Tempe mendoan adalah tempe yang digoreng tidak sampai matang. Sebagian orang menyukai tempe mendoan, sebagian lain tidak suka. Dalam hal ini, kebetulan, saya termasuk golongan yang tidak suka.
Seperti yang pernah saya ceritakan di sini, saya suka gorengan—tapi harus digoreng sampai matang, dan masih panas. Dalam hal ini, tempe mendoan tidak memenuhi syarat itu, karena tidak digoreng sampai matang. Akibatnya, penampilan tempe mendoan tidak garing, tapi rapuh. Oh, well, “rapuh” mungkin bukan istilah tepat, tapi saya tidak tahu istilah yang lebih tepat untuk menyebut penampilan tempe mendoan.
Jika kita harus menyebut istilah yang tepat untuk tempe mendoan, kira-kira tempe mendoan “setengah matang” atau “setengah mentah”? Mayoritas orang mungkin akan menyebutnya setengah matang. Tapi jika ada yang menyebutnya setengah mentah pun tidak salah. Karena kenyataannya memang begitu.
Bagaimana pun, tempe mendoan telah mengalami proses “pematangan”, sehingga bisa dimakan. Ia telah dibumbui dengan tepung, kemudian digoreng dalam wajan berisi minyak panas. Tetapi, karena tidak digoreng hingga benar-benar matang, bagaimana pun kita tidak bisa menyebut tempe mendoan adalah tempe matang—ia masih setengah mentah.
Tempe mendoan memang memiliki unsur “matang”. Tapi matang yang dimilikinya adalah “matang yang setengah”. Bukan matang sempurna. Jika menggoreng tempe hingga benar-benar matang dibutuhkan waktu delapan menit, misalnya, maka tempe mendoan hanya digoreng selama empat menit. Setengah matang. Dan setengah mentah. Tidak benar-benar matang, juga tidak benar-benar mentah.
Sebagian orang menyukai tempe mendoan, sebagian lain tidak suka. Ini soal selera, dan tentu saja tidak ada yang benar atau salah. Penyuka tempe mendoan bisa sangat menikmati kesukaannya, sebagaimana penyuka tempe garing menikmati gorengan kesukaannya. Dalam hal selera, setiap orang bisa berbeda. Nah, bagaimana dengan menjalani hidup?
Dalam hidup, banyak orang yang menjalani kehidupannya dengan paradigma tempe mendoan—tidak mentah, tapi juga tidak matang. Mereka adalah orang yang setengah-setengah. Jika menggunakan perspektif ilmu kepribadian, orang-orang semacam itu disebut “golongan rata-rata”. Sekilas kedengarannya tidak ada yang salah, karena “rata-rata” adalah istilah yang sangat familier.
Tapi apa sebenarnya definisi “rata-rata”?
Dalam bukunya yang mencerahkan, The Magic of Thinking Big, David J. Schwartz mengajukan definisi paling tepat mengenai kepribadian rata-rata. “Orang rata-rata,” kata David J. Schwartz, “adalah orang yang terbaik di antara yang terburuk, atau yang terburuk di antara yang terbaik.”
Itu definisi yang... well, cukup menyedihkan. Sayangnya, definisi itu benar. Orang rata-rata adalah orang setengah matang sekaligus setengah mentah. Ia menjadi yang terbaik jika dikumpulkan bersama-sama orang berkualitas buruk, dan menjadi yang terburuk jika dikumpulkan bersama orang-orang berkualitas baik. Definisi itu sudah menyedihkan. Yang lebih menyedihkan lagi, orang rata-rata adalah orang yang paling tidak diinginkan.
Jika kita menderita penyakit tertentu, dan mengharuskan operasi besar yang menentukan hidup-mati, kira-kira kita akan memilih dokter terbaik atau dokter rata-rata? Jawabannya sangat jelas, kita akan memilih dokter yang terbaik!
Jika kita akan naik pesawat terbang dan diminta memilih; pesawat yang dikendalikan pilot terbaik atau pesawat yang dikendalikan pilot rata-rata, kira-kira kita akan naik pesawat mana? Jawabannya juga sangat jelas, kita akan segera naik pesawat yang dikendalikan pilot terbaik!
Sekarang pikirkan yang berikut ini.
Jika sebuah perusahaan membuka lowongan untuk suatu posisi penting di kantor mereka, kira-kira mereka menginginkan pekerja terbaik atau pekerja rata-rata?
Jika para orangtua rela membayar mahal untuk memasukkan anaknya ke sekolah bonavid, apakah mereka menginginkan anaknya diajar guru terbaik, atau guru rata-rata?
Jika tetangga kita ingin membangun rumah yang indah untuk keluarganya, apakah dia akan mencari arsitek terbaik, atau arsitek rata-rata?
Akhirnya, jika kita ingin memiliki pasangan hidup untuk menghabiskan usia bersama, apakah kita akan mencari pasangan terbaik, atau mencari pasangan rata-rata?
