Tiap kali nonton “Mata Najwa”, aku sering berpikir
kalau Najwa Shihab adalah Guru BP yang sedang
menegur kesalahan murid-muridnya.
—
@noffret
Tentu saja saya tidak pernah diwawancara di Mata Najwa! Memangnya saya ini siapa? Wong saya bukan siapa-siapa!
Ada tiga alasan yang menjadikan saya tidak mungkin diwawancara di Mata Najwa. Pertama, Najwa Shihab dan kru Mata Najwa tidak mengenal saya, karena saya bukan siapa-siapa. Kedua, kalau pun mereka mengenal saya, mereka tidak akan mengundang saya untuk wawancara, karena saya memang bukan siapa-siapa. Ketiga, kalau pun mereka menganggap perlu mengundang saya untuk wawancara di Mata Najwa, saya belum tentu bersedia, karena menyadari... saya bukan siapa-siapa.
Jadi, apakah catatan ini dimaksudkan sebagai hoax? Tidak juga. Sebenarnya, catatan ini saya tulis untuk menyambut ulang tahun ke-6 blog ini, dan saya ingin membuat sesuatu yang “tidak biasa” di sini.
Hari ini, enam tahun yang lalu, saya memulai blog dengan catatan pertama. Lalu tahun-tahun berganti, dan catatan yang terkumpul semakin banyak. Saat ini, ada lebih dari 1.500 catatan yang terkumpul, yang sebagian besar merupakan catatan pembelajaran yang saya alami, atau kristalisasi pikiran dari keseharian dan pengalaman yang saya jalani.
Selama tahun demi tahun, bisa dibilang saya melewati setiap ulang tahun blog ini dengan hening, dalam arti tidak ada apa pun yang “tidak biasa” apalagi istimewa. Jadi, selama tahun demi tahun, saat blog ini berulang tahun, saya terus saja menulis seperti biasa, seolah tak ada apa-apa. Kini, saat ulang tahun keenam, saya terpikir untuk membuat sesuatu yang “tidak biasa”.
Saat memikirkan apa yang ingin saya lakukan untuk merayakan ulang tahun blog ini, saya pun terpikir untuk menerbitkan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikirim pembaca ke alamat e-mail saya, yang isinya cukup beragam. Tetapi, agar pemuatan pertanyaan-pertanyaan itu lebih asyik dibaca, saya pikir wawancara imajiner bisa dijadikan sarana untuk mewujudkannya.
Jadi, “Wawancara Saya di Mata Najwa” adalah wawancara imajiner, seolah-olah saya diwawancarai Najwa Shihab di acara Mata Najwa, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah materi-materi yang berasal dari kalian—pembaca setia blog ini.
Dari banyak e-mail berisi pertanyaan (kebanyakan berhubungan dengan blog ini dan kehidupan saya sebagai pribadi), saya pilih yang asyik untuk dibahas dan dibicarakan, juga yang paling banyak ditanyakan. Mulai dari motivasi ngeblog, produktivitas menulis, sampai ciri khas atau kebiasaan tertentu yang sering muncul dalam tulisan-tulisan saya di blog.
Mengapa menggunakan acara Mata Najwa untuk wawancara imajiner ini? Karena saya menyukai acara itu, dan mengagumi Najwa Shihab! Lebih dari itu, format percakapan di acara Mata Najwa saya pikir paling pas untuk digunakan di sini. Jadi, kalau kebetulan—entah bagaimana caranya—Najwa Shihab atau kru Mata Najwa membaca catatan ini, saya berharap mereka memaklumi “kenakalan” saya.
Dan sekarang... well, selamat menikmati wawancara saya di Mata Najwa.
....
....
Selamat datang di acara Mata Najwa, Mas Hoeda.
Terima kasih, Mbak Nana. Well, saya juga punya teman bernama Najwa, dan kami biasa memanggilnya ‘Nana’. Anda tidak keberatan saya panggil begitu?
Silakan. Teman-teman saya juga biasa memanggil begitu. Senang bisa melihat Anda di sini. Kita akan membicarakan cukup banyak hal seputar blog Anda, dan—mungkin—beberapa hal menyangkut kehidupan Anda sebagai pribadi.
Dengan senang hati.
