Sabtu, 21 Oktober 2017

Tamu Tak Diundang

Memasuki waktu Indonesia bagian minum teh
dengan perasaan mbah-mbuh.
@noffret


Hari Sabtu beberapa bulan kemarin, karena banyak pekerjaan dan juga stres, saya baru tidur pukul 07.00 pagi. Ketika sedang terlelap dalam istirahat yang damai, saya terbangun karena mendengar pintu diketuk-ketuk sangat keras, dan terdengar orang memanggil-manggil, “Permisi...! Assalamualaikum...! Permisi...!”

Dengan jengkel karena istirahat terganggu, saya bangkit dari tempat tidur, dan membatin, “Siapa yang bertamu subuh-subuh begini?”

Sebenarnya, waktu itu sudah pukul 11.00 siang. Jadi, saya sudah tidur sekitar 4 jam. Dengan mata yang masih kriyep-kriyep, saya melangkah ke depan, membuka pintu rumah, dan mendapati laki-laki berusia 30-an. Dia memakai topi, memegangi setumpuk kertas, sementara di dadanya terlihat kartu nama yang dipasang vertikal, seukuran bungkus rokok.

Mendapati saya membukakan pintu, laki-laki itu berkata, “Maaf, Pak, mengganggu.”

“Ya?” saya menyahut ogah-ogahan. Badan rasanya masih ngajak tidur.

“Saya dari biro kelistrikan, Pak,” ujar laki-laki tadi. “Maaf, saya boleh masuk?”

Saya pun mengangguk, dan mempersilakannya masuk. Kami duduk di ruang tamu. Dia masih dengan topi di kepalanya, dan saya dengan mata yang masih kriyep-kriyep. Seharusnya saya membasuh muka agar lebih segar, tapi seharusnya tamu-entah-siapa ini memberitahu dulu kalau mau datang. Saya tidak biasa menerima tamu dadakan!

Laki-laki tadi mulai berbicara, tentang PLN, tentang listrik, juga tentang kenaikan tarif listrik, dan lain-lain, yang intinya soal listrik. Sepertinya dia berusaha menjelaskan maksudnya sedetail mungkin, agar saya—yang tampak belum sadar karena baru bangun tidur—benar-benar memahaminya.

Tapi saya malah tidak sabar mendengarnya bicara bertele-tele. Saya bilang kepadanya, “Langsung saja, Mas. Jelaskan saja intinya.”

Dia terlihat menarik napas, dan kembali memulai, “Begini, Pak...”

“Pertama-tama, tolong berhenti memanggil saya ‘Pak’. Anda lebih tua lima puluh tahun dari saya.”

Dia tampak bingung dan salah tingkah. “Oh, maaf...”

Untuk membuatnya agak rileks, saya bertanya, “Anda merokok, Mas?”

“Tidak, Mas.”

“Bagus. Tapi saya baru bangun tidur, dan mulut saya asem. Anda tidak keberatan saya merokok?”

“Silakan.”

Saya meraih bungkus rokok mentol di meja, dan menyulutnya. Setelah mengisapnya sesaat, saya berkata, “Lanjutkan yang tadi.”

Dia kembali bicara, kali ini tanpa bertele-tele seperti tadi. “Saya ditugaskan untuk mendatangi rumah-rumah di kawasan ini, terkait penggunaan listrik. Seperti kita tahu, tarif listrik naik akhir-akhir ini, dan banyak orang merasa keberatan, akibat kenaikan yang terjadi sangat besar. Karena itu, mulai bulan depan, kantor saya berencana memasang alat di masing-masing rumah secara serentak, yang ditujukan untuk menghemat pemakaian listrik, agar masyarakat tidak terlalu keberatan dalam membayar listrik. Dengan alat yang akan dipasang ini, tarif listrik nantinya bisa turun sampai empat puluh persen.”

Saya mulai tertarik.

Laki-laki itu kembali berbicara, “Untuk itulah, saya ke sini, menemui Anda juga masyarakat yang lain, untuk memberitahukan soal pemasangan alat tersebut. Kalau Anda ingin alat itu dipasang, agar nantinya pemakaian listrik lebih hemat, Anda bisa datang langsung ke kantor kami. Di sana Anda bisa langsung membelinya, dan nantinya petugas kami yang akan memasangkan.”

Saya bertanya, “Berapa harga alat itu, Mas?”

“Satu juta lima ratus ribu rupiah,” jawabnya.

“Kok mahal sekali?”

“Alat itu berfungsi untuk selamanya,” dia menjelaskan. “Nantinya, setelah alat tersebut dipasang, tarif listrik Anda akan turun cukup banyak, karena fungsi alat tadi menghemat pemakaian listrik. Jika sewaktu-waktu alat itu rusak atau mengalami masalah, Anda bisa datang ke kantor kami untuk diganti, dan tidak perlu bayar lagi. Jadi fungsinya seumur hidup.”

