Kamis, 10 Juli 2025

Di Meja yang Sama

Dunia dibangun di atas pola, dan manusia menjalani kehidupan dengan terperangkap di dalam pola. Bisa jadi pola itu disadari atau sengaja dibentuk secara pribadi, bisa jadi pula terbentuk tanpa sadar karena kebiasaan alami. Hal itu pula yang terjadi terkait tempat makan malam yang biasa saya kunjungi.

Usai makan sendirian, malam itu, seperti biasa saya menyulut rokok, lalu menyandarkan tubuh dengan santai ke sandaran kursi. Biasanya, setelah rokok habis, saya akan mendatangi kasir, dan membayar. Tapi biasanya pula saya lebih lama di sana karena bertemu seseorang. 

Seperti malam tempo hari. Rokok di tangan hampir mencapai setengah ketika seseorang mendatangi meja tempat saya makan, kemudian berdiri di hadapan saya. Dengan suara yang telah saya kenal, dia berkata, “Jam yang sama, meja yang sama, menu yang sama. Aku curiga, kamu juga biasa melewati jalan yang sama.”

Saya tersenyum, dan menyahut, “Kita menyukai pola, atau terjebak dalam pola, dan aku juga mengenali pola dalam caramu berbicara. Elegan, intimidatif.”

Dia tertawa sambil menarik kursi, kemudian duduk di depan saya. Setelah menyulut rokok, dia berkata, “Beberapa hari terakhir, aku membaca arsip yang di dalamnya terdapat istilah yang tidak kupahami. Aku sudah mencoba googling, tapi jawaban yang kudapatkan tidak match. Istilah itu sepertinya lebih bersifat praktis daripada teoritis.”

Saya tertarik, “Dan apa istilah itu?”

“Kontraktor media.”

Saya mengangguk-angguk, dan memahami kenapa dia tidak bisa menemukan penjelasannya lewat googling.

“So,” dia berkata, “aku tahu kontraktor intelijen. Tapi apa itu kontraktor media?”

“Mirip kontraktor intelijen.”

Dia menatap saya dan berkata, “Kamu punya kemampuan menjelaskan sesuatu yang rumit jadi sederhana dan mudah dipahami. Jadi, mengulang pertanyaan tadi, apa itu kontraktor media?”

Saya mengisap rokok sesaat, lalu menjelaskan, “Intelijen membutuhkan kontraktor saat mereka ingin melakukan sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. Begitu pun, media-media besar membutuhkan kontraktor saat mereka ingin meliput sesuatu tapi tidak bisa melakukannya sendiri. So, kontraktor media adalah perantara tak dikenal yang memungkinkan media-media raksasa meliput hal-hal yang sulit mereka sentuh.”

Dia mengernyitkan kening, seperti berusaha mencerna sesuatu. “Sori, aku belum punya bayangan apa-apa. Tolong lanjutkan.”

“Bayangkan kamu petinggi media massa berpengaruh, semacam TIME. Kamu ingin meliput skandal besar sekaligus sensitif yang terjadi di sebuah negara—sebut saja Negara X. Kamu telah menemukan whistleblower yang siap mengungkap apa yang terjadi. Sebagai petinggi media, kamu tentu tinggal mengirim jurnalis ke Negara X, mengumpulkan liputan, lalu mengungkapkannya di mediamu. Right? Masalahnya, Negara X telah mengantisipasi hal itu, dan telah melakukan scanning terhadap orang-orang yang berprofesi jurnalis, dan nama-nama para jurnalis akan menyalakan alarm begitu terdeteksi di bandara. Jadi, apa yang akan kamu lakukan jika menghadapi kenyataan semacam itu?”

Dia mengangguk-angguk, dan tampaknya mulai memahami. 

Saya melanjutkan, “Di situlah peran kontraktor. Ada lembaga, atau biro, atau apa pun sebutannya, yang menyediakan orang-orang untuk mengerjakan tugas-tugas peliputan ketika para jurnalis resmi tidak mungkin melakukannya. Orang-orang itu memiliki kemampuan jurnalistik tapi bukan jurnalis. Identitas mereka tidak bisa dilacak ke media mana pun. Saat mereka masuk ke sebuah negara, misalnya, mereka hanya akan dianggap turis atau traveler biasa, dan alarm di bandara tidak akan menyala. Orang-orang tak dikenal itulah yang disebut kontraktor media. Mereka menemui para saksi, whistleblower, mengumpulkan liputan, menulis hasilnya secara lengkap, lalu menyerahkan pada biro yang mempekerjakannya. Biro kemudian menyerahkan hasil kerja itu pada media yang menyewa mereka.” 