Saat ini, Anda sudah aktif menulis di blog selama enam tahun. Selama bertahun-tahun, bisa dibilang Anda belum pernah hiatus. Apa sebenarnya yang menggerakkan Anda, hingga bisa terus menulis tanpa henti?
Sebenarnya, saya juga pernah hiatus, Mbak Nana, atau mungkin berencana hiatus. Pada 2011, saya pernah berencana libur ngeblog, karena sedang mengerjakan sesuatu yang membutuhkan banyak waktu dan pikiran. Jadi, waktu itu, saya sempat pamit pada pembaca, karena mungkin akan hiatus. Tetapi, ternyata saya tidak mampu. Baru libur dua minggu—kala tak salah ingat—saya sudah gatal ingin menulis di blog lagi. Jadi, rencana hiatus waktu itu bisa dibilang gagal, karena saya kembali ngeblog.
Jadi, apa sebenarnya motivasi Anda ngeblog?
Ngeblog, bagi saya, adalah upaya menjaga pikiran tetap waras. Saya punya kebiasaan buruk—kalau bisa dibilang begitu—yaitu suka memikirkan banyak hal. Melihat apa saja, atau mendengar apa saja, bisa membuat pikiran saya sangat aktif, lalu saya memikirkannya secara mendalam, dan itu sering membuat saya pusing. Upaya untuk mengobati atau mengatasi hal itu adalah dengan mengeluarkannya dalam bentuk tulisan, agar yang ada dalam pikiran bisa keluar.
Dulu, sebelum ada blog, saya suka menuliskan pikiran-pikiran di buku tersendiri, yang lalu saya baca dan nikmati sendiri. Itu pernah menjadi aktivitas yang menyenangkan, dan buku-buku yang saya gunakan untuk menuliskan pemikiran itu jadi semacam kumpulan kegelisahan dari waktu ke waktu. Setelah ada blog, saya pun menggunakan blog sebagai penyaluran kegelisahan pikiran, sehingga yang saya tulis tidak hanya dapat dinikmati sendiri, tapi juga bisa dibaca orang lain.
Itu yang menjadikan Anda mampu menulis tanpa henti di blog, sampai bertahun-tahun?
Benar. Jadi, blog saya sebenarnya rekaman kegelisahan pikiran, yang saya rasakan dari waktu ke waktu. Saya sangat menikmati saat menulis di blog, karena bisa dibilang saya dapat menulis seenaknya, bisa menulis tentang apa saja, dengan gaya seperti apa pun. Di blog, saya benar-benar bisa mengekspresikan diri sekaligus melepaskan banyak hal di pikiran. Itu pula yang membuat saya seperti sulit untuk berhenti menulis, karena selalu ada hal yang perlu ditulis, selalu ada sesuatu dalam pikiran yang perlu dituliskan. Akibatnya, saya ngeblog terus tanpa henti.
Di blog, bisa dibilang Anda membahas banyak hal—dari kehidupan pribadi, sosial, kebudayaan, politik, pendidikan, keagamaan, sampai urusan cinta, dan lain-lain. Bagaimana Anda bisa memahami semua topik itu, hingga bisa menuliskannya?
Sebenarnya, saya tidak memahami semuanya—meski juga bukan berarti saya memahami segala sesuatu secara parsial. Hal-hal yang saya tulis di blog adalah hal-hal yang kebetulan saya tahu. Dalam hal ini, saya diuntungkan oleh hobi saya—membaca. Jauh-jauh hari sebelum menulis di blog, saya sudah hobi membaca buku, koran, juga majalah, sehingga cukup tahu banyak hal.
Aktivitas membaca yang saya jalani bertahun-tahun tak jauh beda dengan menuangkan banyak pengetahuan ke kepala. Ketika kemudian saya mendapati suatu kejadian faktual—entah berhubungan dengan fenomena sosial, pendidikan, atau bahkan kehidupan pribadi—saya pun menggunakan pengetahuan yang ada di kepala untuk menganalisis hal itu, lalu menuliskannya di blog.
Artinya, yang Anda lakukan tak jauh beda dengan proses menulis kolom semacam yang dilakukan Goenawan Mohamad, begitu?
Mungkin bisa dibilang begitu. Meski tentu berlebihan jika menyamakan saya dengan Goenawan Mohamad.
