Minggu, 20 Juli 2025

Dari Cukai Plastik sampai Ledakan Populasi

Lama gak ngoceh. Sambil nunggu udud habis, aku ingin ngoceh.

Isu cukai plastik kembali mengemuka, dan kita akan diminta membayar setiap lembar plastik yang kita gunakan. Isu ini berawal dari isu sampah plastik. Dan isu sampah plastik berawal dari...? Well, kita perlu mencari tahu, tidak hanya ho’oh setiap kali disodori isu apa pun.

Cukai kantong plastik, juga isu sedotan plastik, sebenarnya menunjukkan satu hal yang sama: Industri yang menciptakan kesalahan, tapi masyarakat (kita semua) yang harus menanggung akibatnya. Begitu pula dengan isu lain yang pernah panas; global warming—podo wae asal usule.

Bahwa bumi mengalami pemanasan global—itu benar! Tidak ada orang waras yang bisa menyangkal. Tapi bagaimana narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” atau bahkan membelokkan isu pemanasan global itulah yang perlu dicermati, karena adanya kepentingan-kepentingan.

Begitu pula dengan isu [sampah] plastik. Bahwa bumi penuh sampah plastik—itu benar! Tak peduli kau orang ilmiah dan enviromental atau tidak, kau pasti setuju sampah plastik ada di mana-mana. Tapi narasi yang digunakan untuk “memanfaatkan” isu itulah yang perlu diperhatikan.

Yang jadi masalah di sini, isu global warming maupun sampah plastik punya keterkaitan langsung dengan lingkungan, dan sebagian besar orang akan merasa dirinya hebat jika “membela kelestarian lingkungan”. Tidak masalah, itu bagus. Cuma, perhatikan narasi yang “memanfaatkannya”.

Kalangan yang menolak cukai plastik itu bukan orang-orang yang tidak sadar lingkungan atau ingin merusak alam dengan lebih banyak menimbun sampah plastik. Yang mereka persoalkan sebenarnya narasi yang digunakan untuk “menunggangi” sampah plastik (sekaligus mengeksploitasinya).

Sama saja dengan para ilmuwan yang menolak isu pemanasan global. Sebenarnya, bukan faktanya yang mereka tolak—wong mereka ilmuwan, yang jelas lebih pintar dari kita. Yang mereka persoalkan adalah narasi yang memanfaatkan sekaligus mengeksploitasi isu demi kepentingan tertentu.

Bagiku, melihat “isu-isu lingkungan” ini sebenarnya cukup jelas, khususnya kalau kita melihat alur dan kronologinya secara komprehensif (bukan sekadar melihat penyu yang hidungnya kemasukan sedotan!) Intinya sih sederhana; industri menciptakan masalah, dan kita yang disalahkan!

Well, pernahkah kita bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan isu pemanasan global yang tempo hari begitu ramai diberitakan di dunia? Langkah-langkah besar apa yang sekiranya telah dilakukan berbagai negara untuk mengatasi isu raksasa itu? Dan bagaimana hasilnya, dan seterusnya?

Kalau kau cukup belajar, kau pasti akan heran. Isu yang luar biasa besar itu tiba-tiba hilang sendiri. Padahal, ketika isu digulirkan pertama kali, dunia seperti diberitahu bahwa kiamat akan datang besok pagi. Tapi isu yang spektakuler itu pun kini hilang dan reda sendiri.

Jika mau melihat contoh yang lebih klasik, coba pelajari isu ledakan populasi. Sebelum dunia mengenal isu pemanasan global, planet ini pernah diguncang isu ledakan populasi. Bahwa kalau populasi tidak terkendali, maka akan bla-bla-bla dan seterusnya, dan seterusnya.

Banyak negara, di masa itu, menerapkan program yang membatasi kelahiran, bahkan Indonesia pernah sukses menerapkan program serupa di zaman Orde Baru. Tetapi, kini, isu ledakan populasi tidak memiliki gaung sama sekali, dan bayi-bayi di bumi terus lahir setiap milidetik!

Kini, populasi penduduk di dunia sudah tak terkendali, dan nyaris tidak ada satu pihak pun—katakanlah WHO—yang berupaya menyerukan bahaya yang mungkin akan terjadi. Padahal ledakan populasi jauh lebih berbahaya daripada sampah plastik atau pemanasan global!

Sekarang, coba pikirkan pertanyaan yang menggelisahkan ini: Kenapa sampah plastik dan pemanasan global dipermasalahkan, tapi ledakan populasi tidak dipermasalahkan?

Haruskah kuberi tahu jawabannya? 

Industri, fellas, jawabannya adalah industri!

Industri membutuhkan pekerja, sebagaimana mereka membutuhkan aneka produksinya terus terjual. Dalam hal pekerja; semakin banyak “stok”, semakin murah harganya. Dalam hal penjualan; semakin banyak yang membutuhkan, semakin mahal harga suatu barang. Sesederhana itu rumusnya.

Industri tidak akan mempermasalahkan berapa banyak anak-anakmu, karena mereka akan menjadi para pekerja berupah murah, sekaligus pasar besar yang akan menyerap aneka produk mereka, meski harus banting tulang demi bisa memilikinya. Industri bahkan ingin kau punya banyak anak!

Industri juga sadar bahwa mereka telah menciptakan polusi serta aneka kerusakan lingkungan. Karenanya, sebelum kau sadar apa yang telah terjadi, mereka pun menudingkan jari ke arahmu, bahwa kaulah sumber penyebab sampah plastik dan berbagai kerusakan alam yang terjadi saat ini.

Jadi mereka menciptakan aneka macam polusi serta mencemari udara dari banyak produk yang mereka hasilkan, tapi kita yang harus bertanggung jawab. Jadi mereka menghasilkan limbah dan sampah plastik di seluruh planet ini, tapi kita yang harus membayar cukai. Aturan keparat apa ini?

Dan kalian terus beranak pinak dengan riang gembira, tanpa menyadari anak-anak kalian hanya akan menjadi budak-budak industri berupah murah, sekaligus terus mencemari dan merusak planet ini. Thanos sudah mengingatkan kita semua soal ini, tapi kita malah menuduhnya bajingan!

Kalau kita mau serius melestarikan bumi, caranya bukan dengan memberi cukai pada plastik! Itu seperti minum obat pusing untuk mengatasi kanker! Ora ilmiah blas! Akar semua masalah di bumi adalah terlalu banyak manusia, jadi itulah yang mestinya dibereskan. Kendalikan populasi!

Tapi kenapa justru tidak ada yang menyeru agar kita mengendalikan populasi? Ya masalahnya sepele, sih. Isu mengendalikan populasi sama sekali tidak seksi, sulit dijual, dan bertentangan dengan kepentingan industri! Lebih dari itu, kita (maksudnya kalian) memang budak evolusi!


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Juli 2019.

 
;