Sabtu, 20 September 2025

Lelaki di Titik Nol

Sebelas bulan yang lalu, saya menulis catatan di BSM, berjudul Di Bawah Remang Rembulan. Catatan itu mengisahkan saya dan Adit yang mengunjungi Hakim, teman kami, yang waktu itu lagi frustrasi karena menganggur cukup lama setelah kena PHK. Saya mencoba menghubungkan Hakim dengan Alvin, siapa tahu Alvin bisa menerima Hakim bekerja di tempatnya. Saat saya menulis catatan ini, Hakim telah bekerja di tempat Alvin. 

Alvin dan Hakim juga Adit kuliah di kampus yang sama, dan mereka saling kenal. Tapi mereka tidak akrab dengan Alvin, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya yang tidak sekampus dengan Alvin malah akrab dengannya, dari dulu sampai sekarang. Mengapa keanehan semacam itu bisa terjadi? Catatan ini akan mengungkapkan latar belakangnya. 

Kisahnya dimulai bertahun-tahun lalu, saat kami sama-sama awal kuliah. Dan saya mengenal Alvin bukan dari kampus, tapi dari warnet.

Awal 2000-an sampai menjelang 2010, akses internet belum semudah sekarang, khususnya di tempat saya. Karenanya di masa itu banyak warnet (warung internet), yang menyediakan akses internet dengan biaya per jam. Pada masa itu pula, saya mulai kuliah, dan kerap butuh internet untuk menunjang kegiatan kuliah. Jadi saya pun sering mengunjungi warnet.

Ada satu warnet yang sering saya kunjungi, dan warnet itu dijaga seorang pria seumuran saya. Di sanalah awal perkenalan saya dengan Alvin. Pada masa itu, Alvin bekerja sebagai penjaga warnet yang dapat shift sore sampai tengah malam. 

Biasanya, saya datang ke warnet sekitar pukul 20.00. Itu jam ramai, karena pengguna internet kebanyakan datang ke warnet sekitar jam itu. Kalau warnet sedang full pengunjung, saya harus antre, dan penjaga warnet menyodorkan bangku agar saya bisa duduk. Jadi saya pun duduk di sana, menunggu ada pengguna warnet yang selesai, lalu saya bisa menggantikannya. Dari moment itu pula, saya dan penjaga warnet kadang bercakap-cakap. Pada waktu itu saya belum tahu nama dia, sebagaimana dia juga tidak tahu siapa saya.

Karena saya termasuk pelanggan di sana, penjaga warnet itu pun hafal muka saya. Suatu malam, ketika saya sedang antre dan duduk di dekat mejanya, kami bercakap-cakap, sampai kemudian saling menyebut nama kampus tempat kami kuliah. Ketika mendengar nama kampusnya, saya kaget, lalu bertanya, “Kamu pasti kenal Miko, dong.” 

“Kenal,” dia menjawab, “kami satu semester.” Dia lalu balik bertanya, kok saya bisa kenal Miko.

Saya pun menjelaskan, Miko adalah teman saya sebelum kami kuliah, dan Miko pula yang belakangan membawa saya masuk ke sirkel kampusnya, hingga saya mengenal Adit, Hakim, Tanjung, Safik, dan lain-lain. 

Dari situ, percakapan kami lalu mengalir. 

Itulah awal perkenalan saya dengan Alvin. Bukan lewat kampus, tapi lewat warnet, ketika Alvin masih jadi penjaga warnet.

Selama kuliah, saya sering nyangkruk dengan sirkel Miko, dan bertemu dengan banyak orang lain yang sekampus dengannya, tapi saya tidak pernah bertemu Alvin. Ketika saya tanyakan hal itu pada Alvin, dia mengatakan, “Soalnya aku harus jaga warnet kalau malam hari, jadi nggak ada waktu buat kumpul-kumpul.” Setelah itu, dia menambahkan dengan senyum, “Lagi pula, sirkel Miko isinya anak-anak orang kaya, bukan anak miskin kayak aku.”

Pengakuan itu mungkin terlalu jujur, tapi faktanya memang begitu. Sirkel Miko di kampus dulu memang isinya anak-anak kalangan atas. Di waktu yang sama, Alvin adalah anak miskin yang kuliah sambil berjuang menyambung hidup. 

Alvin merasa tidak cocok berbaur dengan sirkel Miko, dan, di sisi lain, sirkel Miko juga mungkin merasakan hal yang sama. Ini fakta pahit yang mungkin ada di kampus mana pun. Sebagian mahasiswa menikmati masa kuliah dengan kebersamaan dan canda tawa, sementara sebagian mahasiswa lain menjalani kuliah dengan kesendirian dan keprihatinan.
 
