Sabtu, 01 Februari 2025

Musim Sepi dan Resesi yang Sunyi

Beberapa hari ini ngobrol dengan beberapa orang, rata-rata mereka mengeluh keadaan (bisnis, usaha) sedang sepi. Penjual warung nasi, pengusaha batik, atau pemilik bisnis lain, semuanya mengeluhkan hal sama, "Keadaan emang lagi sepi, atau cuma aku yang mengalami?"

Entah orang-orang menyadari atau tidak, kita sebenarnya ada dalam masa (pra)resesi—kenyataan ini akan sangat terasa, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Kehidupan (ekonomi) yang semula kadang naik turun, saat ini terasa stagnan atau bahkan menurun.

Sebagian pakar ekonomi bahkan meramalkan resesi global dalam enam bulan ke depan—dan aku khawatir itu benar-benar terjadi—meski kita berharap ramalan itu tak terjadi. Dalam pikiranku, ini adalah masa ketika "segalanya tampak baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak."

Salah satu warung makan langgananku—aku punya beberapa warung langganan—bahkan sudah sampai pada tahap "nyaris tanpa pembeli". Semula, warung mereka cukup ramai, pembeli datang silih berganti. Tapi kini benar-benar sepi. Padahal tidak ada yang berubah, semuanya masih sama.

Penjual warung makan itu sepasang suami istri. Tadi, waktu aku makan di sana, si suami curhat, "Istri saya hampir putus asa, ingin tutup warung saja, dan cari kerja lain. Karena keadaannya sepi terus." Sudah sampai tahap seperti itu.

Dan "sepi" yang terjadi punya efek berantai.

Sebelumnya, mereka sudah beberapa kali cerita soal warung yang sepi, dan rencana untuk tutup, ingin mencoba kerja/usaha lain. Waktu itu mereka berpikir hanya warung mereka yang sepi, hingga ingin mencoba usaha lain yang lebih baik. Padahal masalahnya bukan pada warung mereka.

Aku bilang ke mereka, "Sampeyan kalau kulakan ke pasar, beli ayam, daging, bumbu, dll, coba tanya para pedagang di sana. Apakah mereka juga sama sepi?"

Mereka menuruti saran itu, dan mendapat jawaban berupa keluhan serupa, "Keadaan lagi sepi."

Karena resesi punya efek berantai.

Karena resesi, orang yang biasa makan di warung, memilih berhemat dengan masak sendiri di rumah, akibatnya warung makan sepi. Karena warung sepi, penjual warung mengurangi belanjaan, dan hal itu berdampak pada para pedagang lain, dan begitu seterusnya. Hasilnya, semuanya "sepi".

Yang mengerikan, setidaknya dalam pikiranku, resesi saat ini dan yang akan datang—kalau benar terjadi—adalah resesi yang "tidak adil", karena yang akan merasakan dampaknya cuma kalangan menengah ke bawah. Sementara kalangan atas bisa dibilang tidak akan merasakan dampaknya.

Bagaimana itu terjadi? Jawabannya panjang dan rumit, dan mungkin ocehan ini akan selesai tahun 2092, kalau harus kuuraikan secara detail. Intinya, karena sistemnya memang diarahkan begitu. Kita sedang "disaring" diam-diam—apakah kalian tidak merasakan?

Sebagai awal untuk memahami hal ini, pelajarilah omnibus law yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Jangan terkecoh oleh namanya yang terdengar ndakik-ndakik. Itu 11/12 dengan "UU Anti Pornografi/Pornoaksi". Indah dalam nama, tapi mengandung racun mematikan di dalamnya.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 13 Februari 2020.

 
;