Senin, 10 Juli 2023

Catatan dari Beberapa Bulan Lalu

Tak terasa, sebulan sudah aku meninggalkan rumah. Di sini, aku menempati sebuah rumah sebagai basecamp, dan suasananya sangat nyaman. Hening, sunyi, tidak ada suara-suara bising yang mengganggu. Kondisi ini benar-benar sempurna untuk bekerja dan berpikir sepanjang hari.

Kadang-kadang aku keluar rumah, entah siang atau malam hari, untuk berbagai keperluan, dan sangat jarang ketemu tetangga. Suatu sore, aku keluar karena ada penjual bakpao lewat depan rumah, dan kebetulan waktu itu ada dua tetangga—semua pria—yang juga keluar rumah.

Sebagai bentuk keramahan, karena kami baru ketemu waktu itu, kami bertiga lalu makan bakpao sambil ngobrol. Dari mereka, aku tahu kalau orang-orang di kompleks ini punya kesibukan sendiri-sendiri. Siang bekerja di luar, dan pulang kerja sudah lelah hingga istirahat tenang di rumah.

Sebenarnya, aku memang sudah menduga begitu. Pagi-pagi sekali, aku selalu mendengar suara kendaraan—motor atau mobil—yang tampaknya membawa pemiliknya ke tempat kerja, dan biasanya mereka baru pulang sore atau menjelang malam. Karenanya, tempat ini selalu sepi dan tenang.

“Kami jarang berinteraksi dengan tetangga,” kata salah satu pria yang mengobrol denganku. “Meski begitu, kekerabatan di sini sangat baik. Kalau ada tetangga yang punya hajat, misalnya, kami saling bantu. Sebulan sekali, kami juga punya acara pertemuan antartetangga.”

Lalu pria satunya menimpali, “Sebenarnya, kami memang sengaja menciptakan kondisi seperti ini—sebisa mungkin tidak sering berinteraksi antartetangga—untuk meminimalkan kemungkinan gesekan. Bertemu sebulan sekali lebih baik, daripada berinteraksi setiap hari.”

Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan itu, dan memahami sepenuhnya maksud mereka. Penjelasan itu juga membuatku paham kenapa anggota keluarga yang di rumah—yang tidak berangkat kerja—juga tampaknya sangat jarang keluar rumah untuk ngerumpi dengan tetangga.

Waktu kutanya apakah mereka nyaman tinggal di lingkungan ini, mereka tampak tersenyum. “Nyaman sekali!” kata salah satu dari mereka. 

Lalu satunya menimpali, “Kami justru pindah ke tempat ini karena memang ingin mendapatkan suasana tenang tanpa keributan apa pun.”

Karena tertarik, aku tanya bagaimana mereka bisa menciptakan lingkungan seperti ini, dan salah satunya menjelaskan, “Kami mungkin beruntung, karena yang tinggal di sini rata-rata berusia sama—tidak ada yang jauh lebih tua atau jauh lebih muda—jadi semua orang merasa setara...”

“Kemudian,” lanjutnya, “semua orang yang tinggal di sini juga berpendidikan, dan masing-masingnya punya pekerjaan serta kesibukan. Dengan latar belakang seperti itu, kami jadi lebih mudah saat berkomunikasi, karena satu sama lain bisa saling memahami dengan baik.”

Sekali lagi aku mengangguk-angguk, dan membayangkan betapa ideal kehidupan yang “tanpa sengaja” mereka ciptakan. Semua orang berusia rata-rata sama, sehingga tidak ada yang sok tua. Semua orang juga berpendidikan (beradab), sehingga tidak ada yang suka nyinyir pada tetangga.

Semua orang juga punya kesibukan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada waktu luang untuk nongkrong atau ngerumpi. Dengan sistem kehidupan semacam itu, pantas kalau semua orang merasa tenang, tenteram, dan bahagia. Karena, sebagaimana kata Sartre, “L'enfer, c'est les autres.”

 
;