Jadi, kegiatan Alvin setiap hari adalah kuliah dari pagi sampai siang. Pulang kuliah, dia beraktivitas di rumah, lalu sore hari berangkat ke warnet tempatnya bekerja, sampai tengah malam. Pukul 00.00, jam kerja Alvin di warnet selesai, lalu dia pulang, tidur, dan besoknya kembali berangkat kuliah, dan begitu seterusnya. Dengan kegiatan harian yang padat seperti itu, Alvin tidak punya waktu luang seperti umumnya mahasiswa lain. 

[Belakangan, Alvin bahkan cuti kuliah, dan tidak masuk kampus selama dua semester atau setahun, hingga makin sulit baginya untuk bertemu teman-teman seangkatannya. Cerita soal ini ada di bawah.]

Karena sering datang ke warnet, saya pun makin akrab dengan Alvin. Percakapan yang awalnya dangkal seperti dua orang asing, seiring waktu berubah jadi percakapan mendalam sebagaimana dua orang yang berteman. Dari situ, saya mulai menyadari kalau Alvin sangat pintar, dengan wawasan yang luar biasa. Ketika saya katakan itu kepadanya, Alvin tertawa dan mengatakan, “Lhah, saban malam aku di sini (maksudnya menjaga warnet dan mengakses internet). Jadi rasanya kayak dipaksa belajar tanpa henti.”

Internet di masa itu sebenarnya belum selengkap sekarang. Tapi bahkan di masa itu, internet telah jadi perpustakaan raksasa dengan aneka pengetahuan. Belakangan, hal itulah yang merekatkan hubungan kami, karena percakapan-percakapan kami kian menyenangkan. Bukan percakapan ringan yang dangkal, tapi percakapan-percakapan mendalam yang membuat kami sama-sama berpikir. Kami menikmati percakapan semacam itu.

Suatu malam, seiring kedekatan kami, Alvin mengatakan, “Minggu depan, aku dapat jatah libur. Aku boleh main ke tempatmu?”

“Silakan,” saya menjawab dengan senang.

Di masa itu saya masih ngontrak, dan Alvin benar-benar datang di waktu yang dijanjikan.

Di ruang tamu, kami mengobrol dengan asyik. Di waktu itu pula, Alvin sempat melihat perpustakaan di rumah saya, dan, sambil memandangi buku-buku di sana, ia berkata, “Sekarang aku paham kenapa aku betah ngobrol denganmu. Kamu bisa nyambung diajak ngobrol apa pun, dan ternyata sebanyak ini referensimu.” 

Kami lalu melanjutkan percakapan di ruang perpustakaan, dan saya mulai menyadari kalau Alvin seorang introver seperti saya. Ia mengaku kurang bisa berbasa-basi, juga merasa kaku saat berinteraksi dengan orang lain kalau “tidak nyambung”. Selama menjaga warnet, komunikasi Alvin dengan para pengunjung warnet hanya sebatas menyebutkan biaya sewa, menerima pembayaran, dan mengucap terima kasih—sudah. Tidak ada basa-basi panjang, tidak ada percakapan macam-macam.

Karenanya, dia mengaku “takjub” saat kami bertemu dan bisa bercakap-cakap sampai lama, bahkan kemudian akrab, hingga belakangan dia dolan ke rumah saya. 

Latar belakang itu pula yang tampaknya menjadikan Alvin kurang akrab dengan Adit dan Hakim, meski mereka sekampus. Adit dan Hakim, dan bisa jadi teman-teman yang lain, mungkin kurang terbiasa berinteraksi dengan orang seperti Alvin yang, menurut mereka, “terlalu ilmiah”—jenis orang yang hanya mau membicarakan hal-hal penting, dan malas kalau diajak ngobrol hal-hal tidak penting.

Kunjungan Alvin ke rumah saya waktu itu belakangan berlanjut dengan kunjungan-kunjungan lain—khususnya saat dia dapat jatah libur dari tempat kerjanya—dan hubungan kami semakin dekat. Dari situ, kami mulai tahu latar belakang masing-masing. Ketika tahu kalau saya berasal dari keluarga miskin, Alvin pun mulai membuka diri.

Alvin adalah anak pertama dengan dua saudara. Sejak Alvin lahir, keluarganya tinggal di rumah kakek dari pihak ayah. Ayah Alvin bekerja sebagai makelar kendaraan, sehingga penghasilannya tidak pasti. Karenanya, Alvin pun kuliah dari hasil kerja sebagai penjaga warnet dan ditunjang beasiswa.

Ketika Alvin lulus SMA, ibunya meninggal. Kemudian, ketika Alvin masuk semester dua di kampusnya, giliran ayahnya meninggal. Kematian sang ayah menjadi awal petaka bagi Alvin dan dua adiknya.

