Sebelas bulan yang lalu, saya menulis catatan di BSM, berjudul Di Bawah Remang Rembulan. Catatan itu mengisahkan saya dan Adit yang mengunjungi Hakim, teman kami, yang waktu itu lagi frustrasi karena menganggur cukup lama setelah kena PHK. Saya mencoba menghubungkan Hakim dengan Alvin, siapa tahu Alvin bisa menerima Hakim bekerja di tempatnya. Saat saya menulis catatan ini, Hakim telah bekerja di tempat Alvin.
Alvin dan Hakim juga Adit kuliah di kampus yang sama, dan mereka saling kenal. Tapi mereka tidak akrab dengan Alvin, dari dulu sampai sekarang. Anehnya, saya yang tidak sekampus dengan Alvin malah akrab dengannya, dari dulu sampai sekarang. Mengapa keanehan semacam itu bisa terjadi? Catatan ini akan mengungkapkan latar belakangnya.
Kisahnya dimulai bertahun-tahun lalu, saat kami sama-sama awal kuliah. Dan saya mengenal Alvin bukan dari kampus, tapi dari warnet.
Awal 2000-an sampai menjelang 2010, akses internet belum semudah sekarang, khususnya di tempat saya. Karenanya di masa itu banyak warnet (warung internet), yang menyediakan akses internet dengan biaya per jam. Pada masa itu pula, saya mulai kuliah, dan kerap butuh internet untuk menunjang kegiatan kuliah. Jadi saya pun sering mengunjungi warnet.
Ada satu warnet yang sering saya kunjungi, dan warnet itu dijaga seorang pria seumuran saya. Di sanalah awal perkenalan saya dengan Alvin. Pada masa itu, Alvin bekerja sebagai penjaga warnet yang dapat shift sore sampai tengah malam.
Biasanya, saya datang ke warnet sekitar pukul 20.00. Itu jam ramai, karena pengguna internet kebanyakan datang ke warnet sekitar jam itu. Kalau warnet sedang full pengunjung, saya harus antre, dan penjaga warnet menyodorkan bangku agar saya bisa duduk. Jadi saya pun duduk di sana, menunggu ada pengguna warnet yang selesai, lalu saya bisa menggantikannya. Dari moment itu pula, saya dan penjaga warnet kadang bercakap-cakap. Pada waktu itu saya belum tahu nama dia, sebagaimana dia juga tidak tahu siapa saya.
Karena saya termasuk pelanggan di sana, penjaga warnet itu pun hafal muka saya. Suatu malam, ketika saya sedang antre dan duduk di dekat mejanya, kami bercakap-cakap, sampai kemudian saling menyebut nama kampus tempat kami kuliah. Ketika mendengar nama kampusnya, saya kaget, lalu bertanya, “Kamu pasti kenal Miko, dong.”
“Kenal,” dia menjawab, “kami satu semester.” Dia lalu balik bertanya, kok saya bisa kenal Miko.
Saya pun menjelaskan, Miko adalah teman saya sebelum kami kuliah, dan Miko pula yang belakangan membawa saya masuk ke sirkel kampusnya, hingga saya mengenal Adit, Hakim, Tanjung, Safik, dan lain-lain.
Dari situ, percakapan kami lalu mengalir.
Itulah awal perkenalan saya dengan Alvin. Bukan lewat kampus, tapi lewat warnet, ketika Alvin masih jadi penjaga warnet.
Selama kuliah, saya sering nyangkruk dengan sirkel Miko, dan bertemu dengan banyak orang lain yang sekampus dengannya, tapi saya tidak pernah bertemu Alvin. Ketika saya tanyakan hal itu pada Alvin, dia mengatakan, “Soalnya aku harus jaga warnet kalau malam hari, jadi nggak ada waktu buat kumpul-kumpul.” Setelah itu, dia menambahkan dengan senyum, “Lagi pula, sirkel Miko isinya anak-anak orang kaya, bukan anak miskin kayak aku.”
Pengakuan itu mungkin terlalu jujur, tapi faktanya memang begitu. Sirkel Miko di kampus dulu memang isinya anak-anak kalangan atas. Di waktu yang sama, Alvin adalah anak miskin yang kuliah sambil berjuang menyambung hidup.
Alvin merasa tidak cocok berbaur dengan sirkel Miko, dan, di sisi lain, sirkel Miko juga mungkin merasakan hal yang sama. Ini fakta pahit yang mungkin ada di kampus mana pun. Sebagian mahasiswa menikmati masa kuliah dengan kebersamaan dan canda tawa, sementara sebagian mahasiswa lain menjalani kuliah dengan kesendirian dan keprihatinan.
