Hidup kadang menjanjikan sesuatu
yang menyenangkan... sampai kemudian
dadu takdir terlempar ke tempat salah.
—@noffret
yang menyenangkan... sampai kemudian
dadu takdir terlempar ke tempat salah.
—@noffret
Saya termasuk orang yang tidak suka undian, dalam apa pun bentuknya. Alasannya sepele—saya tidak pernah memenangkan undian mana pun! Jika diingat-ingat, nyaris semua undian yang pernah saya ikuti—dalam apa pun bentuknya—tidak pernah mengantarkan saya menjadi pemenang. Setelah hal itu terjadi berkali-kali, selama bertahun-tahun, saya pun menyimpulkan kalau saya memang tidak “berbakat” menang undian.
Well, menang undian tampaknya memang membutuhkan bakat tertentu. Kalian mungkin punya teman yang ikut undian apa pun bisa dibilang selalu menang, entah apa pun hadiahnya. Jika orang itu ikut undian, entah bagaimana caranya, dia muncul sebagai pemenang.
Saya juga punya teman yang seperti itu. Ikut undian apa pun, hampir bisa dipastikan dia akan menggondol hadiahnya. Memang tidak selalu, tapi sering terjadi. Sampai-sampai banyak benda di rumahnya berasal dari hadiah undian—mesin cuci, seterika, sampai televisi.
Sebaliknya, ada orang yang sepertinya tidak berbakat menang undian. Tak peduli berapa kali pun mengikuti undian, orang semacam itu bisa dibilang tidak pernah menang. Saya termasuk golongan apes ini.
Suatu waktu, ada pameran buku di kota saya. Dalam pameran itu diadakan undian. Untuk setiap pembelian buku senilai Rp. 10.000, mendapatkan 1 kupon. Kupon-kupon itu akan diundi di akhir acara, dan ada cukup banyak hadiah yang disiapkan—televisi, kompor gas, seterika, ponsel, sampai paket buku, dan lain-lain.
Dalam pameran itu saya menemukan banyak buku bagus. Jadi, saya pun belanja buku dengan kalap. Total uang yang saya keluarkan untuk membeli buku selama pameran mencapai 6 juta rupiah. Karenanya, saya pun mendapatkan 600 lembar kupon undian. Saya masukkan semua kupon itu ke kotak yang disediakan, dan berharap satu di antaranya ada yang berhasil memenangkan hadiah.
Waktu itu saya cukup pede, karena memiliki kupon sangat banyak. Jadi, pada waktu acara pengundian kupon, saya pun datang ke acaranya, karena hampir yakin akan memenangkan hadiah yang ada. Teman-teman yang menemani waktu itu juga sama yakinnya dengan saya. Dengan logika paling bodoh sekali pun, masak iya dari 600 kupon tidak ada satu pun yang lolos?
Lalu acara pengundian dimulai. Satu per satu kupon diambil dari kotak, dan panitia menyebutkan nomor yang tertera pada kupon. Orang yang memegang potongan kupon dengan nomor yang sama menjadi pihak yang beruntung mendapat hadiah yang disediakan. Satu per satu kupon diambil. Satu per satu nomor undian disebutkan. Satu per satu hadiah terus berkurang. Dan kupon saya belum juga muncul!
Di antara orang-orang yang beruntung mendapatkan hadiah adalah tetangga saya. Dia memperoleh kompor gas. Ketika dia turun dari panggung sambil menenteng hadiah yang masih terbungkus rapi, saya pun nyamperin, “Wah, hebat nih, bisa dapet kompor!”
Tetangga saya menyahut dengan sumringah, “Iya, nggak nyangka! Padahal aku cuma punya dua kupon, karena beli buku dua puluh ribu perak.”
Mata saya berbinar. Kalau dia yang cuma belanja 20 ribu saja bisa mendapat kompor gas dengan dua kupon, apalagi saya yang belanja 6 juta dengan enam ratus kupon? Dalam hati saya membayangkan, paling tidak saya akan mendapatkan televisi atau kulkas. Not bad, pikir saya berandai-andai.
