Pemandangan paling mempesona yang pernah saya saksikan di Jakarta adalah serombongan bocah mengendarai Ferrari di jalan bebas hambatan, dengan kecepatan tinggi. Ada enam atau tujuh mobil yang saya lihat waktu itu, dan kendaraan mahal beraneka warna itu seperti menciptakan halusinasi, seolah menyaksikan deretan pelangi yang sebenarnya tak tampak. Ini Indonesia, pikir saya. Lebih khusus lagi, Jakarta.
Siapa pun yang hidup di Jakarta pasti paham bahwa kota ini telah dikutuk oleh kemacetan. Dibutuhkan kesabaran seorang nabi untuk bisa merayap di jalan-jalan utama, khususnya lagi di jam-jam sibuk. Karenanya, memiliki mobil sport berkecepatan tinggi semacam Ferrari adalah hal terakhir yang terlintas dalam benak banyak orang, khususnya orang-orang yang tiap hari harus rela dihimpit macet demi mencari sesuap nasi.
Jadi, ketika menyaksikan rombongan Ferrari melaju di sana, saya pun terpesona.
Keterpesonaan saya pada bocah-bocah yang naik Ferrari di Jakarta bukan hanya karena kontradiksinya, juga bukan karena harganya yang luar biasa mahal, melainkan lebih karena implikasi psikologisnya.
Tiga bulan sebelum menyaksikan pemandangan Ferrari di Jakarta itu, saya ngobrol dengan Firman, teman saya, yang menceritakan kisah temannya. Untuk memudahkan cerita, kita sebut saja teman Firman bernama Romeo.
Kisahnya, Romeo butuh membeli spion, tapi uangnya kurang. Ia lalu menghubungi Firman untuk menutupi kekurangan uangnya. Karena mereka telah berteman lama, Firman pun membantu. Ia meminjamkan 10 juta kepada Romeo. Yang jadi masalah, jumlah uang itu masih kurang. Romeo masih butuh 8 juta lagi, dan dia kebingungan.
Mendengar kisah itu, saya buru-buru memotong, “Katamu tadi, dia mau beli spion?”
“Iya,” sahut Firman. Lalu dia menjelaskan, “Dia kan punya 18 juta. Terus aku kasih pinjaman 10 juta. Nah, masih kurang 8 juta.”
Saya seperti salah dengar. “Jadi, harga spion itu berapa?”
“Tiga puluh enam juta.”
Saya membelalak. “Spion keparat apa yang harganya 36 juta...???”
“Ferrari,” jawab Firman. “Dia mau beli spion Ferrari.”
Detik itulah saya baru paham bahwa spion Ferrari harganya tiga puluh enam juta! Baru membayangkannya saja, kepala saya seperti mau pecah. Dipikir dengan akal sehat—khususnya akal sehat saya—kedengarannya sangat tidak masuk akal ada spion harganya sampai puluhan juta! Spion! Demi Tuhan, spion!
Jadi, bocah bernama Romeo tadi adalah anak seorang konglomerat. Suatu hari, dia “jalan-jalan sore” mengendarai Ferrari milik bokapnya, dan suatu kecelakaan kecil terjadi. Ferrari yang dikendarai Romeo menyerempet sesuatu, dan spionnya retak. Cuma itu, dan Romeo panik bukan kepalang. Ia tahu, bagaimana pun caranya, ia harus mengganti spion itu secepatnya, sebelum bokapnya melihat.
Karena itulah, ia kemudian menghubungi teman-temannya, untuk meminjam uang demi membeli spion secepatnya. Dan salah satu teman yang dihubunginya adalah Firman, yang lalu menceritakan kisah itu pada saya. Ketika Firman mengisahkan cerita itu, Romeo sudah mengembalikan uang yang ia pinjam. Dia pasti sudah membereskan masalah spion yang menimpa mobil bokapnya.
Gara-gara kisah itu, saya dan Firman kemudian mengobrolkan Ferrari sambil meneteskan air liur. Bagi orang-orang kere seperti kami, Ferrari tampak lebih absurd dibanding fisika kuantum. Maksud saya, fisika kuantum memang sulit dipahami, tetapi memiliki Ferrari adalah kenyataan yang tampaknya lebih sulit dipahami. Siapa pun tahu berapa harga mobil itu, dan cuma para konglomerat yang bisa membelinya. Oh, well, beruntunglah anak-anak mereka yang bisa ikut mengendarainya, seperti Romeo.
