Tadi lihat Yaris berstiker Winnie the Pooh besar di kaca belakang, dan aku jadi teringat sesuatu.
Sambil nunggu udud habis.
Dulu, aku pernah menghadiri suatu acara, yang melibatkan banyak orang, termasuk banyak temanku. Aku datang sendirian, dan di sana ketemu banyak teman, dan... biasalah, kami ngobrol-ngobrol, sebagian minum, sebagian lain udud. Meski introver, aku juga kadang ikut kumpul-kumpul.
Salah satu temanku yang datang waktu itu bernama Adit. Tapi waktu itu Adit tidak gabung di mejaku—dia ngumpul dengan teman-teman yang lain.
Lalu datang seorang teman lain, namanya Fadli. Si Fadli ini gabung di mejaku, dan semula tampak asyik-asyik saja.
Beberapa waktu kemudian, aku perlu ke toilet. Fadli ngikutin ke toilet. Dengan wajah gak enak dilihat, Fadli bilang, “Adit kenapa, dah.”
Aku tanya, “Emang dia kenapa?”
“Dia langsung pergi, begitu aku datang,” jelas Fadli. (Fadli ngomong ini, karena tahu aku dekat dengan Adit).
Sebelumnya—maksudku, di waktu-waktu sebelumnya—Adit pacaran dengan seorang cewek, sebut saja namanya Karin. Lalu mereka putus.
Berbulan-bulan kemudian sejak putus, Karin jadian dengan Fadli. Adit dan Fadli saling kenal, tapi dia tidak mempermasalahkan Fadli jadian dengan Karin.
Lalu mereka—Fadli dan Adit—berkesempatan bersua di acara yang juga kudatangi. Dan menurut Fadli, Adit segera pergi begitu Fadli datang.
“Gak enak banget,” kata Fadli di toilet waktu itu. “Kayak aku ngerebut pacarnya aja. Padahal kami jadian setelah dia lama putus dengan Karin!”
Waktu itu aku bilang ke Fadli, kalau Adit tidak mempermasalahkan dia jadian dengan Karin—aku percaya pengakuan Adit soal itu.
Tapi aku juga bertanya-tanya, kenapa Adit langsung pergi begitu Fadli datang—kalau pengakuan Fadli memang benar.
Biar fair, aku lalu menelepon Adit.
Di toilet yang sepi waktu itu, aku menelepon ponsel Adit, dan membuka loudspeaker agar Fadli ikut mendengarkan pembicaraan kami.
Waktu telepon terhubung, aku tanya, “Kamu kenapa buru-buru pulang, Dit?”
Di seberang sana, Adit menjawab, “Perutku tiba-tiba melilit tak karuan.”
Sama sepertiku, Adit juga punya masalah GERD, dan kadang kambuh dengan gejala yang relatif parah. Tadi mungkin dia memakan atau meminum sesuatu yang memicu penyakitnya.
Lalu aku bilang, “Fadli ngerasa gak enak nih, karena katanya kamu langsung pergi begitu dia datang.”
Di luar dugaan, Adit menjawab, “Emang Fadli datang?”
Aku bilang, “Iya, dia datang. Katanya dia lihat kamu langsung pulang, begitu dia datang.”
“Apaan? Aku nggak lihat dia!”
Setelah percakapan mengalir cukup lama, Fadli dan aku akhirnya yakin, Adit memang tidak melihat Fadli.
Jadi, apa yang terjadi di sini? Fadli terjebak pada asumsi atau khayalannya sendiri—dia mengira [bahkan sampai pada tahap menuduh] Adit langsung pergi begitu dia datang, padahal Adit sama sekali tidak melihat Fadli di sana. Dia buru-buru pulang karena GERD-nya tiba-tiba kambuh.
Untung masalah itu segera selesai, dan hubungan Adit dengan Fadli tetap baik-baik saja. Bagaimana kalau umpama Fadli terjebak pada asumsi atau khayalannya sendiri, dan dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bisa jadi, sampai saat ini Fadli masih akan salah mengira.
Lalu apa hubungan kisah ini dengan Yaris berstiker Winnie the Pooh?
Itu mobil Karin!
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Agustus 2021.