Karena rumah yang ditinggali keluarga Alvin adalah milik sang kakek, rumah itu pun tidak hanya menjadi milik ayah Alvin, tapi juga milik ahli waris lain (adik-adik ayah Alvin). Ketika ayah Alvin meninggal, para ahli waris meminta hak waris mereka. Singkat cerita, rumah itu lalu dijual, dan hasilnya dibagi di antara ahli waris. Alvin dan adik-adiknya menggunakan uang warisan mereka untuk ngekos, dan sejak itu pula mereka tinggal di tempat kos.

Ketika peristiwa itu terjadi, adik-adik Alvin masih SMA, dan Alvin menyadari bahwa cepat atau lambat uang warisan mereka akan habis untuk membiayai kehidupan dan sekolah mereka. Sementara penghasilan Alvin sebagai penjaga warnet hanya cukup untuk membiayai kuliahnya. Alvin pun memutar otak, mencari cara mengatasi masalah itu. 

Alvin lalu terpikir membuat angkruk untuk jualan. [Angkruk adalah sebutan untuk warung semi permanen, biasanya dibuat menggunakan kayu atau baja ringan. Saya tidak tahu apa sebutannya di tempat lain.] Ide itu tercetus karena Alvin sering mendapati pengunjung warnet yang kehabisan rokok, dan terpaksa pergi jauh untuk membeli rokok. Pikir Alvin, apa salahnya kalau dia mencoba jualan rokok dan barang-barang lain di dekat warnetnya?

Jadi, Alvin lalu nekad menggunakan sebagian uang warisan untuk membuat angkruk, dan mengisinya dengan aneka jualan. Agar angkruk itu dapat beroperasi penuh, Alvin memutuskan untuk cuti dari kuliah. Pagi-pagi sekali, Alvin membuka angkruknya, dan berjaga di sana sampai sore. Setelah itu, gantian adiknya yang berjaga di angkruk, sementara Alvin memulai kerja di warnet. Jarak antara angkruk dengan warnet relatif dekat dan, seperti yang diperkirakan Alvin sebelumnya, angkruk miliknya jadi andalan para pengunjung warnet untuk mendapatkan rokok, air mineral, atau cemilan.

Satu tahun kemudian, angkruk itu masih berdiri, dan barang yang dijual di sana semakin banyak. Salah satu adik Alvin lulus dari SMA, dan bersedia menjaga angkruk itu seharian. Jadi Alvin pun bisa kembali kuliah, sambil tetap bekerja sebagai penjaga warnet, juga membantu-bantu adiknya yang berjualan di angkruk.

Di masa-masa itulah awal saya mengenal Alvin yang sering saya temui di warnet. Saya memang melihat ada angkruk di dekat warnet, tapi saya tidak tahu itu milik Alvin, juga tidak tahu bagaimana latar belakang berdirinya angkruk itu, bahkan saya tidak tahu kalau orang yang berjualan di angkruk itu adik Alvin.

Jadi, saya kenal hingga berteman akrab dengan Alvin jauh sebelum dia seperti sekarang. Sebenarnya, seperti yang dikatakan sendiri oleh Alvin, di masa itu dia bahkan berada di titik nol dalam kehidupannya. Ketika dia tidak lagi memiliki orang tua, kehilangan rumah yang semula ia tempati, sampai terpaksa cuti kuliah demi menambah penghasilan agar dapat membiayai sekolah dan kehidupan adik-adiknya.

Dan bertahun-tahun kemudian, lelaki yang jatuh di titik nol itu berhasil membangun kehidupannya hingga sukses dan kaya, hingga teman sekampusnya yang frustrasi akibat PHK bisa bekerja padanya.

Hidup memang naik turun. Yang saat ini di bawah bisa naik, dan yang di atas bisa turun. Saya belajar untuk tidak mudah silau pada yang gemerlap, dan tidak memandang rendah pada yang sedang merangkak dalam gelap. Karena kilau paling cemerlang bisa memudar, dan setelah kegelapan paling pekat selalu datang cahaya.

Musim Semi yang Tersenyum

Di setiap jantung musim dingin terdapat musim semi yang bergetar. Di balik selubung malam terdapat fajar yang tersenyum.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Einstein dan Udud

Kita tentu sepakat bahwa Albert Einstein adalah salah satu orang genius di abad modern. Yang menarik dari Einstein bukan hanya kecerdasannya yang luar biasa, tapi juga kebiasaan-kebiasaannya dalam hidup sehari-hari. Dan salah satu kebiasaannya adalah udud.

Udud, bagi Einstein—saya kutip kalimatnya secara verbatim—“sesuatu yang berkontribusi dalam proses penilaian yang menenangkan dan objektif dalam semua urusan manusia.” Apa pun artinya. Yang jelas, sejarah mencatat bahwa Einstein seorang perokok berat.