Yang menakjubkan, tampaknya bocah yang mengendarai Ferrari hidup di dunia yang berbeda dengan bocah-bocah yang tidak mengendarai Ferrari, meski mereka tinggal di dunia yang sama. Jika kalimat itu terdengar membingungkan, izinkan saya menjelaskannya.
Romeo dalam kisah di atas berteman dengan Firman cukup lama. Bedanya, Romeo lahir dan tumbuh dalam keluarga kaya raya, sementara Firman lahir dan tumbuh dari keluarga miskin yang serba kekurangan. Mereka kenal dan berteman karena menjadi mahasiswa di kampus yang sama di luar negeri, ketika Firman mendapat beasiswa untuk kuliah di sana. Karena sama-sama berasal dari Indonesia, mereka pun berteman akrab.
Suatu hari, mereka mengobrol dengan asyik, dan dalam obrolan itu Firman menceritakan latar belakang keluarganya yang serba kekurangan. Cerita itu tidak bermaksud apa-apa, selain hanya sebagai bahan obrolan antar dua sahabat baik yang telah lama berteman.
Yang menakjubkan, Romeo sama sekali tidak percaya pada cerita Firman. Yang lebih menakjubkan lagi, dia tidak hanya tidak percaya bahwa Firman berasal dari keluarga miskin penuh kekurangan, tapi tampaknya Romeo sungguh tidak percaya bahwa di dunia ini ada orang miskin!
Obrolan dua sahabat itu pun mengalir, dan Romeo terus “terkagum-kagum” ketika mendengar ada orang-orang yang sampai menggadaikan barang di rumahnya demi bisa menyambung hidup, bahwa ada anak-anak tak bisa melanjutkan pendidikan karena orangtuanya tak sanggup lagi membiayai, bahwa ada orang-orang yang setiap saat dililit kelaparan karena tak punya uang untuk membeli makan.
Romeo tidak percaya. Dia tidak percaya bahwa di dunia ini—di dunia kita ini—ada orang-orang yang tidak seberuntung dirinya. Jadi, ketika Firman menceritakan semua itu dan Romeo terbelalak tak percaya, Firman juga ikut terbelalak tak percaya. Ia tak percaya bahwa ternyata di dunia ini ada orang yang tidak tahu bahwa kemiskinan ada di mana-mana, bahwa kemelaratan menghimpit jutaan manusia.
Romeo, dalam bayangan Firman waktu itu, tak jauh beda dengan Siddharta Gautama. Sebagai pangeran yang menghuni istana, Siddharta Gautama hidup dalam kelimpahan yang gemerlap. Ia tidak tahu bahwa manusia bisa sakit, tua, dan mati. Ia tidak tahu bahwa di luar gerbang istananya ada banyak orang miskin yang hidup penuh kekurangan. Ia pun tak tahu bahwa di dunia ini tidak banyak orang seberuntung dia.
Romeo menghadapi kehidupan tak jauh beda. Lahir dan tumbuh besar sebagai anak konglomerat, dia hanya tahu kemudahan, kemapanan, dan kelimpahan. Dinding-dinding rumahnya yang megah tanpa sadar telah membutakan matanya dari keadaan di sekelilingnya, sehingga ia tidak tahu bahkan tidak percaya bahwa dunia di sekelilingnya tidak sama dengan dunianya. Percakapannya dengan Firman kemudian membukakan matanya, sebagaimana Siddharta Gautama menemukan pencerahan yang mengubah seluruh paradigmanya.
Ketika mendengar segala cerita Firman di atas, saya tertegun lama, dan berpikir keras. Jika ada orang yang tidak percaya bahwa di dunia ini ada kemiskinan dan kekurangan, mungkinkah yang semacam itu hanya satu orang...?
Tiba-tiba saya khawatir, di negeri ini ada banyak orang yang tidak juga menyadari bahwa kemiskinan menjadi wabah di mana-mana, karena mereka telah terbiasa hidup dalam kekayaan dan keberlimpahan. Saya khawatir, di negeri ini ada banyak orang yang terlalu lama hidup dalam kemakmuran, sehingga matanya terbutakan dari kemelaratan yang menghimpit jutaan manusia.
Pada akhirnya, saya khawatir orang-orang yang disebut wakil rakyat itu sama sekali tidak tahu keadaan rakyat yang mereka wakili, sehingga mereka bekerja seenaknya. Seperti bocah-bocah yang melaju kencang di atas Ferrari yang saya lihat di jalan tol Jakarta, saya khawatir pemerintah kita sedang asyik melenggang di atas kemewahan demi keasyikan dan kesenangan dirinya.