Saya mengangguk-angguk.

Dia melanjutkan, “Kalau memang Anda merasa keberatan dengan harga alat tersebut, Anda bisa mendapat keringanan dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga ke kantor kami. Nantinya, Anda akan mendapat potongan hingga lima ratus ribu, jadi tinggal membayar satu juta rupiah.”

Kembali saya mengangguk-angguk, sambil heran. Kalau tujuannya untuk mendapat keringanan, kenapa tidak membawa surat keterangan miskin sekalian? Tapi saya diam saja, dan membiarkan dia terus ngoceh.

“Omong-omong, Mas,” ujarnya, “listrik di rumah ini ditujukan untuk apa saja, ya?”

Saya pun menjelaskan dengan apa adanya. Dia tampak menulis sesuatu di tumpukan kertas. Lalu dia bertanya berapa biaya listrik yang saya bayar setiap bulan. Lagi-lagi saya menjawab apa adanya. Dia kembali menulis sesuatu.

“Apakah pernah kena segel?” ia bertanya.

Saya menyahut bingung, “Apa itu, kena segel?”

“Anu, kena segel adalah istilah untuk orang yang menunggak pembayaran listrik, lalu PLN memutus aliran listrik sampai biaya tunggakan dilunasi.”

“Tidak pernah,” saya menjawab.

Dia mengangguk senang. Lalu kembali bertanya, “Anda asli orang sini, Mas?”

“Bukan.”

“Tapi Anda sudah lama tinggal di sini?”

“Ya.”

Kembali dia mengangguk. Setelah itu, dia kembali berceramah, “Nah, seperti yang tadi saya jelaskan, saya ditugaskan untuk menemui masyarakat sekitar daerah ini, untuk memberitahukan keberadaan alat penghemat listrik yang akan mulai dipasang bulan depan. Kebetulan, kami juga diminta memilih lima orang untuk mendapatkan alat tersebut secara gratis. Lima orang, yang akan menjadi orang-orang pertama yang menerima alat tersebut, sengaja kami pilih dari orang-orang yang tidak pernah menunggak listrik seperti Anda, juga untuk orang-orang asli daerah ini atau yang telah lama tinggal di sini.”

Saya mengangguk.

Dia melanjutkan, “Karena Anda termasuk lima orang yang terpilih, Anda tidak perlu datang ke kantor kami. Saat ini kami sudah membawa alatnya, dan bisa langsung dipasang. Seperti yang saya sebut tadi, Anda juga tidak harus membayar alat tersebut, selain hanya membayar pajaknya.”

“Berapa yang harus saya bayar?”

Dia mengambil selembar kertas terlipat, dan menunjukkan sederet angka. Saya melihat angka yang tercetak di kertas sebesar Rp249.900.

Sementara kami berbicara dari tadi, pintu rumah saya terbuka, dan saya melihat beberapa orang lain—pria juga wanita—yang tampak hilir mudik, berpenampilan sama, mendatangi rumah-rumah tetangga saya. Mereka tentu juga menawarkan hal yang sama ke orang-orang lain.

Saya berkata pada laki-laki yang ada di rumah saya, “Tadi Anda bilang untuk mengambil alat penghemat listrik di kantor. Maksudnya, di kantor PLN?”

“Kantor kami di Dxxx, Mas,” jawabnya. “Anda juga tidak perlu datang ke kantor, karena Anda masuk sebagai lima orang pertama yang bisa mendapatkan alat tersebut secara gratis, selain hanya membayar pajak.”

“Kenapa kantor Anda tidak di kantor PLN?” saya kembali bertanya. “Anda dari PLN, kan?”

“Bukan, Mas, saya dari biro kelistrikan, namun kami telah mendapat izin dari PLN.”

“Jadi, kantor Anda di Dxxx?”

Dxxx adalah kawasan bisnis modern yang kerap digunakan untuk berbagai kepentingan usaha. Ada banyak toko dan kantor di sana—permanen maupun yang sekadar mengontrak beberapa minggu atau bulan. Karena tergolong kawasan mewah, Dxxx jarang didatangi masyarakat kebanyakan. Tapi saya tahu Dxxx juga menjadi lokasi yang kerap digunakan pihak-pihak tertentu untuk melakukan bisnis tidak jelas.

Setelah tahu laki-laki tadi berkantor di Dxxx, saya menegaskan, “Jadi, Anda bukan dari PLN?”

Dia menjawab dengan sabar, “Seperti yang tadi saya bilang, saya dari biro kelistrikan kantor saya, namun kami telah mendapat izin dari PLN.”

