Senin, 24 November 2014

Energi Gelap Tersembunyi

Antara geli dan benci tiap melihat para pendengki.
Mereka seperti monyet tolol yang memaki apel busuk,
hanya karena tak mampu memiliki.
@noffret


Julia Alvarez adalah gadis yang tinggal di kota Juan Domingo Peron, provinsi Formosa, Argentina. Namanya terkenal akibat kejahatan yang menimpanya. Wajahnya dimutilasi oleh dua temannya sendiri, dan kejahatan mengerikan itu terjadi hanya karena Julia Alvarez dianggap terlalu cantik.

Waktu itu Julia sedang dalam perjalanan pulang dari rumah seorang teman. Di jalan yang sepi, dia dihadang dua perempuan yang dikenalnya, dan dua perempuan itu seketika menyerang Julia dengan ganas. Mereka memukul, menendang, membenturkan kepala Julia, hingga akhirnya mereka bisa melumpuhkannya. Setelah Julia tak berdaya, salah satu perempuan penyerangnya mengabil pisau, dan mulai menyayat wajah Julia.

“Semua orang mengatakan kamu cantik,” ujar perempuan itu dengan sinis. “Kamu tak akan cantik lagi setelah urusan kami selesai denganmu. Orang-orang akan memanggilmu Chucky.”

Chucky yang dimaksud adalah boneka seram dengan wajah penuh jahitan, yang muncul dalam serangkaian film horor terkenal. Kenyataannya, Julia Alvarez benar-benar dibuat mirip boneka mengerikan itu. Perempuan yang iri kepadanya menyayat-nyayat wajah dan punggung Julia, hingga gadis itu berlumuran darah akibat banyaknya luka sayatan.

Setelah puas menganiaya korbannya, kedua perempuan itu pergi begitu saja. Julia tergeletak tak berdaya di jalanan, dengan luka-luka mengerikan, sementara darah terus merembes dari wajah dan punggungnya yang tersayat-sayat. Seseorang yang kebetulan melintas kemudian menolong gadis malang itu, dan membawanya ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. Di rumah sakit, Julia mendapat puluhan jahitan di wajah dan punggungnya, untuk menyatukan kembali kulit yang menganga akibat sayatan pisau.

Yeni Alvarez, kakak Julia, membuat foto-foto saat Julia masih di rumah sakit, kemudian mengunggahnya ke Facebook. Foto-foto mengerikan itu pun menyebar dengan cepat, dan menggemparkan seluruh Argentina. Kasus yang menimpa Julia Alvarez seolah membuka mata banyak orang betapa mengerikannya akibat yang bisa ditimbulkan iri hati dan kedengkian.

Ketika diwawancarai media, Yeni Alvarez menceritakan, “Sudah lama mereka iri kepada adik saya. Mereka selalu melecehkan dan menghina dia. Namun, kami tak menyangka mereka akan melakukan ini. Saya mencoba tetap kuat untuk adik saya setiap kali melihatnya. Mereka sudah menghancurkan hidupnya. Sebenarnya, situasi ini menghancurkan keluarga kami.”

Kedua pelaku yang menganiaya Julia Alvarez telah ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Seiring dengan itu, warga Argentina—yang sangat marah—mengutuk perbuatan dan kekejian dua perempuan pendengki itu dengan segala sumpah serapah yang seolah datang dari neraka.

Kini, ketika menulis catatan ini, saya bertanya-tanya, apa salah Julia Alvarez hingga dua orang yang dikenalnya sampai menganiaya dirinya sebegitu keji? Mungkin, satu-satunya kesalahan Julia—kalau memang bisa disebut kesalahan—hanyalah karena dia punya wajah cantik. Kecantikan yang dimilikinya telah menerbitkan iri hati dan kedengkian dua temannya, hingga mereka sampai melakukan perbuatan yang sangat keji kepadanya.

Iri hati dan kedengkian adalah energi gelap yang tersembunyi dalam diri manusia. Sebegitu gelap, hingga pemiliknya sering kali gelap mata dan melakukan hal-hal yang mengerikan... atau memalukan. Orang bisa bertindak irasional ketika terdorong iri hati dan kedengkian, karena energi gelap itu mempengaruhi akal sehatnya. Yang mengerikan, orang-orang semacam itu kadang orang-orang yang kita kenal, yang tampak ramah ketika berinteraksi dengan kita—di dunia nyata maupun di dunia maya.

