Kadang-kadang kita perlu disakiti
untuk tahu bahwa disakiti itu sakit,
agar kita tidak lagi menyakiti orang lain.
—@noffret
untuk tahu bahwa disakiti itu sakit,
agar kita tidak lagi menyakiti orang lain.
—@noffret
Banyak orang menyukai sushi, makanan khas Jepang, yang dibuat dari hasil laut. Bagi yang suka, sushi memiliki citarasa luar biasa. Salah satu hal penting yang menjadikan sushi lezat adalah kesegaran bahannya. Karenanya pula, hewan laut yang dijadikan bahan pembuatan sushi biasanya dibiarkan hidup, dan baru dibunuh atau dimatikan ketika akan dimasak, untuk menjaga kesegarannya.
Karena pentingnya faktor kesegaran itu pula, beberapa restoran bahkan menyediakan aneka masakan sushi yang bahannya benar-benar segar—dalam arti sebenarnya. Ketika disajikan untuk disantap, hewan-hewan itu benar-benar masih hidup, setengah hidup, atau setengah mati. Konon, sajian itu sangat disukai penggemar sushi, hingga banyak restoran—khususnya di Jepang—yang menjadikannya sajian andalan.
Ikizakuri adalah makanan Jepang yang bahannya menggunakan ikan, lobster, dan udang, untuk dijadikan sashimi. Untuk menyajikan makanan itu, dibutuhkan koki yang tidak hanya andal, tetapi mungkin juga berjiwa psikopat.
Hewan-hewan yang digunakan dalam masakan Ikizakuri tidak dibunuh atau dimatikan terlebih dulu, tapi disajikan dalam keadaan setengah hidup—atau setengah mati. Ikan yang disajikan biasanya dipotong setengah badannya, tapi pemotongan itu diusahakan tidak membunuh si ikan. Jadi, meski tubuhnya sudah terpotong, ikan itu masih hidup, bahkan mampu berenang—tentu dengan kesakitan karena kehilangan sebagian tubuhnya akibat mutilasi. Sementara bagian tubuhnya yang terpotong (bagian bawah) diiris-iris untuk dijadikan sup atau sashimi.
Manusia konsumennya kemudian menyantap sajian itu dengan lahap, sementara si ikan malang (yang kini setengah hidup karena tinggal memiliki bagian atas tubuhnya) menyaksikan semua itu dengan kepedihan.
Selain Ikizakuri, ada pula masakan yang disebut Ebi No Ikita. Bahannya menggunakan udang—biasanya berukuran cukup besar. Sama seperti sajian Ikizakuri, udang yang dijadikan sajian Ebi No Ikita juga mengalami penyiksaan luar biasa. Sebelum dimasak, udang itu tidak dimatikan terlebih dulu, tapi kulitnya dikupas hingga yang tersisa bagian tubuhnya yang kenyal, lengkap dengan kepala dan ekor. “Hebat”nya, koki yang melakukan itu bisa mengusahakan si udang tetap hidup meski telah dikuliti.
Kemudian ada pula masakan yang disebut Ikan Ying Yang (atau Yin Yang). Masakan ini menggunakan bahan ikan. Sama seperti di atas, ikan yang dimasak tidak dimatikan terlebih dulu, tapi digoreng hidup-hidup, dan yang digoreng hanya setengah badannya ke bawah, sementara setengah badannya ke atas tetap dibiarkan hidup.
Untuk menilai apakah ikan itu telah dimasak sempurna atau tidak, dengan melihat kepala si ikan. Jika kepalanya masih bergerak-gerak, yang artinya menunjukkan tanda kehidupan, artinya ikan telah dimasak sempurna. Jika mati, berarti kokinya goblok.
Lalu ada pula masakan hasil laut yang disebut Odori-don. Bahannya tidak menggunakan ikan, tetapi cumi-cumi. Dibutuhkan seorang koki berbakat psikopat untuk bisa menyajikan masakan ini.
Cumi dipenggal kepalanya, dan tentakel-tentakelnya dipotong, tapi tetap diusahakan hidup. Saya tidak tahu bagaimana proses memasak sajian itu. Yang jelas, ketika dihidangkan ke konsumen, cumi yang telah dimutilasi itu masih hidup. Jika kita tuangkan kecap asin khas Jepang—yang memang disediakan untuk menyantap masakan itu—tubuh cumi yang telah dimutilasi itu akan “menari-nari” di atas piring akibat kesakitan. Kecap itu menjadikannya perih sehingga ia pun bergerak-gerak ke sana kemari, sementara konsumennya menganggap itu gerak tari.
