Harga seporsi mi tek-tek naik seribu rupiah, mulai malam ini. "Maklumlah, Ramadan," kata penjualnya tadi, saat menjelaskan kenaikan harga.
Dan aku hampir yakin, kelak—setelah Ramadan dan lebaran jauh berlalu—bahkan sampai kiamat sekali pun, harga itu tidak akan pernah turun.
"Lhah, paling naik seribu perak aja ribut!"
Jangan salah paham. Esensi yang kupersoalkan bukan nominalnya, tapi dampak yang ditimbulkan oleh datangnya Ramadan dan lebaran terhadap kaum dhuafa—pihak yang seharusnya bersuka cita dengan datangnya lebaran, tapi malah kian tercekik.
Kalau yang kupersoalkan adalah kenaikan harga, tentu aku akan meributkan harga tiket pesawat yang naik gila-gilaan. Tapi tidak, karena memang bukan itu yang kupersoalkan. Tiket pesawat tidak menyentuh kehidupan langsung kaum dhuafa, dan konsumennya punya daya untuk menentang.
Kalau kau naik Lamborghini, bahkan pengamen jalanan tidak berani mendekati mobilmu. Tapi kalau kau naik bus kota, pengamen bahkan bisa menodongkan pisau ke dadamu. Itu ilustrasi mudah kenapa yang satu bisa dibiarkan, tapi yang satu lagi patut dipikirkan [dan dibantu] hak-haknya.
Di lingkungan tempat tinggalku, ada banyak orang yang mendapat upah Rp30-40 ribu per hari. Mereka tidak peduli harga tiket pesawat yang semahal setan, tapi mereka mengeluh dan merasa teraniaya dengan harga makanan sehari-hari yang selalu naik tiap Ramadan dan lebaran datang.
Orang-orang yang tidak pernah miskin memang sering kali sulit memahami seperti apa rasanya menjadi miskin—terdesak oleh hidup, tercekik kenyataan pahit. Persis seperti orang-orang miskin yang juga tidak percaya ketika diberitahu bahwa sebiji sekrup Lamborghini harganya 3 juta.
Mungkin itu pula kenapa muncul istilah "kelas menengah ngehek". Karena yang suka "ngehek" memang cuma kelas menengah—miskin tidak pernah, tapi kaya juga tidak! Akibatnya sulit berempati pada orang-orang miskin, tapi juga tidak tahu seperti apa menjadi kaya. Dasar ngehek!
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 14 Mei 2019.