Saya meminta izin untuk melihat kertas-kertas yang dari tadi dipeganginya. Dia menunjukkannya, dan saya lihat itu hanya kertas-kertas fotokopian biasa, yang—bahkan sekilas lihat—sudah jelas tidak penting. Ada gambar tegangan tinggi yang mirip logo PLN, dan keterangan-keterangan tidak jelas yang pembuatannya tidak bisa dibilang profesional.

Saya bilang kepadanya, “Saya menunggu pemberitahuan resmi dari PLN saja.”

Dia menyahut, “Kalau begitu, Anda nantinya harus membayar satu juta lima ratus, seperti masyarakat yang lain.”

“Tidak masalah.”

Dia masih berusaha. “Padahal ini kesempatan yang hanya ditujukan untuk lima orang, Mas. Dengan menjadi orang pertama, Anda tidak perlu datang ke kantor, tidak perlu membayar apa-apa, selain hanya membayar pajak alatnya.”

Saya menegaskan, “Biar saya menunggu pemberitahuan resmi dari PLN.”

Mungkin karena menyadari saya tidak bisa lagi dirayu, akhirnya dia berhenti berusaha, dan pamit.

Setelah tamu tadi pergi, saya menghabiskan rokok yang tinggal sedikit, dan berpikir.

Benar-benar cerdik, pikir saya membayangkan orang tadi. Dia mungkin hanya pion—pekerja yang menjalankan tugas di lapangan—yang digerakkan orang-orang di atasnya. Penjualan secara door to door semacam itu memang kerap disalahgunakan, dan modus yang tadi digunakan benar-benar cerdik.

Masyarakat, akhir-akhir ini, sedang dipusingkan masalah kenaikan biaya listrik akibat pencabutan subsidi. Kenaikan yang terjadi bisa sangat besar, dan itu telah menjadi problem sosial sejak beberapa waktu lalu. Rupanya ada orang yang melihat hal itu sebagai peluang, dan menciptakan alat entah apa, yang disebut bisa menghemat pemakaian listrik, sehingga biaya listrik dapat turun, dan bla-bla-bla. Tetapi, jika alat itu benar-benar seperti yang diklaim—yang tentu memberi manfaat besar—kenapa harus repot-repot menjual secara door to door?

Orang tadi mengatakan berkantor di Dxxx, yang biaya sewanya tentu sangat mahal. Kalau alat yang mereka jual memang bermanfaat, jauh lebih baik menyewa stan di swalayan yang didatangi banyak orang, dan memamerkan alat tersebut secara langsung, sehingga orang-orang bisa langsung melihat dan berkonsultasi. Biaya sewa di swalayan tentu setara—atau bahkan lebih murah—dibanding biaya sewa kantor di Dxxx. Kalau memang alat itu bermanfaat, seperti yang diklaim, orang-orang pasti akan tertarik membeli.

Tapi mereka justru berkantor di Dxxx, dan menawarkan barangnya secara door to door, serta “menyaru” sebagai petugas PLN. Saat pertama kali menemui laki-laki tadi, saya benar-benar yakin dia petugas PLN, meski dia tidak mengatakan hal itu. Dia berbicara tentang listrik di rumah saya, dan seketika saya mengasosiasikan dia sebagai petugas PLN. Orang-orang lain—khususnya tetangga-tetangga saya—juga pasti akan berpikir seperti itu.

Kalau ada orang asing datang ke rumahmu, dengan penampilan seperti petugas PLN, dan membawa polpen serta kertas untuk mencatat, plus kartu nama yang mencolok tergantung di dadanya, lalu dia berbicara tentang listrik di rumahmu, mau tak mau kau akan berpikir dia petugas PLN. Itu teknik halus untuk mengelabui. Kalau pun ada orang memperkarakannya, dia bisa mudah berdalih, “Saya tidak mengatakan saya petugas PLN! Kalau Anda mengira saya petugas PLN, itu urusan Anda!”

Benar, dia tidak mengatakan dirinya petugas PLN. Tapi dia berpenampilan dan bersikap seperti petugas PLN, mengatakan dirinya “dari biro kelistrikan kantor saya”, lalu membicarakan listrik di rumah kita. Orang awam, atau yang tidak berpikir panjang, kemungkinan besar akan langsung mempersepsikan dia petugas PLN.

Lalu dia menawarkan alat seharga 1,5 juta rupiah. Ketika saya bilang mahal, dia berusaha menurunkan menjadi 1 juta rupiah, dengan syarat, “Anda datang ke kantor kami, dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga.”

