pun Luluh

Subuh. Dan terang pun luluh.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 4 April 2012.

Kalau Dipikir-pikir

Kalau dipikir-pikir, semua ini tidak ada yang masuk akal!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Hola

Hola, Baby Doll from Sucker Punch. Wellcome to my place. Are you okay, beib? 


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Kenyang dan Ketenangan

Kenyang itu menenangkan. Sayangnya aku malas makan. Meski selalu butuh ketenangan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Februari 2012.

Salah Satu Misteri

Salah satu misteri dunia yang belum terungkap: Mengapa pegawai bank rata-rata cantik?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Februari 2012.

Virus

Haduh, kirain udah hilang selamanya. Ternyata masih nongol juga! Dasar virus! Apa emang harus dihapus aja ya?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Sahmu

Oh... sahmu.

Selasa, 01 Juli 2025

Tidak Usah Pedulikan Nasihat Orang yang Tidak Peduli Masalahmu

Ada orang-orang yang sepertinya hobi menyemburkan nasihat kepada kita, tapi tidak pernah peduli apa masalah kita. Mereka hanya menyampaikan aneka nasihat yang mereka anggap benar, tapi tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Itu persis seperti dokter memberi resep obat, tanpa tahu apa penyakit pasiennya.

Sebelum memberi resep obat, dokter tentu akan menanyakan terlebih dulu apa keluhan kesehatan pasiennya, lalu melakukan pemeriksaan intensif, dan, setelah tahu apa masalah si pasien, dokter baru memberikan resep obat. Hasilnya, pasien sembuh dari penyakitnya.

Pasien biasanya memiliki keluhan berbeda-beda, dan dokter pun memberikan resep obat yang berbeda. Sungguh konyol kalau ada dokter yang, misalnya, meyakini satu obat tertentu dapat menyembuhkan segala macam penyakit, lalu memaksakan obat itu pada semua pasien yang memiliki masalah kesehatan berbeda-beda.

Semua dokter pasti tahu, tidak ada obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala jenis penyakit. Satu jenis obat mungkin bisa menyembuhkan satu atau dua jenis penyakit, sementara penyakit lain membutuhkan obat lain. Ini hal sederhana yang tentu kita semua sudah tahu.

So, nasihat serupa dengan obat. Jika diberikan secara tepat untuk masalah yang tepat dan dengan dosis yang tepat, nasihat akan benar-benar bermanfaat, khususnya bagi si penerima nasihat. Agar nasihat bisa tepat untuk penerimanya, kita harus tahu lebih dulu apa masalah orangnya.

Masalah—dan kepribadian—setiap orang berbeda-beda. Satu nasihat yang mungkin tepat untuk satu orang, belum tentu akan tepat pula untuk orang yang lain. Sebelum memberi nasihat, cari tahu dulu apa masalahnya, lalu sampaikan nasihat yang tepat, dengan dosis yang tepat, dan cara yang tepat.

Karena nasihat serupa obat. Jika diberikan dengan tepat dan dengan dosis yang tepat, ia bisa menyembuhkan. Tapi jika diberikan secara tidak tepat, apalagi sampai berlebihan, obat bisa mematikan. Orang bisa mati karena obat, begitu pun orang bisa muak karena nasihat.

Obat itu baik, asal diberikan secara tepat, dengan dosis yang tepat. Tapi obat bisa menjadi racun, jika diberikan secara tidak tepat atau berlebihan. Tanyakan pada dokter atau ahli kesehatan mana pun, dan mereka akan membenarkan kata-kata ini. Dan, begitu pula dengan nasihat.

Orang yang kesibukannya ngasih nasihaaaaat melulu, itu sama seperti orang yang menyodor-nyodorkan obat pada siapa pun, tapi sebenarnya tidak tahu apa masalah orang per orang yang ia sodori obat. Ia hanya sok tahu, merasa tahu masalah orang lain, lalu sok pintar memberi nasihat, padahal tidak tahu apa-apa tentang orang yang ia nasihati. 

Ada yang lebih penting dari sekadar menasihati orang lain. Yaitu menasihati diri sendiri.

Sekte Sesat

Zaman SMA dulu, di kota saya ada tren yang aneh, yaitu—apa istilah yang tepat, ya?—eksistensi geng. Jadi, pada masa itu, di mana-mana ada grafiti yang “memperkenalkan” nama geng si pembuat grafiti. Ada geng, misalnya, bernama Alpaz, dan grafiti “Alpaz” muncul di mana-mana, di berbagai tembok, reruntuhan dinding, pintu-pintu toko, dan lain-lain. Grafiti itu sangat jelas dibuat menggunakan cat semprot.

Selama waktu-waktu itu, ke mana pun saya pergi selalu menjumpai grafiti dari cat semprot dalam aneka warna. Diam-diam saya menghafal beberapa nama geng yang sering saya jumpai di coretan grafiti, di antaranya Sloven, Anjal, Kizruh, sampai Sekte Sesat. 

Waktu itu, saya berpikir “Sekte Sesat” adalah nama geng paling menakutkan yang pernah saya temukan grafitinya. Sampai kemudian saya menemukan yang lebih menakutkan ...

... yaitu Sekte Sesat Pemuja Psikopat.

Hal-hal Kecil

Ketika memikirkan betapa besarnya implikasi dari hal-hal kecil, aku jadi tergoda untuk berpikir bahwa sebenarnya tidak ada hal-hal kecil.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2012.

Menikah dan Beli Gundam

Orang sudah menikah, bahkan sekadar beli gundam saja repotnya sampai segitu. Itu pun yang punya uang (dengan bukti bisa dolanan gundam). Apalagi sudah menikah dan tidak punya uang, kayak apa lagi dah repotnya.

"Tapi menikah akan melancarkan rezeki..."

Katakan itu pada istrimu!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Maret 2019.

Sendirian dan Kekuasaan

Selamat malam Minggu, Tuhan. Sendirian kadang menunjukkan kekuasaan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Februari 2012.

Perumahan Khusus Lajang

Di Swedia, ada perumahan khusus untuk kaum lajang—masing-masing rumah hanya diisi satu orang yang melajang, dan tidak ada orang berkeluarga (punya pasangan dan anak-anak). Kalau kalian tahu ada hal semacam itu di Indonesia, tolong kabari aku, ya. Mungkin aku akan pindah ke sana.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2019.

Mau Tidur Sore

Mau tidur sore, biar kayak orang yang hidupnya biasa-biasa saja.

*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Lagi Musim

Kayaknya lagi musim orang meriang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 20 Maret 2019.

Ingin Dibina

Cuacanya benar-benar membuatku ingin ((( d i b i n a ))) sama mbakyuku. #Apeu


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Maret 2019.

Di Rumah yang Hening

Yang tertinggal hanya gambarmu di meja kamarku
Ditemani dua puisi tentang lara hati

Engkau adalah yang terindah sepanjang hidupku
Luka meruah, semua telah berlalu

Yang tersisa rinai tawamu di sudut benakku
Seperti kau masih di sini, larut di pelukku

—Katon, Lara Hati

Jam segini, di rumah yang hening, mendengarkan lagu-lagu Katon Bagaskara rasanya sangat menyenangkan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Maret 2019.

 
;