Jumat, 20 Januari 2023

Dialektika Hegel dan Pintu Kebijaksanaan

Di Twitter, saya sering mendapati thread filsafat dari akun LogosID. Akun itu bahkan membuat serial thread, yang masing-masing thread berisi satu filsuf dengan pandangan filsafatnya. Mungkin karena tujuannya sekadar untuk memperkenalkan, masing-masing thread itu sangat singkat, bahkan disebut “1 minute thread” atau thread yang bisa dibaca dalam satu menit.

Nah, tempo hari saya mendapati satu thread tentang Hegel (Georg Wilhelm Friedrich Hegel), filsuf idealis Jerman yang terkenal dengan dialektika (tesis-antitesis-sintesis). Saya tertarik ingin mengelaborasi thread itu di Twitter, namun khawatir kalau terlalu panjang dan bikin tidak nyaman para follower. Karenanya, saya pun memilih untuk menulisnya di sini. Tentu saja tidak akan panjang lebar, wong ini juga cuma nunggu udud habis. 

(Kok sama kayak di Twitter, mung sak ududan?)

Lha kan saya tadi bilang, ocehan ini semula mau saya muntahkan di Twitter. Jadi jatahnya ya tetap sak udud.

....
....

Tesis, antitesis, dan sintesis, adalah temuan paling revolusioner—kalau boleh disebut begitu—di dunia filsafat, terkait kesadaran dan kehidupan manusia. Meski mungkin tersamar, dalam arti tidak secara frontal, pengetahuan dan kesadaran mengenai hal itu meruntuhkan berhala kebenaran. 

Setiap kali kita mendengar istilah “berhala”, yang biasa muncul dalam imaji kita adalah patung-patung yang disembah manusia. Padahal “berhala” tidak sebatas itu. Berhala, dalam pengertian intelektual atau filsafat, adalah p(em)ikiran manusia yang disembah dan dituhankan.

Berhala semacam itu jauh lebih berbahaya dari patung-patung yang hanya diam. Karena ketika ada manusia diberi hak—atau merasa punya hak—untuk memberhalakan pemikirannya, dampaknya bisa destruktif pada dirinya sendiri maupun manusia lain.

Mari gunakan contoh mudah, agar tidak ada yang ngamuk. Bayangkan seorang Raja yang memiliki kekuasaan mutlak. Suatu hari dia makan jagung bakar, dan tersedak. Lalu dia berpikir bahwa makan jagung bakar bisa berbahaya, dan dia melarang semua orang makan jagung bakar.

Karena pemikiran sekaligus larangan itu datang dari seorang Raja dengan kekuasaan absolut, semua orang patuh, dan tidak ada yang berani membantah. Maka pemberhalaan pun dimulai—dalam hal ini pemberhalaan pemikiran Sang Raja mengenai jagung bakar.

Masalahnya adalah... apakah pemikiran itu benar, bahwa jagung bakar memang makanan berbahaya? Kita tahu, pemikiran itu keliru! Fakta bahwa seorang Raja makan jagung bakar lalu tersedak, bukan berarti semua orang akan ikut tersedak saat makan jagung bakar.

Dalam dialektika Hegel, secara sederhana, pemikiran bahwa “jagung bakar adalah makanan berbahaya” (yang dilatari faktor seseorang tersedak karena makan jagung bakar), disebut tesis. Sekali lagi, ini cuma contoh/gambaran sederhana—tentu saja arti tesis tidak setolol itu.

Tesis adalah pemaparan mengenai suatu kebenaran yang disertai metode penelitian dan data konkrit, atau kesimpulan atas hasil riset yang didasari bukti-bukti dan pemikiran logis. Pendeknya, tesis adalah pernyataan atas sesuatu yang dianggap kebenaran oleh seseorang.

Kembali ke kasus jagung bakar yang dianggap makanan berbahaya, hanya karena seseorang tersedak saat memakannya—itu contoh tesis dalam ilustrasi sederhana. Nah, tesis ini bermasalah ketika orang yang memaparkan tesis tersebut merasa punya hak absolut tak-mungkin-salah.

Pemikiran manusia selalu punya kemungkinan salah. Jika kita menolak kenyataan ini, kita sedang menciptakan berhala. Itulah pentingnya dialektika Hegel, hingga saya menyebut “tesis, antitesis, dan sintesis, adalah temuan paling revolusioner terkait kesadaran dan kehidupan manusia.”

Karena pemikiran manusia selalu punya kemungkinan salah, maka kita memberi kemungkinan lahirnya antitesis, yaitu bantahan atas tesis/pendapat/pemikiran sebelumnya yang dianggap benar, atau sangkalan atas tesis yang diajukan sebelumnya. Di titik ini, berhala runtuh.

Dalam kasus jagung bakar yang dianggap makanan berbahaya, bentuk antitesis bisa berupa, “Jagung bakar bukan makanan berbahaya. Ada miliaran orang yang makan jagung bakar, dan mereka baik-baik saja. Bahkan jagung bakar mengandung aneka vitamin,” dll—misalnya.

Tesis diajukan, antitesis menanggapi, dan kesimpulan atas dua hal yang saling bertentangan itu—jika ditemukan—disebut sintesis, yaitu simpulan yang didasarkan pada dua pandangan yang sebelumnya saling bertolak belakang. Omong-omong, inilah yang disebut dialektika Hegel.

Dalam pemikiran ideal, dalam konteks sosial kita sekarang, kehidupan manusia sebenarnya tidak akan kacau, rusak, atau saling menyalahkan, andai kita mau menyadari kenyataan ini. Bahwa tidak ada pemikiran manusia yang bisa diberhalakan sebagai kebenaran mutlak. 

Contoh paling sederhana, dan paling populer, para remaja dan anak-anak muda diprovokasi agar segera menikah dengan iming-iming, “Menikah akan membuatmu tenteram, bahagia, dan lancar rezeki!” Mari kita terima fakta bahwa itu hanyalah tesis dari pikiranmu.

Faktanya, ada jutaan orang menikah dan mereka bercerai. Ada jutaan orang berkeluarga, dan hidup mereka keblangsak. Ada jutaan anak yang terlahir ke dunia hanya untuk menanggung beban luka dan kesengsaraan. Ini antitesis untuk tesismu. Dan pemikiranmu bukan berhala!

Kita lihat, ada dua pemikiran di sini yang saling bertolak belakang. Manakah yang benar? Bisa jadi keduanya benar. Karena nyatanya ada orang-orang yang menikah dan mereka bahagia sampai tua. Dan nyatanya ada pula orang-orang yang menikah dan mereka sengsara sampai ajal.

Kedua kebenaran itulah yang lalu dirangkum jadi sintesis. Bahwa ada orang yang menikah, dan mereka bahagia. Ada pula orang yang menikah, dan hidup sengsara. Sintesis lain, orang yang menikah menghadapi kebahagiaan dan kesusahan, karena begitulah kehidupan.

Karenanya, pernyataan “menikah akan membuatmu tenteram, bahagia, dan lancar rezeki”—itu belum titik, dan baru bagian senangnya. Kalau mau adil, jelaskan pula bagian susahnya, bahwa menikah juga rentan menimbulkan konflik, masalah, beban besar tanggung jawab, hingga perceraian.

Dialektika Hegelian—tesis, antitesis, dan sintesis—mengajarkan cara berpikir secara komprehensif, holistik, menyeluruh, dan itulah pintu pertama kebijaksanaan. 

 
;