Itu saja sudah janggal, kan? Apa hubungan KTP dan KK dengan penurunan harga alat penghemat listrik? Mungkin akan lebih masuk akal, kalau misal dia mengatakan, “Anda bisa mendapatkan harga lebih murah, kalau datang ke kantor kami dengan membawa surat keterangan tidak mampu dari kelurahan.”

Dan kenapa dia menegaskan “harus datang ke kantor kami”? Itu persuasi untuk menunjukkan bahwa proses mendapatkan alat yang ia tawarkan tidak mudah. Karena saya harus pergi ke kantornya untuk mendapatkan alat tersebut, sehingga saya akan berpikir itu merepotkan.

Lalu, setelah saya tampak tidak terpengaruh untuk segera memiliki alat yang ditawarkannya, dia menggunakan teknik terakhir, yaitu menyatakan bahwa saya termasuk lima orang yang dipilih untuk mendapatkan alat itu secara gratis, dan hanya membayar pajaknya. Besarnya pajak hanya Rp249.900.

Benar-benar teknik closing yang hebat, pikir saya.

Mula-mula, dia berbicara tentang kenaikan biaya listrik yang membebani. Setelah saya sepakat dengannya tentang itu, dia menawarkan solusi—alat yang menurutnya dapat menghemat pemakaian listrik hingga 40 persen. Ketika saya mulai terlihat tertarik, dia menyebutkan harganya yang mahal (1,5 juta rupiah).

Saat saya bilang harga itu mahal sekali, dia menawarkan alternatif penurunan harga, asal saya mau datang ke kantornya dengan membawa KTP dan KK. Karena saya menilai itu ribet, dan saya terlihat tak tertarik, dia menawarkan solusi yang benar-benar hebat. Dia menawari saya untuk mendapatkan alat itu secara gratis, dan akan langsung dipasang saat itu juga, dan saya hanya membayar pajak yang tak seberapa.

Dengan mata yang masih kriyep-kriyep dan kesadaran yang belum utuh karena bangun tidur, bisa jadi saya akan manggut-manggut dengan tawarannya. Siapa yang tidak senang mendapatkan alat hebat—yang dapat menurunkan biaya listrik sampai 40 persen—secara gratis, dan hanya perlu membayar pajak yang tidak terlalu besar? Dengan teknik persuasi mantap, orang tadi benar-benar meyakinkan, dan saya nyaris tergiur. Tidak menutup kemungkinan, orang-orang lain juga tergiur dengan tawaran itu.

Untung, tadi saya merokok. Meski mungkin terdengar tidak berhubungan, merokok membantu saya berpikir lebih logis. Setidaknya, rasa mentol dari rokok yang menyengat lidah saya membantu membangunkan kesadaran, meski mata masih kripyep-kriyep. Dengan kesadaran yang lebih baik, saya bisa menganalisis tawaran yang saya hadapi dengan lebih baik, dan—bisa jadi—selamat dari penipuan.

Kenyataannya, sering ada orang-orang yang datang ke lingkungan saya, berpenampilan seperti petugas dari kantor anu, lalu menjelaskan hal-hal tertentu, yang ujung-ujungnya menawarkan barang. Mula-mula, mereka memasang harga yang tinggi, lalu diturunkan sedikit, sampai akhirnya mematok harga yang relatif terjangkau. Yang jelas, ujung-ujungnya, barang yang mereka jual sebenarnya bukan barang penting, yang tentu harganya memang tidak seberapa. Itu modus yang telah sering saya temui, melalui orang-orang yang pernah datang ke tempat saya tinggal.

Laki-laki tadi—yang datang ke rumah saya—mengatakan bahwa “bulan depan akan dilakukan pemasangan alat secara serentak”, seolah-olah menegaskan itu memang kebijakan dari PLN. Kenyataannya, sampai beberapa bulan hingga sekarang, tidak ada pemberitahuan pemasangan alat apa pun dari PLN.

Dan selama kami bercakap-cakap, bahkan sampai lama, dia sama sekali tidak menunjukkan alatnya, atau gambar alatnya, atau ilustrasi alatnya. Kalau alat yang dia tawarkan memang bagus, mestinya dia akan langsung menunjukkan, biar saya bisa melihat, bisa meraba, sehingga lebih mungkin untuk tertarik.

Yang saya kasihani dari hal semacam ini adalah orang-orang awam yang mudah dikelabui dengan teknik persuasi meyakinkan seperti tadi. Hanya karena mengira orang yang datang adalah petugas PLN, mereka pun merasa mau tak mau harus menerima tawaran yang diberikan, lalu memasang alat entah apa di rumahnya, dan terpaksa membayar mahal untuk sesuatu yang sebenarnya tidak jelas.

Dunia, akhir-akhir ini, sepertinya memang makin tidak jelas.

 
;