Einstein biasa merokok pakai pipa, dan selalu menyiapkan tembakau di kantong. Einstein juga suka jalan kaki—itu kebiasaannya yang lain. Jika dia sedang asyik berjalan, dan tembakaunya habis, dan kebetulan menemukan puntung rokok di jalan, dia akan mengambilnya.

Dia ambil puntung rokok itu, lalu menggunakan tembakaunya untuk ia bakar di pipa—lalu melanjutkan ududnya. Karena kebiasaan itu, orang-orang biasa menyaksikan asap tembakau selalu mengikuti Einstein saat dia berjalan. 

Tentu saja Einstein genius bukan karena udud.

Penelitian modern menyatakan bahwa merokok menghentikan pembentukan sel-sel otak, menipiskan korteks serebral (lapisan luar otak yang bertanggung jawab atas kesadaran), dan menyebabkan otak menginginkan oksigen. Rokok juga, konon, bisa menyebabkan kanker paru-paru.

Tapi ada yang aneh terkait udud ini. Sebuah penelitian di AS menganalisis 20.000 remaja, yang kebiasaan dan kesehatannya dipantau selama 15 tahun. Hasilnya, tanpa melihat umur, latar belakang etnis atau pendidikan, anak-anak yang lebih cerdas merokok lebih banyak!

Jadi, apakah kebiasaan udud memang memiliki kaitan dengan kecerdasan, atau malah mengerutkan otak (bikin orang jadi bodoh), atau bagaimana? 

Entahlah. Tiba-tiba saya ingin udud.

Jalan Lain

Tak ada solusi. Hanya ada jalan lain.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 8 Maret 2012.

Menginginkan Pelangi

Jika kita menginginkan pelangi, kita harus rela menerima rintik hujan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Monster

Monster tidak dicipta. Ia dibentuk.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 18 Juli 2012.

Awal dan Akhir

Cinta diawali dengan senyuman, tumbuh bersama ciuman, namun sering berakhir dengan tangisan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Glorifikasi Mi Instan

Selain kucing, hal lain yang sering muncul di TL-ku adalah glorifikasi mi instan. Aku menyebutnya “glorifikasi”, karena puja-puji yang dilayangkan pada mi instan sudah sampai taraf tak masuk akal—setidaknya menurutku. Seolah tidak ada makanan lain di dunia selain mi instan.

Selama bertahun-tahun, aku pernah mencoba berbagai macam merek mi instan, rebus maupun goreng, dari yang standar sampai yang mahal. Dan menurutku, semua mi instan itu... B aja. Belum pernah aku makan mi instan lalu “terkesan” seperti orang-orang di Twitter yang memujanya.

Jadi, aku bertanya-tanya, apakah cara masakku yang keliru? Atau mungkin perlu menambahkan bumbu-bumbu dan sayur tertentu yang dibeli sendiri? Atau bagaimana? Intinya, aku heran kenapa orang-orang begitu memuja kelezatan mi instan, sementara menurutku biasa saja. 

Mungkin aku perlu kencan dengan seseorang yang biasa masak mi instan dan memuja mi instan, dan melihat cara dia memasak mi instan, dan aku ikut mencicipinya, untuk membuktikan semua glorifikasi di TL. Tapi intinya aku hanya ingin berkencan dengan seseorang saja, sih.

Iki aku ngomong opo?

Hari Terkutuk

Di hari terkutuk itu, bahkan penjual nangka tidak jualan.

Setan Tidak Dibelenggu

Setan tidak dibelenggu. Ia masih menggodaku untuk menggodamu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 21 Juli 2012.

Satu Jam Lalu

Begitu. Ya, itulah yang ingin kukatakan. Satu jam lalu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 10 Maret 2012.

Rabu, 10 September 2025

Kebenaran yang Problematis

Unfortunately, “if I can do it, you can” is overrated.

Omong-omong soal overrated...

Umpama aku mengatakan, “Hanya dengan bermain bola, kamu bisa mendapat penghasilan miliaran, bahkan triliunan.” 

Kamu mungkin bertanya, “Apa iya?” 

Dan aku menjawab yakin, “Iya, buktinya Ronaldo!” 

Apakah perkataanku benar? Tentu benar. Tapi problematis.

Sama saja kalau aku mengatakan, “Hanya dengan ngobrol santai, terus direkam video, kamu bisa mendapat penghasilan tak terhitung banyaknya.” 

Kamu kembali memastikan, “Apa iya?” 

Dan lagi-lagi aku menjawab yakin, “Iya, contohnya Deddy Corbuzier.”

Pernyataan-pernyataanku, dalam dua contoh tadi, tentu saja benar, dan tidak terbantah. 

Benar dan tidak terbantah... sebagai fakta. 

Tapi benar sebagai fakta bukan berarti kemudian bisa dipegang dan ditelan mentah-mentah. Karena ada jenis kebenaran yang problematis.