Jadi, kegiatan Alvin setiap hari adalah kuliah dari pagi sampai siang. Pulang kuliah, dia beraktivitas di rumah, lalu sore hari berangkat ke warnet tempatnya bekerja, sampai tengah malam. Pukul 00.00, jam kerja Alvin di warnet selesai, lalu dia pulang, tidur, dan besoknya kembali berangkat kuliah, dan begitu seterusnya. Dengan kegiatan harian yang padat seperti itu, Alvin tidak punya waktu luang seperti umumnya mahasiswa lain.
[Belakangan, Alvin bahkan cuti kuliah, dan tidak masuk kampus selama dua semester atau setahun, hingga makin sulit baginya untuk bertemu teman-teman seangkatannya. Cerita soal ini ada di bawah.]
Karena sering datang ke warnet, saya pun makin akrab dengan Alvin. Percakapan yang awalnya dangkal seperti dua orang asing, seiring waktu berubah jadi percakapan mendalam sebagaimana dua orang yang berteman. Dari situ, saya mulai menyadari kalau Alvin sangat pintar, dengan wawasan yang luar biasa. Ketika saya katakan itu kepadanya, Alvin tertawa dan mengatakan, “Lhah, saban malam aku di sini (maksudnya menjaga warnet dan mengakses internet). Jadi rasanya kayak dipaksa belajar tanpa henti.”
Internet di masa itu sebenarnya belum selengkap sekarang. Tapi bahkan di masa itu, internet telah jadi perpustakaan raksasa dengan aneka pengetahuan. Belakangan, hal itulah yang merekatkan hubungan kami, karena percakapan-percakapan kami kian menyenangkan. Bukan percakapan ringan yang dangkal, tapi percakapan-percakapan mendalam yang membuat kami sama-sama berpikir. Kami menikmati percakapan semacam itu.
Suatu malam, seiring kedekatan kami, Alvin mengatakan, “Minggu depan, aku dapat jatah libur. Aku boleh main ke tempatmu?”
“Silakan,” saya menjawab dengan senang.
Di masa itu saya masih ngontrak, dan Alvin benar-benar datang di waktu yang dijanjikan.
Di ruang tamu, kami mengobrol dengan asyik. Di waktu itu pula, Alvin sempat melihat perpustakaan di rumah saya, dan, sambil memandangi buku-buku di sana, ia berkata, “Sekarang aku paham kenapa aku betah ngobrol denganmu. Kamu bisa nyambung diajak ngobrol apa pun, dan ternyata sebanyak ini referensimu.”
Kami lalu melanjutkan percakapan di ruang perpustakaan, dan saya mulai menyadari kalau Alvin seorang introver seperti saya. Ia mengaku kurang bisa berbasa-basi, juga merasa kaku saat berinteraksi dengan orang lain kalau “tidak nyambung”. Selama menjaga warnet, komunikasi Alvin dengan para pengunjung warnet hanya sebatas menyebutkan biaya sewa, menerima pembayaran, dan mengucap terima kasih—sudah. Tidak ada basa-basi panjang, tidak ada percakapan macam-macam.
Karenanya, dia mengaku “takjub” saat kami bertemu dan bisa bercakap-cakap sampai lama, bahkan kemudian akrab, hingga belakangan dia dolan ke rumah saya.
Latar belakang itu pula yang tampaknya menjadikan Alvin kurang akrab dengan Adit dan Hakim, meski mereka sekampus. Adit dan Hakim, dan bisa jadi teman-teman yang lain, mungkin kurang terbiasa berinteraksi dengan orang seperti Alvin yang, menurut mereka, “terlalu ilmiah”—jenis orang yang hanya mau membicarakan hal-hal penting, dan malas kalau diajak ngobrol hal-hal tidak penting.
Kunjungan Alvin ke rumah saya waktu itu belakangan berlanjut dengan kunjungan-kunjungan lain—khususnya saat dia dapat jatah libur dari tempat kerjanya—dan hubungan kami semakin dekat. Dari situ, kami mulai tahu latar belakang masing-masing. Ketika tahu kalau saya berasal dari keluarga miskin, Alvin pun mulai membuka diri.