Dia mengisap rokoknya, terdiam seperti mencerna penjelasan saya, kemudian berkata, “Sejujurnya, aku baru tahu soal ini.”

“Memang bukan pengetahuan umum.” Kemudian, sambil tersenyum, saya menambahkan, “hingga Google juga tidak tahu.”

Pelayan lewat. 

Dia memesan minuman untuk dirinya dan untuk saya, sambil memberi tahu kalau dia pindah meja.

Setelah pelayan berlalu, dia berkata, “Soal kontraktor media tadi... siapa saja penggunanya?”

“Hampir semua media besar internasional menggunakan jasa mereka. Kamu pikir ada media yang cukup gila mengirimkan jurnalisnya ke Korea Utara, misalnya?”

“I see.” Dia kembali mengangguk-angguk, lalu berkata, “Korea Utara sangat ketat dalam pemeriksaan di gerbang masuk. Sepertinya mereka juga memiliki database identitas para jurnalis di seluruh dunia, dan jurnalis bisa bermasalah jika nekat masuk ke sana. Selama ini aku berpikir, bagaimana ada media bisa menjelaskan kondisi di Korea Utara secara detail, sementara nyaris tidak ada jurnalis yang bisa masuk ke sana? Jadi itu pekerjaan para kontraktor...”

Ucapannya terhenti saat pelayan datang membawakan minuman.

Setelah pelayan berlalu, dia kembali berkata, “Para kontraktor itu tentunya bukan orang-orang sembarangan—mereka pasti orang-orang cerdas dengan keberanian luar biasa. Bagaimana biro-biro yang mempekerjakan mereka bisa menemukan orang-orang semacam itu?”
 
“Sama seperti intelijen,” saya menjawab, “mereka mencarinya di kampus-kampus, atau di lembaga-lembaga tertentu. Kandidat terbaik biasanya yang sangat cerdas atau genius, dan tidak terikat hubungan konvensional.”

“Kenapa orang-orang cerdas bahkan genius mau menjadi kontraktor, yang bisa dibilang tidak akan terkenal?”

“Sederhana saja, bayarannya sangat besar. Lagi pula, tidak semua orang ingin terkenal.”

Dia mengangguk-angguk, lalu tersenyum. “Selalu ada hal-hal baru setiap kali ngobrol denganmu.”

Saya mematikan puntung rokok di asbak, dan menyahut, “Senang mendengarnya.”

Kami lalu menyesap minuman, dan saya menyalakan rokok baru. Percakapan kami pun berlanjut dengan menyenangkan seperti biasa. 

Sejak pertama kali melihat dia datang, saya tahu itu bukan tanpa alasan. Dia orang sibuk yang enggan membuang-buang waktu untuk percakapan-percakapan tidak penting. Karenanya dia biasa menggunakan pola komunikasi yang khas; sopan, elegan, tapi intimidatif, karena dia tidak mau buang-buang waktu untuk basa-basi tidak penting atau komunikasi yang mutar-mutar tidak jelas. Orang yang to the point, dan saya menyukai gayanya.

Di tengah jeda percakapan, dia mengambil ponselnya, membukanya beberapa saat, kemudian menyodorkannya ke arah saya. “Kenal orang ini?”

Saya melihat foto seseorang di layar ponsel, lalu menjawab, “Aku kenal dia, tapi dia tentu tidak mengenalku.”

“Dia mengenalmu.”

“Really?”

Dia menutup ponselnya, lalu berkata perlahan, “Dia sedang mengerjakan sesuatu, dan butuh bantuan orang yang benar-benar tahu proyek yang sedang dikerjakannya. Dia tahu kamu, tapi tidak yakin apakah kamu tertarik, mengingat kalian tidak saling kenal. So, aku mencoba membantu dengan menyampaikan ini ke kamu. Kalau kamu tertarik, itu akan jadi kabar gembira buat dia. Tapi kalau kamu tidak tertarik, tidak apa-apa.”

“Aku lagi butuh cashflow sekarang. Dan, ya, aku tertarik.”

Dia berbinar. “Bagus sekali!”

.....
.....

Empat hari kemudian, saya duduk dengan seseorang di kota lain.

 
;