Cahyo—sebut saja begitu—adalah seorang blogger yang menyebut dirinya “writer”. Di blognya sendiri, di akun Twitter-nya, di Facebook, sampai di Kaskus, dia menyebut dirinya “writer”. Tentu saja tidak masalah, itu hak dia untuk menyebut dirinya apa pun. Mungkin, dia menyebut dirinya “writer” karena telah menulis cukup banyak artikel di blognya. Sekali lagi, tidak masalah, karena itu haknya.

Yang agak jadi masalah, dia mungkin mendengki kepada saya. Sebelum saya muncul, dia mungkin menganggap dirinya blogger paling pintar, paling hebat, dan paling produktif. Kenyataannya, saya sering mendapati komentarnya di blog orang lain dengan nada yang sok dan arogan. Lalu ketika saya muncul, dia merasa dikalahkan—sejak itu sikapnya tidak secongkak sebelumnya. Yang mungkin menyebabkannya makin dengki, saya juga telah menulis banyak buku—sesuatu yang mungkin diimpikannya, hingga dia sangat aktif menyebut dirinya “writer”.

Kedengkian Cahyo semakin tampak, ketika saya membuat blog Belajar Sampai Mati. Ketika berkomentar pertama kali, komentarnya langsung terkesan ingin menjatuhkan saya. Padahal, saya sama sekali tidak berharap dia mengunjungi blog saya, apalagi meninggalkan komentar segala. Tapi Cahyo tampaknya memang hobi meninggalkan jejak di mana-mana, nyampah di kolom komentar blog mana pun—tentu sambil berharap blognya dikunjungi balik. Ketika tahu blog saya dikunjungi banyak orang, dia pun ikut nampang di kolom komentar.

Nah, suatu hari, tiga tahun yang lalu, nyokap dan adik perempuan saya datang ke rumah. Kami pun bercakap-cakap di rumah saya. Sementara saya ngobrol dengan nyokap, adik saya mengambil laptop milik saya, dan keluyuran di internet. Saya tidak tahu dia mengunjungi web/blog mana saja, tapi yang jelas dia tampak cekikikan sendiri bersama laptop saya. Sampai kemudian, dia menoleh, dan bilang, “Bang, coba lihat ini, deh.”

Saya pun tertarik, dan melihat ke layar laptop di pangkuan adik saya. Di layar, terpampang sebuah laman blog milik seseorang yang rupanya sedang membahas buku saya yang waktu itu baru terbit, Mengapa Cewek Cantik Pacaran dengan Cowok Jelek?

Di blog itu, si empunya blog ceritanya baru membaca buku tersebut, dan mungkin dia tidak paham dengan yang saya maksudkan dalam buku. Sebagai pembaca, dia pun menuliskan apresiasi di blognya. Sebenarnya tidak masalah—itu hal biasa. Tetapi, yang membuat adik saya sampai tertarik, di blog itu terdapat komentar seseorang (Cahyo) yang nadanya sangat sok tahu.

Dalam komentar di blog itu, Cahyo menyatakan dirinya tidak membaca buku saya—karena katanya “tidak tertarik dengan buku semacam itu”—tetapi di blog itu dia menuliskan komentar yang terkesan menjelek-jelekkan, dan nadanya sangat sok tahu. Padahal dia tidak membaca buku yang sedang dibicarakannya. Jika seseorang menjelek-jelekkan sesuatu yang tidak diketahuinya, itu namanya apa kalau bukan sok tahu?

Waktu melihat itu, saya cuma tersenyum geli, dan makin menyadari kedengkian si Cahyo. Sambil tersenyum, saya bilang pada adik saya, “Biarin aja, deh.”

Tapi rupanya adik saya terusik. Ketika saya telah kembali bercakap-cakap dengan nyokap, dia menulis komentar di blog tersebut untuk menjawab komentar Cahyo. Intinya, adik saya menjawab, “Sok tahu amat, lu.”

Semula, saya tidak tahu hal tersebut—adik saya tidak menceritakan bahwa dia meninggalkan komentar di blog tadi. Saya baru tahu kenyataan itu, ketika—kalau tak salah ingat—dua bulan kemudian nyokap dan adik saya kembali datang ke rumah saya.

Sama seperti sebelumnya, saya ngobrol dengan nyokap, sementara adik saya asyik dengan laptop di pangkuannya. Dan sama seperti sebelumnya, dia asyik cekikikan sendiri. Kemudian, dia menoleh ke saya dan berkata, “Bang, lihat ini, dong.”