Faktanya, Ronaldo mendapat penghasilan triliunan dari bermain bola. Faktanya, Deddy Corbuzier mendapat penghasilan miliaran dari ngobrol di podcast. 

Siapa pun tidak bisa membantah kenyataan itu, karena memang itulah faktanya. Tapi fakta itu tidak bisa berhenti di situ.

Maksudku, kita tidak bisa menggunakan Ronaldo atau Deddy Corbuzier untuk menggeneralisasi bahwa semua orang pasti bisa begitu. 

Orang seperti Ronaldo hanya nol koma nol nol nol nol sekian persen dari penduduk bumi. Bermimpi seperti dia bisa jadi sangat utopis.

Begitu pun, kita tidak bisa tiba-tiba membuat channel di YouTube, lalu mengundang orang-orang untuk ngobrol ala podcast, sambil berharap bisa menandingi Deddy Corbuzier. Bahkan umpama kita sepuluh kali lebih pintar dari dia, tetap saja tidak ada jaminan bisa seberhasil dia.

Apa artinya itu? Bahwa di dunia ini ada banyak kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran—dan siapa pun tidak bisa membantah kebenaran itu, karena nyatanya memang benar—tapi sebenarnya kebenaran itu problematis jika tidak disikapi secara bijak.

Ini bahkan jenis kebenaran yang bisa dibuktikan sebagai kebenaran, diakui sebagai fakta tak terbantah, bahkan disaksikan jutaan orang. Tapi bahkan seperti itu pun, kebenaran ini masih problematis. Apalagi jenis kebenaran yang masih kita ragukan kebenarannya?

Jadi, Ronaldo adalah pemain bola yang hebat dan mendapat penghasilan besar dari bermain bola—itu benar. 

Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Ronaldo sendiri. Kita tidak bisa menjadikan Ronaldo sebagai ukuran, “Kalau Ronaldo bisa, berarti kita juga bisa!”

Begitu pun, Deddy Corbuzier adalah podcaster dengan subscriber sekaligus penghasilan terbesar di Indonesia—itu benar. 

Tapi itu kebenaran yang hanya terkait dengan diri Deddy Corbuzier sendiri. Berpikir setiap orang bisa seperti dia, bisa jadi pikiran yang keliru.

Jadi, apakah kita tidak boleh meniru Ronaldo atau Deddy Corbuzier? 

Bukan begitu maksudku. Yang kumaksud, kita perlu meletakkan kebenaran (dalam hal ini prestasi/pencapaian) orang per orang sesuai proporsinya. 

Kalau kamu bisa, belum tentu aku bisa. Begitu pun sebaliknya.

Menggeneralisasi semua orang “kalau Si A bisa main bola, berarti semua orang juga bisa”, itu sebenarnya sudah keliru sejak dalam ginjal. 

Wong setiap orang berbeda, dengan latar belakang berbeda, juga kemampuan dan bakat berbeda-beda. Tidak bisa digeneralisasi seenaknya.

Kamu mungkin tidak bisa bermain bola sehebat Ronaldo. Tidak apa-apa. Tapi kamu juga tentu punya kemampuan sendiri yang unik, yang benar-benar tepat dengan dirimu, yang sesuai bakat, kemampuan, dan passion-mu... yang tidak bisa dilakukan siapa pun di dunia, selain dirimu.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 November 2022.

Dari Mulut ke Mulut

Pada masa Yunani kuno, ada hewan mitologi terkenal bernama manticore atau mantichoras, yang digambarkan sebagai hewan buas dan ganas yang memiliki tiga baris gigi di masing-masing rahangnya, dan di ujung ekornya terdapat duri-duri runcing mengerikan.

Di zaman modern, para ilmuwan memprediksi bahwa sosok manticore sebenarnya rekaan orang di zaman kuno, karena ketakutan terhadap harimau, hewan yang baru dilihatnya. Beberapa orang di masa itu mungkin pertama kali menyaksikan harimau, lalu sangat ketakutan, dan menceritakannya ke orang lain.

Itulah ajaibnya omongan dari mulut ke mulut, dan “keajaiban” itu sudah terjadi sejak zaman Yunani kuno. Si A melihat harimau, ketakutan, lalu menceritakannya pada Si B. Mungkin Si A menggambarkan harimau yang dilihatnya secara akurat, tapi Si B lalu menambahi.

Mungkin Si A mengatakan pada Si B, “Aku melihat hewan aneh, besar, tampak buas, dan mengerikan.” 

Si B lalu menceritakannya pada Si C, “Eh, Si A tadi melihat hewan aneh, buas, dan dia sangat ketakutan. Soalnya, hewan itu punya tiga baris gigi! Gila, kan?”