Jika masakan-masakan di atas terdengar mengerikan, ada lagi yang lebih mengerikan. Kali ini melibatkan kodok. Karenanya disebut sashimi kodok. Kodok yang disajikan sudah dimasak, tetapi—entah bagaimana caranya—kodok itu masih hidup ketika dihidangkan di atas piring. Si konsumen kemudian akan membuka tubuhnya, untuk mengambil dan memakan jantungnya yang masih tampak berdenyut. Jantung kodok yang masih hidup itulah yang menjadi inti masakan tersebut.
....
....
Saya bukan vegetarian, dan saya juga sering menikmati masakan yang berasal dari hewan—entah pecel lele, ikan bakar, ayam goreng, atau lainnya. Tetapi, ketika menyaksikan sajian-sajian di atas, saya benar-benar kasihan melihat hewan-hewan itu disiksa sedemikian rupa demi memuaskan nafsu manusia, demi mengenyangkan perut mereka. Terus terang pula, saya tidak punya nafsu memakan masakan-masakan semacam itu, apalagi menikmatinya.
Hewan-hewan itu tak berdaya di tangan manusia, bukan hanya karena ukuran mereka yang kecil, tetapi juga karena manusia meyakini bahwa keberadaan hewan-hewan itu memang untuk dijadikan santapan. Ketika menyantap hewan mati dianggap “terlalu mainstream”, sebagian manusia pun terpikir untuk menyantap hewan yang setengah mati. Ketika hewan sembelihan dianggap biasa, sebagian orang pun mencoba memakan hewan dalam keadaan hidup.
Ketika menyaksikan sajian-sajian masakan di atas, saya teringat pada kisah The War of the Worlds, yang ditulis H.G. Wells. Novel itu mengisahkan penyerbuan makhluk luar angkasa ke Bumi, kemudian menjajah manusia. Novel itu telah difilmkan oleh Steven Spielberg dengan memodernisasi kisahnya. Dalam film buatan Spielberg, digambarkan makhluk-makhluk luar angkasa itu menjadikan manusia sebagai santapan.
Manusia benar-benar tak berdaya ketika berhadapan dengan makhluk-makhluk asing itu. Sebegitu tak berdaya, hingga makhluk-makhluk besar yang sangat kuat itu bisa “menikmati” manusia dengan mudah. Dengan tentakel-tentakelnya yang kuat, makhluk-makhluk itu merenggut manusia mana pun yang diinginkannya, kemudian mengisap darahnya hingga habis. Mengisap darah manusia hidup-hidup adalah cara makhluk-makhluk itu makan untuk mengenyangkan perut mereka.
Kisah film itu, dalam bayangan saya, tak jauh beda dengan sajian masakan yang saya ceritakan di atas. Makhluk-makhluk luar angkasa menindas dan membunuhi manusia karena merasa kuat, dan manusia menjadi korban karena lemah tak berdaya. Di sisi lain, manusia menyiksa dan menyantap hewan-hewan karena merasa kuat, dan hewan-hewan itu terbunuh, tertindas, dan tersiksa, karena lemah tak berdaya.
Karenanya pula, ketika menyaksikan sajian-sajian masakan di atas, angan saya membayangkan sesuatu yang liar. Bayangkan, kata saya pada diri sendiri, suatu hari ada segerombolan raksasa yang menginvasi Bumi, kemudian menjadikan manusia sebagai santapan mereka. Manusia tak berdaya menghadapi mereka, karena ukuran kawanan raksasa itu jauh lebih besar. Maka manusia pun hanya bisa pasrah ketika kawanan raksasa itu menjadikannya sebagai makanan.
Agar masakan berbahan manusia itu lebih nikmat dimakan, para raksasa itu pun berinovasi dalam pembuatan resepnya. Ada manusia yang digoreng setengah badannya, lalu disantap dalam keadaan hidup. Ada yang dimutilasi hidup-hidup, lalu bagian-bagian tubuhnya dibuat sup. Ada yang dipotong dan diiris-iris tapi tetap diusahakan hidup, kemudian dimasukkan ke kuali besar, dan dicampur air garam. Ada yang dikuliti, lalu dibumbui kecap asin. Ada pula manusia yang direbus setengah matang, kemudian jantungnya yang masih berdenyut direnggut untuk dimakan.
Tentu saja bayangan saya terlalu liar. Dan semoga hal mengerikan semacam itu tidak terjadi.
Tetapi... saya khawatir hewan-hewan yang dimasak di Jepang juga pernah membayangkan yang saya bayangkan, dan mereka bilang pada temannya, “Tentu saja bayangan saya terlalu liar. Dan semoga hal mengerikan semacam itu tidak terjadi.”
Sial bagi mereka, hal itu sekarang benar-benar terjadi.