Tetapi, oh sialan, sampai acara pengundian itu selesai, dan semua hadiah telah habis dibagi, tidak ada satu pun kupon milik saya yang menang. Saya ulangi, TIDAK ADA SATU PUN KUPON MILIK SAYA YANG MENANG.
Dalam hati saya misuh-misuh. Undian keparat macam apa ini...??? Tetangga saya cuma punya dua kupon, dan dia bisa memenangkan hadiah kompor gas. Lhah saya punya 600—damn, enam ratus!—kupon, tapi tidak ada yang menang satu pun. Ini benar-benar ketidakadilan yang sulit diterima akal sehat, khususnya akal sehat saya. Menggunakan rumus probabilitas apa pun, kemenangan 2 kupon berbanding 600 kupon adalah sesuatu yang musykil.
Tetapi, well, itulah undian. Ia tak dapat diterka, tak bisa diramalkan. Undian bukan sesuatu yang baku, yang bisa diprediksi apalagi dipastikan. Ia seperti bola liar, yang bisa jadi mengarah ke utara dan timur, padahal kita berharap ia ke selatan. Dalam undian, sesuatu yang paling musykil dan mustahil pun bisa terjadi. Orang menyebutnya keberuntungan, atau nasib baik bagi yang menang.
Karena kenyataan semacam itu pula, dan melihat “track record” saya yang selalu apes, saya pun tidak terlalu antusias dengan undian. Setiap kali muncul undian tertentu, dengan iming-iming hadiah apa pun, saya tidak terlalu tertarik. Cuma menguras emosi, kalau dipikir-pikir. Saya sudah kadung berharap, telanjur mengandai-andai, tapi ternyata hasilnya nihil.
Jangankan undian yang tidak bisa diprediksi—sehingga tingkat kemenangannya susah diterka—bahkan undian yang bisa diprediksi pun tampaknya tidak berpihak kepada saya. Contoh untuk kasus ini adalah undian yang saya ikuti di rental DVD langganan.
Ceritanya, rental DVD langganan saya mengadakan undian. Sebenarnya sih tidak bisa seratus persen disebut undian. Jadi, menyambut ulang tahun rental itu, mereka menyediakan hadiah monitor LCD 32 inci bagi siapa pun yang menyewa film paling banyak dalam periode tiga bulan terakhir. Karena hadiahnya cukup menggiurkan, saya pun tertarik. Apalagi ini bisa dibilang dapat diprediksi siapa pemenangnya. Dalam logika yang mudah, sewa saja film sebanyak-banyaknya, dan hadiah itu bisa dimenangkan.
Maka itulah yang kemudian saya lakukan. Saya menyewa buanyaaak film dari rental itu, dengan harapan memenangkan hadiahnya. Jangka waktu perhitungannya tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu bisa dibilang saya “mabuk film”, karena banyaknya film yang saya sewa dari rental. Tidak apa-apa, pikir saya waktu itu, yang penting bisa membawa pulang LCD 32 inci.
Tetapi, ternyata, yang berambisi memenangkan hadiah bukan cuma saya—banyak member yang juga menyewa banyak film di rental itu. Kadang-kadang, pas saya di sana, beberapa orang tampak membawa setumpuk keping DVD sambil cengar-cengir memandangi monitor LCD yang dijadikan hadiah. Saya ikut cengar-cengir memandangi hadiah yang dipajang di sana, dan ikutan menyewa setumpuk film.
Dalam undian itu, masing-masing member hanya bisa mengetahui berapa jumlah film yang telah disewanya, tapi tidak bisa mengetahui berapa banyak film yang disewa member lain. Akibatnya, kami semua hanya bisa mengira-ngira, sambil berharap menjadi penyewa film paling banyak, hingga bisa mendapatkan hadiahnya.
Dan permainan itu makin hari makin menggila. Masing-masing member seperti merasa “panas” tiap melihat member lain menyewa banyak film, dan mereka akan menyewa lebih banyak lagi. Gebleknya, saya ikut dalam permainan gila itu. Selama waktu-waktu itu, kerjaan saya sehari-hari cuma nonton film, nonton film, dan nonton film. Bangun tidur, nonton film. Habis makan, nonton film. Habis mandi, nonton film. Habis nonton film, nonton film lagi. Dan saya tidak juga sadar betapa itu sungguh gila.