Si C, yang mendengar cerita itu, lalu menceritakannya pada Si D, “Menurut Si C, Si A tadi melihat hewan buas, aneh, dengan tiga baris gigi mengerikan. Hewan itu juga punya ekor yang ujungnya berduri. Kira-kira hewan apa yang telah dilihat Si A, kok wujudnya aneh begitu?”

Si D lalu menceritakan ulang pada Si E, dan begitu seterusnya. Tiap kali cerita berpindah mulut, deskripsinya berubah, karena si pencerita menambah-nambahi. Hasilnya, seperti yang kemudian diyakini masyarakat Yunani kuno, adalah hewan yang mereka sebut manticore.

Manticore adalah hewan mitos yang tidak bisa dibuktikan keberadaannya, karena ia hanya “khayalan” orang-orang yang doyan menambah-nambahi cerita. Karena hewan yang sebenarnya dilihat Si A adalah harimau, dan harimau jelas jauh berbeda dengan sosok manticore.

Dalam kasus ini, yang jadi topik pembicaraan adalah hewan, yang ujung-ujungnya cuma menjelma mitologi. Bayangkan jika sosok yang dibicarakan adalah dirimu. Orang yang aslinya baik, bisa berubah buruk, ketika melewati cocot orang per orang—hanya karena sentimen pribadi. 

Waktu Berjalan

Waktu berjalan seperti hantu melintas di kegelapan malam.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Juli 2012.

Geli-geli Gimana

Entah kenapa, sampai sekarang masih "geli-geli gimana" tiap nemu kata "bahenol". Itu asal usul katanya gimana, ya? Dan siapa pencipta/penemu kata itu?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Maret 2019.

Teringat Zaman SMA

Tiap lihat orang Arab fasih ngomong Jawa, aku mesti teringat teman-teman zaman SMA. (Sebagian orang pasti paham dulu aku sekolah di SMA apa).


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Maret 2019.

Sering Kali

Memang, sering kali yang mengerikan bukan yang ada di luar sana, tapi yang ada di kepala kita.

    
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Mei 2014.  

Siklus Harian

Habis mandi, nyeruput cokelat hangat, dan udud. Siklus harian yang mestinya membosankan, tapi ternyata bisa dinikmati.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 12 April 2019.

Merasa Kaya

Mengapa kebanyakan kita suka mengumpulkan barang, dan merasa senang mendapati kulkas di rumah penuh makanan? Karena nenek moyang kita juga begitu. Zaman mereka masih tinggal di gua-gua, mereka juga senang mengumpulkan aneka makanan, dan "merasa kaya" dengan adanya banyak barang.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 25 Maret 2019.

Pensiun Dini

Kadang bingung dengan konsep pensiun dini. 

Orang ingin pensiun dini, biasanya karena tidak mencintai pekerjaannya. Kalau tidak mencintai pekerjaan, biasanya sulit sukses. Kalau tidak sukses, bagaimana bisa pensiun dini?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2019.

Ditelepon Kantor Pajak

Barusan ditelepon kantor pajak. Seorang wanita bersuara ramah berbicara, "Laporan pajak Anda xcwlitrn asfaopu et etjsxsd KYRS sfkk wererwevs sdgdgdiee vskik ewrl rewr ewtpvvx etertery cxbcxbcbd. Begitu..."

Aku menjawab, "Ya, ya," tapi sebenarnya tidak paham blas dia ngomong apa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 April 2019.

Sak Klengermu

Iyo.

Senin, 01 September 2025

Lapisan Pengetahuan dan Keyakinan

Ada banyak hal yang memiliki lapisan. Bumi, misalnya, memiliki banyak lapisan, dan pengetahuan manusia belum mampu mengetahui apa yang ada di lapis terdalam. Begitu pun langit, dan hal-hal di antaranya. Semuanya menjadi pengetahuan, dan di dalam pengetahuan pun ada lapisan.‏
 
Siapa yang menjamin pengetahuan yang kita tahu memang benar? Bisa jadi, pengetahuan yang kita tahu—dan kita yakini—sebenarnya salah, karena kita hanya mendapat pengetahuan di lapis terluar yang ternyata hasil rekayasa. Ada banyak pengetahuan yang sebenarnya salah, tapi terkenal.

Selama puluhan tahun, misal, kita mendapat pengetahuan soal sejarah PKI, juga heroisme dan kehebatan tokoh-tokoh tertentu. Belakangan, kita tahu pengetahuan soal PKI hanya rekayasa, sementara heroisme dan kehebatan tokoh-tokoh tertentu yang semula sangat meyakinkan kini mulai dipertanyakan.

Di ranah internasional, kita mengenal tragedi Holocaust yang konon menewaskan 6 juta orang Yahudi. Dunia dipaksa mempercayai kisah itu, tanpa ada kesempatan mempertanyakan. Selama puluhan tahun, Holocaust dianggap kebenaran mutlak, sampai kemudian ada yang berani membongkar.