Alvin adalah anak pertama dengan dua saudara. Sejak Alvin lahir, keluarganya tinggal di rumah kakek dari pihak ayah. Ayah Alvin bekerja sebagai makelar kendaraan, sehingga penghasilannya tidak pasti. Karenanya, Alvin pun kuliah dari hasil kerja sebagai penjaga warnet dan ditunjang beasiswa.
Ketika Alvin lulus SMA, ibunya meninggal. Kemudian, ketika Alvin masuk semester dua di kampusnya, giliran ayahnya meninggal. Kematian sang ayah menjadi awal petaka bagi Alvin dan dua adiknya.
Karena rumah yang ditinggali keluarga Alvin adalah milik sang kakek, rumah itu pun tidak hanya menjadi milik ayah Alvin, tapi juga milik ahli waris lain (adik-adik ayah Alvin). Ketika ayah Alvin meninggal, para ahli waris meminta hak waris mereka. Singkat cerita, rumah itu lalu dijual, dan hasilnya dibagi di antara ahli waris. Alvin dan adik-adiknya menggunakan uang warisan mereka untuk ngekos, dan sejak itu pula mereka tinggal di tempat kos.
Ketika peristiwa itu terjadi, adik-adik Alvin masih SMA, dan Alvin menyadari bahwa cepat atau lambat uang warisan mereka akan habis untuk membiayai kehidupan dan sekolah mereka. Sementara penghasilan Alvin sebagai penjaga warnet hanya cukup untuk membiayai kuliahnya. Alvin pun memutar otak, mencari cara mengatasi masalah itu.
Alvin lalu terpikir membuat angkruk untuk jualan. [Angkruk adalah sebutan untuk warung semi permanen, biasanya dibuat menggunakan kayu atau baja ringan. Saya tidak tahu apa sebutannya di tempat lain.] Ide itu tercetus karena Alvin sering mendapati pengunjung warnet yang kehabisan rokok, dan terpaksa pergi jauh untuk membeli rokok. Pikir Alvin, apa salahnya kalau dia mencoba jualan rokok dan barang-barang lain di dekat warnetnya?
Jadi, Alvin lalu nekad menggunakan sebagian uang warisan untuk membuat angkruk, dan mengisinya dengan aneka jualan. Agar angkruk itu dapat beroperasi penuh, Alvin memutuskan untuk cuti dari kuliah. Pagi-pagi sekali, Alvin membuka angkruknya, dan berjaga di sana sampai sore. Setelah itu, gantian adiknya yang berjaga di angkruk, sementara Alvin memulai kerja di warnet. Jarak antara angkruk dengan warnet relatif dekat dan, seperti yang diperkirakan Alvin sebelumnya, angkruk miliknya jadi andalan para pengunjung warnet untuk mendapatkan rokok, air mineral, atau cemilan.
Satu tahun kemudian, angkruk itu masih berdiri, dan barang yang dijual di sana semakin banyak. Salah satu adik Alvin lulus dari SMA, dan bersedia menjaga angkruk itu seharian. Jadi Alvin pun bisa kembali kuliah, sambil tetap bekerja sebagai penjaga warnet, juga membantu-bantu adiknya yang berjualan di angkruk.
Di masa-masa itulah awal saya mengenal Alvin yang sering saya temui di warnet. Saya memang melihat ada angkruk di dekat warnet, tapi saya tidak tahu itu milik Alvin, juga tidak tahu bagaimana latar belakang berdirinya angkruk itu, bahkan saya tidak tahu kalau orang yang berjualan di angkruk itu adik Alvin.
Jadi, saya kenal hingga berteman akrab dengan Alvin jauh sebelum dia seperti sekarang. Sebenarnya, seperti yang dikatakan sendiri oleh Alvin, di masa itu dia bahkan berada di titik nol dalam kehidupannya. Ketika dia tidak lagi memiliki orang tua, kehilangan rumah yang semula ia tempati, sampai terpaksa cuti kuliah demi menambah penghasilan agar dapat membiayai sekolah dan kehidupan adik-adiknya.
Dan bertahun-tahun kemudian, lelaki yang jatuh di titik nol itu berhasil membangun kehidupannya hingga sukses dan kaya, hingga teman sekampusnya yang frustrasi akibat PHK bisa bekerja padanya.
Hidup memang naik turun. Yang saat ini di bawah bisa naik, dan yang di atas bisa turun. Saya belajar untuk tidak mudah silau pada yang gemerlap, dan tidak memandang rendah pada yang sedang merangkak dalam gelap. Karena kilau paling cemerlang bisa memudar, dan setelah kegelapan paling pekat selalu datang cahaya.