Berkaitan dengan Goenawan Mohamad, Anda tampaknya sangat mengaguminya?
Goenawan Mohamad telah menulis ribuan catatan selama bertahun-tahun, bahkan sejak saya belum lahir. Dan dia menulis tentang banyak hal, minggu demi minggu, di kolom Catatan Pinggir majalah Tempo. Kejadian-kejadian aktual dipotret menggunakan tulisan yang ia hasilkan dari buku-buku yang telah dibaca. Bagi saya, itu pekerjaan mengagumkan, karena tidak hanya membutuhkan kemampuan, tapi juga kesabaran, ketekunan, dan kearifan.
Saya sangat menyukai tulisan-tulisan Goenawan Mohamad, khususnya yang ada di kolom Catatan Pinggir. Saya bahkan mengoleksi semua jilid kumpulan Catatan Pinggir, dan sering mengimpikan bisa menulis sebanyak dia.
Anda pernah terpikir untuk menulis seperti gaya Goenawan Mohamad?
Kalau terpikir tentu saja pernah. Cuma, saya tentu menyadari tidak mungkin menjadi duplikat Goenawan Mohamad—atau siapa pun. Jadi, saya pun berusaha menemukan gaya sendiri, yang lebih sesuai dengan pembaca saya. Lebih penting lagi, sesuai dengan karakter pribadi saya. Jadi, saya hanya terinspirasi oleh Goenawan Mohamad—tulisannya, produktivitasnya, kemampuannya dalam menulis—tapi saya tidak ingin meniru mentah-mentah gaya tulisannya.
Kembali ke blog Anda. Di blog, Anda tidak menyediakan kolom komentar untuk pembaca, sehingga para pengunjung atau pembaca blog tidak bisa menulis komentar apa pun. Apa yang melatari hal itu?
Seperti yang saya bilang tadi, blog ini adalah tempat menuangkan kegelisahan-kegelisahan yang ada di pikiran, yang berasal dari hal-hal yang saya lihat, dengar, rasakan. Artinya, semua yang saya tulis adalah hal-hal yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi. Karena saya yang mengalami, merasakan, dan memikirkan, maka tentu pengalaman itu menjadi sesuatu yang subjektif. Dengan kata lain, yang saya pikirkan bisa jadi jauh berbeda dengan yang dirasakan orang lain.
Jika saya membuka kolom komentar, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi konfrontasi yang tidak perlu dengan pembaca. Bisa jadi, saya berpikir A, sementara pembaca berpikir B. Pembaca yang bijak tentu bisa memaklumi perbedaan pemikiran semacam itu.
Tapi tidak menutup kemungkinan ada pula pembaca yang tidak cukup bijak, sehingga kurang mampu menoleransi perbedaan. Akibatnya, kolom komentar bisa berubah menjadi arena perang. Bisa antara pemilik blog dengan pembaca, bisa pula antara pembaca dengan pembaca. Banyak sekali kejadian semacam itu di dunia blog. Karena suatu tulisan tertentu, para pembaca berperang di kolom komentar.
Saya tidak menginginkan hal semacam itu terjadi. Ketika menulis di blog, saya hanya ingin menulis—menyampaikan yang saya rasakan, yang saya pikirkan, yang saya alami. Jika orang membacanya, dan setuju, silakan teruskan. Jika tidak setuju, ya tidak apa-apa, wong masih banyak blog lain yang bisa dibaca. Saya kan tidak pernah memaksa siapa pun untuk membaca blog saya. Wong umpama tidak ada satu orang pun yang membaca, saya akan tetap menulis.
Artinya, Anda sengaja tidak menyediakan kolom komentar untuk pembaca, karena tidak menginginkan interaksi?
Ya, karena interaksi di blog yang bersifat pemikiran bisa dibilang interaksi yang subjektif. Di blog, saya menuangkan pemikiran saya yang bisa jadi berbeda dengan pemikiran orang lain. Yang menjadi masalah, banyak orang di internet yang sangat reaktif. Ketika mendapati sesuatu yang dianggap berbeda, mereka langsung aktif bahkan agresif memuntahkan komentar. Mereka seperti tak peduli—atau tak menyadari—kalau komentarnya kadang sangat dangkal, dan hanya menyentuh permukaan.