Sampai kemudian, hari H tiba. Kinilah saatnya untuk mengetahui siapa bocah yang menyewa film paling banyak, yang berhak membawa pulang hadiah LCD 32 inci. Terus terang, saya cukup pede waktu itu, dan sempat membayangkan menjadi pemenang. Saya hampir mampus karena kebanyakan nonton film, dan kinilah saatnya saya mendapatkan hadiah!
Tetapi, oh sialan, semua bentuk undian di dunia ini memang bangsat! Ketika disebutkan pemenangnya, ternyata bukan nama saya! Dalam pengumuman itu disebutkan pula jumlah film yang telah disewa si pemenang, dan jumlahnya cuma selisih dua film dengan saya! Apa yang lebih bangsat dari ini, coba...??? Kalau saja saya menyewa tiga film lagi, maka sayalah pemenangnya! Cuma selisih dua film, ya ampuuuuuuun, mbok ngomong dari kemaren, napa...???
Karena berbagai pengalaman sial menyangkut undian itulah, saya benar-benar pesimis, bahkan apatis, setiap kali mendapati tawaran undian. Pikir saya, tak peduli sekeras apa pun berusaha, keberuntungan undian sepertinya tidak berpihak pada saya. Sepertinya, saya memang tidak berjodoh dengan hal-hal tidak jelas seperti itu. Karena itu pula, sekarang, setiap kali mendapati tawaran undian, saya pun biasanya berkata, “Maaf, saya tidak tertarik.”
Ucapan itu pula yang saya nyatakan tempo hari ketika sedang berbelanja pakaian di swalayan. Ceritanya, sewaktu membayar di kasir, petugas di sana menawari, “Mau ikut undian, Kak?”
Dengan ogah-ogahan, saya menjawab, “Nggak, lah.”
Dia menatap saya sungguh-sungguh. “Bener? Wah, sayang. Ini bisa dapat banyak kupon, lho.”
Persetan, pikir saya. Tetapi, setelah si kasir membereskan belanjaan, tiba-tiba pikiran saya terusik. Sambil menyerahkan pembayaran, saya bertanya, “Uhm... undian apa, sih?”
Sebagai jawaban, kasir itu mengambil selembar brosur, dan menyerahkannya kepada saya. Membaca brosur itu, seketika mata saya berbinar. Dan mungkin setan di neraka langsung bertepuk tangan, karena naluri rakus saya kembali berkobar. Undian yang diadakan swalayan itu tidak main-main. Hadiahnya benar-benar bikin horny. Dan, saat itu juga, saya langsung terbayang untuk belanja dengan kalap demi bisa memenangkan hadiahnya!
Tetapi... wait! Tunggu dulu, pikir saya menahan diri.
Ketika melangkah meninggalkan tempat kasir sambil menenteng tas berisi belanjaan, otak saya berpikir keras. Selama ini, berbagai undian yang pernah saya ikuti berakhir kegagalan, dan saya tak pernah menang. Kenapa...?
Sambil terus melangkah, saya mencari-cari jawabannya, dan tiba-tiba menyimpulkan bahwa kegagalan itu mungkin terjadi karena saya memanjakan kerakusan yang tersembunyi di dalam diri saya. Semua orang punya naluri untuk rakus—itu fitrah manusiawi. Tetapi kerakusan tidak menghasilkan apa-apa. Buktinya saya tidak pernah menang undian. So, bagaimana kalau sekarang saya ikut undian tanpa menjadi rakus? Bagaimana kalau hadiah undian ini saya niatkan untuk sesuatu yang mulia?
Tiba-tiba saya menemukan secercah harap. Saat itu juga, sambil melangkah di swalayan yang ramai, saya tahu apa yang ingin saya lakukan. Saya akan mengikuti undian itu, dan jika menang... well, jika saya memenangkan hadiahnya... saya akan menggunakan hadiah itu untuk memberikan sesuatu kepada nyokap, demi membahagiakannya. Mungkin, dengan niat baik itu, keberuntungan dan nasib baik akan menghampiri saya. Siapa tahu...?