“Sejarah ditulis pemenang.” Memang tidak selalu begitu, tapi seringnya begitu. Dan kita telah diberitahu kenyataan itu sejak dulu, tapi sering lupa, dan menerima serta mempercayai apa saja yang ditulis oleh para pemenang—siapa pun mereka. Dari situlah muncul lapisan demi lapisan dalam sejarah, pengetahuan, sampai sistem keyakinan.

Selalu ada kemungkinan bahwa sejarah yang kita tahu hanyalah hasil rekayasa. Begitu pula pengetahuan yang kita terima dan kita percaya. Untungnya, sejarah masih memungkinkan pengungkapan, dan pengetahuan masih memungkinkan revisi. Tapi bagaimana dengan sistem keyakinan?

Orang mungkin masih tersenyum saat diberitahu bahwa sejarah yang ia pelajari ternyata salah. Orang juga masih bisa tertawa saat diperlihatkan bahwa pengetahuan yang ia tahu ternyata keliru. Tapi apa yang sekiranya terjadi saat orang diberi tahu bahwa keyakinannya salah dan keliru?

Di zaman kuliah dulu, salah satu mata kuliah yang kuambil adalah Studi Tokoh Islam. Masing-masing mahasiswa membuat makalah mendalam seputar satu tokoh yang dipilih, dan mempresentasikannya. Aku dapat tugas membahas tokoh X (sori, tak bisa kusebutkan namanya).

X adalah tokoh Islam terkemuka, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Temuan, wawasan, serta berbagai perspektifnya, telah membuka cakrawala pengetahuan yang mempengaruhi dunia. Siapa pun yang cukup gaul pasti kenal tokoh ini. Tapi ternyata ada sesuatu yang "mengerikan".

Semakin dalam aku menelusuri kisah hidup tokoh X, semakin bermunculan fakta-fakta aneh dan tak terbayangkan—mungkin lebih tepat disebut “memalukan”. Saat kukonfirmasikan ke dosen, dia menyatakan, “Itu (fakta-fakta memalukan tersebut) benar, tapi sebaiknya jangan diungkapkan.”

Jadi, aku kemudian menulis makalah seputar tokoh X dan hanya menyebutkan sisi-sisi baik serta kehebatannya, tanpa sedikit pun menyebutkan “hal memalukan” yang ia lakukan. Dalam hal itu, aku telah sengaja menyingkirkan satu lapis dari tokoh X, dan hanya menyebutkan lapis terluar.

Itu contoh sederhana bagaimana pengetahuan yang kita dapatkan (dan kita percaya) tidak pernah terjamin benar seutuhnya, karena selalu ada kemungkinan tangan-tangan tak terlihat telah sengaja menyuguhkan apa yang ingin disuguhkan, dan menyingkirkan apa yang ingin disingkirkan.

Dalam contoh tersebut, “rekayasa” yang kulakukan tergolong “soft”, karena hanya memunculkan yang ingin kumunculkan, sambil menyembunyikan yang ingin kusembunyikan. Dalam hal itu, aku sama sekali tidak membengkokkan atau memanipulasi fakta hingga menyimpang atau berubah.‏
 
Tapi bagaimana dengan banyak pengetahuan yang kita dapat selama ini? Siapa yang menjamin kalau pengetahuan itu sama sekali tanpa rekayasa? Dan kalau rekayasa benar terjadi, siapa yang menjamin kalau mereka hanya menyembunyikan sebagian fakta tanpa membengkokkan dan memanipulasi?

Kehidupan yang tidak direfleksikan, kata bocah terkenal di Yunani Kuno, adalah kehidupan yang tidak pantas dijalani. Sekarang, aku memikirkan hal serupa. Jangan-jangan, pengetahuan dan keyakinan yang tidak dipertanyakan adalah pengetahuan dan keyakinan yang tidak pantas diyakini.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 April 2019.

Penipuan Terbesar di Dunia

Penipuan itu terjadi di depan mata kita—sewaktu-waktu—dan kita sering kali ikut terlibat di dalamnya, berpura-pura seolah itu tidak terjadi. Kita tahu itu penipuan, tapi kita pura-pura tak tahu, begitu pula orang lain, dan orang yang sedang menjadi korban penipuan. 

Penipuan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu, semakin banyak korban yang tertipu. Dan semua orang tetap pura-pura tak tahu. Beberapa korban kadang menyadari telah tertipu, tetapi kebanyakan mereka malu mengakuinya. Alih-alih mengakui dan memberi tahu orang lain agar tidak tertipu seperti dirinya, mereka justru berusaha agar orang-orang lain tertipu seperti mereka.  

