Mending kelihatan miskin tapi kaya, daripada sebaliknya, ya? Setidaknya, menurutku begitu.
"Kelihatan kaya" itu beban sosialnya tinggi. Kalau beneran kaya sih gak masalah. Tapi kalau "cuma kelihatan kaya", itu bisa bermasalah. Aslinya gak punya duit, tapi orang-orang ngira kita kaya, lalu berharap macam-macam.
Lebih enak kelihatan miskin—atau kelihatan biasa-biasa aja, dah—tapi aslinya kaya-raya, duit banyak, gak pusing mikir utang atau aneka tagihan. Orang semacam itu gak butuh tipu-tipu di Instagram, karena memang gak butuh pengakuan. Intinya dia kaya, itu aja.
Omong-omong, kelihatan kaya dan bener-bener kaya itu "rasanya" beda, lho. Orang yang cuma kelihatan kaya, bagaimana pun punya kekhawatiran, khususnya dalam urusan uang. Sementara orang yang benar-benar kaya gak punya kekhawatiran semacam itu. Wong memang asli kaya.
Begitu pun kelihatan miskin dan benar-benar miskin, "rasanya" juga beda. Orang yang benar-benar miskin bisa merasa terhina kalau diejek miskin. Sementara orang yang cuma tampak miskin, bisa menertawakan ejekan semacam itu. Wong aslinya dia kaya! Diejek miskin itu kayak lelucon.
Untuk membuktikan "tesis" ini, caranya mudah.
Masuklah ke mall dengan penampilan mewah. Kalau dompet kita lagi bokek, rasanya gak nyaman, karena kita tahu gak akan bisa beli apa-apa. Penampilan semewah apa pun gak bisa menolong. Yang ada malah batin tertekan, karena bokek.
Tapi kalau kita benar-benar kaya, masuk ke mall dengan penampilan gembel sekalipun gak masalah. Rasanya tenang, nyaman, dan bahagia, karena kita tahu bisa membeli apa pun yang kita inginkan di mall. Dalam hal ini, penampilan bisa dibilang tak berfungsi apa-apa.
Sayangnya, kita hidup di zaman ketika Instagram menjajah peradaban, dan tiap orang merasa butuh punya "etalase" untuk pamer. Masalah terjadi, ketika kita gak punya sesuatu untuk dipamerkan. Akibatnya, sebagian orang terpaksa berbohong demi tampak kaya, bahkan mewah.
Fenomena Instagram ini, dalam skala lebih luas, khususnya di dunia nyata, sebenarnya telah menimbulkan masalah. Orang-orang ingin tampak kaya dan kelihatan mewah, bahkan glamor, karena berpikir dunia menuntut mereka begitu. Padahal diri mereka sendiri yang menuntut begitu.
Di sisi lain, ada banyak orang yang kemudian menilai orang-orang lain berdasarkan penampilannya, akibat penetrasi dan pengaruh Instagram yang begitu kuat. Orang bisa diremehkan bahkan dihina, hanya karena terlihat miskin—padahal bisa jadi kaya-raya. Dan begitu juga sebaliknya.
Ngoceh soal ini mengingatkanku pada peristiwa tempo hari, yang beritanya bahkan sempat viral di medsos. Tentang pria bernama Zainal Abidin, yang merupakan salah satu miliuner di Malaysia. Dia kaya-raya, tapi suka berpenampilan sederhana, di antaranya pakai sandal jepit.
Tempo hari, dia masuk toko tas Louis Vuitton, dan pegawai toko memperlakukannya dengan hina, meremehkannya karena penampilan Zainal "tidak meyakinkan"; berpenampilan sederhana, dan cuma bersandal jepit. (Sebenarnya dia naik Lamborghini, omong-omong).
Karena perlakuan tidak mengenakkan itu, Zainal lalu membeli tas di sana, yang harganya lebih dari Rp100 juta, dan dengan santai merusaknya dengan gunting, di depan pegawai yang menghinanya tadi.
Peristiwa ini viral di medsos, dan kalian bisa mencari sendiri videonya.
"Don't judge a book by its cover," kata pepatah terkenal. Tapi Instagram mengubahnya.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 26 Desember 2020.