Karena komentarnya reaktif, isinya pun belum tentu positif. Blak-blakan sajalah, sangat sedikit pembaca di internet yang mau berkomentar secara reflektif apalagi kontemplatif.
Tapi biasanya blog yang mendapat banyak komentar reaktif semacam itu malah yang ramai? Para pembaca biasanya saling bereaksi dan berinteraksi secara ramai di kolom komentar.
Kalau untuk itu, tampaknya kembali pada motivasi kita ngeblog. Ada memang yang justru suka blognya ramai oleh komentar-komentar pro dan kontra semacam itu. Bahkan banyak yang sengaja menulis topik-topik kontroversial, karena berharap para pembaca akan “berperang” di kolom komentar—antara yang sepakat dan yang menentang. Tidak masalah, karena itu kembali pada motivasi si empunya blog.
Dalam hal ini, motivasi saya ngeblog tidak untuk hal semacam itu. Saya tidak memburu keramaian atau popularitas. Saya ngeblog untuk menuangkan pikiran saya, pengalaman dan kegelisahan yang saya alami, dan membiarkan pembaca untuk mencerna serta mengendapkannya dalam pikiran masing-masing secara hening. Jadi, di blog, saya seolah berkata pada pembaca, “Hei, ini pikiran-pikiranku. Kalau kau setuju, silakan lanjut membaca. Kalau tidak setuju, tidak apa-apa.”
Anda juga punya blog Belajar Sampai Mati, dan di blog itu Anda membuka kolom komentar untuk pembaca. Bagaimana Anda menjelaskan hal itu?
Blog
Belajar Sampai Mati jauh berbeda dengan blog pribadi saya, Mbak Nana. Di blog
Belajar Sampai Mati, saya hanya menuliskan fakta, yang bersumber pada data-data yang saya baca dan pelajari. Topik-topik yang dibahas di blog
Belajar Sampai Mati juga sangat luas—meliputi sejarah, astronomi, flora fauna, biologi, sampai tokoh-tokoh dunia. Tapi semua tulisan di blog
Belajar Sampai Mati berdasarkan fakta berbasis data. Saya bahkan menuliskan daftar pustaka di blog itu, yang semuanya bisa ditelusuri para pembaca.
Artinya, jika ada pembaca yang tidak setuju dengan yang saya tulis di blog tersebut, dan ingin menyanggah atau menyangkal, maka dia harus menggunakan data yang dapat diverifikasi. Di blog
Belajar Sampai Mati, orang tidak bisa seenaknya menulis komentar subjektif, karena blog itu dibangun di atas data. Kalau dia tidak setuju, dia harus menunjukkan datanya.
Nah, di blog
Belajar Sampai Mati, saya memang sengaja membuka kolom komentar, karena saya pikir komentar di blog tersebut dibutuhkan. Bagaimana pun, saya manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan. Tidak menutup kemungkinan, saya mengalami kekeliruan tertentu dalam penyajian suatu artikel, dan ada pembaca yang cukup jeli menemukan kekeliruan saya, lalu dia menuliskan ralat di kolom komentar. Itu justru bagus—kita saling belajar tanpa merasa paling benar—dan karena itu saya membuka kolom komentar di blog tersebut.
Tidak pernah ada “perang” komentar di blog Belajar Sampai Mati?
Bisa dibilang tidak pernah, karena... ya itu tadi, semuanya berbasis data, sehingga penilaian atau pemikiran subjektif bisa diminimalisasi. Bahkan kalau pun terjadi perbedaan, tetap saja masing-masing pihak harus kembali pada fakta atau data yang bisa diverifikasi. Hal semacam itu kan sulit dilakukan pada blog pribadi yang isinya murni pemikiran. Namanya pemikiran, selalu ada kemungkinan berbeda orang per orang. Dan dalam urusan pemikiran, kita sulit melakukan verifikasi, karena sifatnya yang subjektif.
Sepertinya pembicaraan kita makin mengasyikkan. Tapi kita harus break sejenak, karena ada yang mau lewat.
Pemirsa Mata Najwa, jangan ke mana-mana, karena kita akan segera kembali setelah pesan-pesan berikut ini.
Lanjut ke sini:
Wawancara Saya di Mata Najwa (2)