Maka gaya hidup baru pun dimulai. Orang-orang yang telah jadi korban penipuan berusaha menarik orang-orang lain agar tertipu seperti mereka. Bukannya memberi tahu orang lain atas jebakan tipuan yang telah memerangkap mereka, orang-orang itu justru berusaha menipu orang-orang lain tentang kondisinya. 

Bertahun-tahun bahkan berabad-abad kemudian, penipuan itu telah jadi kebudayaan, dan diwariskan turun temurun. Kita adalah anak-anak hasil tipuan yang memerangkap orang-orang dari masa lalu. Dan, bisa jadi, kita pun akan terus melanjutkan perjalanan penipuan itu, dan mewariskannya kepada anak-anak kita.

....
....

Kadang-kadang aku ngeri menjadi manusia.

Punya Kesibukan

Orang yang punya kesibukan adalah orang yang beruntung. Karena setidaknya ia fokus pada kesibukannya, bukan ngerusuhi kehidupan pribadi orang lain.

Kantor Wali Kota Dibakar

Kantor Wali Kota Pekalongan dibakar massa. Di tengah berita demonstrasi hari-hari ini, berita itu mungkin terdengar "wajar". Tapi peristiwa itu sebenarnya sangat janggal dan tak masuk akal. Alasannya sangat sederhana; warga Pekalongan tidak punya masalah dengan wali kotanya!

Jika para jurnalis meliput peristiwa itu, coba wawancarai warga Pekalongan yang benar-benar tinggal di Pekalongan. Mereka akan menyatakan keheranan terkait peristiwa itu. Karena jika warga Pekalongan benar-benar melakukan demonstrasi, mereka tidak akan membakar kantor wali kota!

Rata-rata warga Pekalongan percaya bahwa para pelaku pembakaran kantor wali kota dan penjarahan yang mengikutinya bukan warga Pekalongan. 

Sejak awal, aksi demonstrasi beberapa hari ini sudah tidak wajar. Hati-hati, guys, semua yang terjadi saat ini tidak seperti yang terlihat.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 31 Agustus 2025.

Jadi Akik

“Setelah itu, kamu jadi apa?”

“Setelah itu, aku jadi akik.”

....
....

Uwong ora ilmiah blas!

Memahami Arti Agama

Jadi kepikiran. Di Indonesia gak ada ya, situs ala Church and State gitu? Setahuku, yang "agak gila" kayak gitu cuma Indonesian Faith Freedom (terjemahan dari situs berbahasa Inggris). Tapi itu pun diblokir di Indonesia, dan entah masih aktif sampai sekarang atau tidak.

Padahal situs-situs kayak gitu sebenarnya dibutuhkan, agar kita—atau setidaknya sebagian dari kita—bisa belajar tentang agama secara (lebih) objektif, khususnya dari orang yang tidak beragama. Itu tidak saja menambah kearifan dalam beragama, tapi juga untuk menguji iman kita.

Dulu, salah satu mata kuliahku di kampus adalah Perbandingan Agama-Agama. Isinya agak ngeri. Pernah, teman sebelahku di kelas berbisik, "Aku khawatir, begitu keluar kelas, aku sudah kafir."

Tapi nyatanya dia tetap taat beragama, dan tetap tekun beribadah... sampai sekarang.

Dalam pikiranku, orang baru benar-benar memahami arti agama, ketika keyakinannya dalam beragama dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan dan realitas-realitas yang secara telak menghantam iman dan keyakinannya... lalu dia berusaha, belajar sangat keras, untuk menemukan jawabannya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 Agustus 2019.

Percakapan dalam Film

Yang aku suka dari banyak film Hollywood: Tokoh-tokoh dalam film sering kali berbicara dengan nada rendah, dengan kalimat yang simpel (tidak terdengar cerewet), tapi mengandung makna yang dalam.

Kalimat dalam percakapan adalah hal yang selalu kuperhatikan dalam film.

Ada orang-orang yang kalau ngomong kelihatan pinter banget, tapi sebenarnya kosong gak ada isinya.

Kadang kita perlu melakukan hal yang benar, meski hati kita sakit. —Mera, mbakyunya Aquaman


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 22 Maret 2019.

Minum Klorofil

Mau beli klorofil, tapi marketplace langganan lagi eror.

Hari gini masih minum klorofil? 

Lhoh, jangan salah. Bocah-bocah superhero, khususnya yang tergabung dalam Avengers, juga minum klorofil. Kalau mereka lagi ngumpul di rumah Tony Stark, minumnya klorofil. Fyi aja.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 7 April 2019.

Hujan di Luar

Ini yang hujan di luar, kenapa hatiku yang basah?


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 27 Februari 2012.

Mengetahui Tren Terkini

Mengetahui tren terkini memang baik. Tapi bukan berarti kita harus selalu mengikuti. Tetap jadilah dirimu sendiri.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 6 April 2019.

Ora

Ora bakal.

Ora percoyo.

Ora kere.

 
;