Saya mendekat ke tempatnya, untuk melihat yang ditunjukkannya. Di layar laptop, terpampang blog yang tempo hari, dan pada waktu itulah saya baru tahu kalau adik saya telah meninggalkan komentar di sana, yang ditujukan untuk Cahyo. Rupanya, Cahyo menjawab komentar adik saya dengan penjelasan bahwa, “komentarnya yang menjelek-jelekkan kemarin itu hanya untuk menggoda dan bercanda saja.” (Terdengar klise, eh?)

Tetapi ada satu hal penting yang terjadi di sini. Ketika menulis komentar di blog tersebut, adik saya menggunakan namanya sendiri. Karena dia tidak punya blog, dia pun hanya menuliskan nama serta alamat e-mail-nya, dan mengosongkan kolom alamat blog.

Rupanya, Cahyo sampai berusaha melacak komentar itu dengan cara “membongkar” blog tersebut demi bisa melihat alamat IP komputer yang digunakan adik saya. Karena adik saya menggunakan laptop saya, Cahyo lalu menyimpulkan komentar itu dibuat oleh saya. Kenyataannya, saat membalas komentar adik saya, Cahyo menyangka bahwa komentar itu ditulis oleh saya.

Kenyataan itu menyodorkan cukup banyak hal. Rupanya, selama ini, Cahyo sampai berusaha mengetahui alamat IP komputer (laptop) saya, kemudian mati-matian menghafalkannya. Untuk apa? Mengapa? Dan bagaimana? Bagi saya, kenyataan itu makin membuktikan naluri saya mengenai Cahyo.

Nah, sejak kejadian itu, Cahyo terus-menerus mengirimkan link blognya ke dashboard blog saya. Oh, saya ingat betul—tidak lama setelah insiden di atas, saya terus-menerus mendapati link blog Cahyo di dashboard blog saya, padahal sebelumnya tidak pernah.

Seperti yang saya tulis di sini, munculnya link blog orang lain di dashboard blog kita sebenarnya tidak aneh, kalau memang di blog tersebut ada link yang mengarah ke blog kita. Itu hal wajar, karena bisa jadi pengunjung blog tersebut meng-klik link blog kita yang ada di sana. Sebagai contoh, Blog A memuat link blog saya di blogroll-nya. Kalau sewaktu-waktu saya mendapati ada link Blog A di dashboard saya, itu wajar.

Menjadi tidak wajar jika di blog orang lain sama sekali tidak ada link blog kita, tapi link blog miliknya terus-menerus muncul di dashboard kita. Karena itu berarti si pemilik blog yang secara sengaja mengirimkan link blognya ke dashboard kita. Hal itulah yang terjadi pada Cahyo atau blog Cahyo.

Secara berkala, selalu ada link blog Cahyo di dashboard blog saya. Padahal di blognya sama sekali tidak ada link ke blog mana pun. Jadi dia sengaja mengirimkan link blognya secara manual—entah dengan tujuan apa. Yang jelas, saya tidak mengartikan link itu sebagai undangan agar mengunjungi blognya, karena beberapa kali saya mendapatinya menyatakan bahwa dia tidak mengharapkan banyak pengunjung, karena “dapat menghabiskan bandwith blognya”.

Sampai sekarang, Cahyo masih aktif mengirimkan link blognya ke dashboard blog saya—entah dengan maksud apa. Di mata saya, dia cuma pendengki yang konyol. Sudah ketahuan menjelek-jelekkan saya, lalu dengan sok tanpa dosa terus-menerus mengirimkan link blognya ke dashboard saya. Bayangkan, sejak tiga tahun lalu—sejak kasus di atas—dia rutin melakukan hal itu, padahal terus saya cueki. Bahkan cowok yang pedekate ke cewek pun tidak akan se-ndableg itu!

Umpama saya bertanya langsung kepada Cahyo, kenapa dia terus-menerus mengirimkan link blognya ke dashboard saya, kemungkinan besar dia akan menjawab, “Ah, saya cuma bermaksud menggoda dan bercanda saja,”—jawaban khas pecundang kurang kerjaan.

Terlepas dari semua itu, saya bertanya-tanya dalam hati, “Apa salah saya pada Cahyo, hingga dia sepertinya terus berusaha mengusik saya?”

Satu-satunya kesalahan saya—kalau memang bisa disebut kesalahan—mungkin karena saya dianggap lebih baik dari dirinya.

 
;