Orang-orang hanya mencari yang terbaik. Kita pun hanya menginginkan yang terbaik. Kantor-kantor dan perusahaan mencari pekerja dan karyawan terbaik. Sekolah dan perguruan tinggi mencari guru dan pengajar terbaik. Toko-toko dan swalayan mencari pramuniaga yang terbaik. Lembaga dan masyarakat luas mencari para profesional yang terbaik. Dan akhirnya... para lajang pun menginginkan pasangan terbaik.
Dalam persaingan yang semakin ketat di zaman ini, orang berkualitas baik akan menemukan dan mendapat peluang. Sementara orang berkualitas rata-rata—apalagi berkualitas rendah—pelan-pelan akan tersingkir. Itu hukum alam, yang bahkan telah dinyatakan Charles Darwin sekian abad lampau. Kompetisi akan mengantar yang paling kuat menjadi pemenang. “Paling kuat” dalam konteks persaingan modern adalah yang “terbaik”.
Ehmm...
Dua tahun yang lalu, saya dihubungi seseorang yang ingin memiliki bisnis majalah. Dia punya uang, punya usaha yang telah berjalan lancar, punya pengaruh, punya koneksi, punya segalanya—tapi tidak tahu bagaimana menjalankan bisnis majalah. Melalui seseorang, dia menghubungi saya. Maka kami pun kemudian bertemu, dan semalam suntuk kami membahas bisnis majalah yang diimpikannya. Di akhir diskusi, kami tidak menemukan titik temu.
Orang itu ingin membangun bisnis baru, tapi rupanya keinginannya setengah-setengah. Dia tidak mau bermain total, selain hanya ingin memasukkan saya ke dalam “permainan” itu, lalu dia bisa mengklaim punya bisnis penerbitan. Saya katakan terus terang kepadanya, saya tidak bisa bekerja dengan cara seperti itu. Dua opsi saya—bekerja dengan kualitas terbaik, atau tidak usah sama sekali. Saya tidak mau buang-buang waktu untuk mengerjakan sesuatu yang setengah-setengah.
Karena upayanya memasukkan saya tidak berhasil, dia lalu mencari orang lain. Singkat cerita, orang itu berhasil menerbitkan majalah yang dikelola orang-orang yang bisa didapatkannya. Majalah itu terbit sebulan sekali. Kualitasnya tidak bisa dibilang bagus—dari sisi redaksionalnya sampai pengemasannya. Ketika melihat majalah itu, saya sempat bertaruh dengan seorang teman, majalah itu tidak akan mencapai sepuluh edisi.
Ternyata benar. Ketika sampai edisi kelima, majalah itu bubar!
Di negeri ini ada ribuan majalah yang terbit setiap bulan, dengan kualitas hebat, dan dikelola orang-orang hebat. Jika ingin bermain dalam persaingan yang sangat ketat itu, uang saja tidak cukup. Untuk menang—setidaknya mampu bersaing—dibutuhkan kualitas terbaik, kinerja terbaik, yang dijalankan orang-orang terbaik dengan visi terbaik. Tidak ada tempat bagi orang rata-rata dengan nilai rata-rata yang hanya bisa menghasilkan sesuatu dengan kualitas rata-rata.
Tempe mendoan mungkin enak bagi orang yang menyukainya. Tapi kita tidak bisa hidup dengan paradigma tempe mendoan. Untuk benar-benar berhasil dalam apa pun bidang yang kita pilih, kita harus “digoreng sampai benar-benar matang”, sampai unsur mentahnya benar-benar hilang. Karenanya, kita harus rela “digoreng” lebih lama, dan harus mampu bertahan selama dalam penggorengan yang mungkin menyiksa.
Orang-orang dengan kualitas terbaik adalah orang-orang yang telah mengalami “proses penggorengan” dalam hidupnya. Dan penggorengan itu bisa berbentuk latihan siang malam, pembelajaran tanpa henti, penelitian tanpa bosan, pendidikan yang serius dijalani, dan integritas serta totalitas yang diberikan ke dalam apa pun bidang pilihannya.
Thomas Watson, pendiri perusahaan IBM, selalu mengingatkan para karyawannya dengan kalimat ini, “Masukkanlah hati dan pikiranmu ke dalam pekerjaan, dan masukkanlah pekerjaan ke dalam hati dan pikiranmu.”
Manusia baru berguna bagi dirinya sendiri, keluarganya, dan orang lain, jika ia berkarya, bekerja, melakukan sesuatu. Dan orang-orang terbaik di dunia ini adalah orang-orang yang “memasukkan hati dan pikirannya ke dalam pekerjaannya, dan memasukkan pekerjaannya ke dalam hati dan pikirannya”. Mereka adalah orang-orang yang total, bukan orang setengah-setengah atau orang rata-rata.
Karena mereka total dalam apa pun yang dikerjakannya, mereka pun menjadi yang terbaik di bidangnya. Karena mereka menjadi yang terbaik di bidangnya, dunia pun melihat mereka.
Bagi orang-orang terbaik, peluang dan pekerjaan tidak perlu dicari. Peluang dan pekerjaanlah yang mencari mereka. Dan, sementara itu, mereka bisa menjalani hidup tenang... sambil menikmati tempe mendoan.